Prof Dr Quraish Shihab: Orang Awam itu tidak Punya Mazhab

“Orang Awam itu tidak Punya Mazhab”

Sumber: Al-Huda, 2007, Jakarta, Syi’ar : Satu umat yes, satu mazhab no..! edisi maulid, April 2007, hal.52-58
Berbicara tentang tafsir dan ilmu tafsir di Indonesia tidak mungkin dapat dilepaskan dari figur kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan, 63 tahun yang lalu ini. Muhammad Quraish Shihab, cendekiawan Muslim dan mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998), tidak diragukan lagi adalah—selain penulis produktif dalam tema-tema keislaman—satu di antara sedikit sekali mufasir Indonesia yang telah menyusun tafsir al-Quran secara lengkap. Al-Mishbâh, karya doktor bidang ilmu-ilmu al-Quran Universitas al-Azhar, Kairo, ini, merupakan tafsir lengkap pertama khas Indonesia dalam 30 tahun terakhir.

Perhatiannya terhadap Ulumul Quran di Indonesia menempatkannya sebagai “avant garde” perkembangan ilmu langka ini di tanah air. Di sela-sela kesibukannya menulis, mengajar, dan membimbing mahasiswa pascasarjana, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah, Jakarta, ini menyempatkan diri berbincang dengan SYIAR seputar perkembangan tafsir dan ilmu tafsir serta sumbangsih keduanya bagi Muslim Indonesia.

Bagaimana perkembangan dunia tafsir di Indonesia?

Perkembangan dunia tafsir di Indonesia lumayan baik. Mereka (para ahli tafsir Indonesia—red) memang belum menyusun kitab tafsir yang sempurna. Tetapi, ada tulisan-tulisan orang-orang Indonesia yang berkaitan dengan tafsir atau pemahaman al-Quran. Bahkan, baru-baru ini di Yogyakarta ada disertasi tentang tafsir-tafsir yang berkembang di Indonesia. Ada juga karya-karya tafsir dengan tema-tema tertentu, hanya saja ini tidak tersebar luas. Misalnya, (kata—red) kufur dalam al-Quran itu apa, Ahlulkitab dalam al-Quran itu apa. Sebelum ini, Dawam Rahardjo juga menulis tafsir. Kami juga sekarang ini sedang mencetak buku berkaitan dengan tafsir, yang dinamakan “Ensiklopedia al-Quran” yang ditulis sekian banyak sarjana Indonesia yang saya koordinasi. Hanya saja semua ini tidak tersebar, tidak seperti al-Mishbâh yang dimuat di televisi.
Apakah ada perbedaan antara mufasir Indonesia dan Timur Tengah?
Pasti. Setiap pemikir dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya adalah kondisi sosialnya. Selama itu hasil pemikiran sendiri dan bukan jiplakan pasti ada pengaruhnya.
Buya Hamka itu sastrawan sehingga, dari segi sastra dan bahasa, (tafsirnya—red) sangat menarik. Dia juga generalis, banyak tahu bidang ilmu pengetahuan. Dia juga rasionalis sehingga penafsirannya pun rasional. Nah, setiap orang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Tidak ada orang yang memonopoli kebenaran kecuali Rasulullah saw. Tidak pula ada orang yang memonopoli kesalahan. Semua orang bisa benar maupun salah. Apa yang dikemukakan lima org yang berbeda, sebagai contohnya, bisa jadi benar semua. Paham saya seperti itu. Jadi, janganlah lantas berkata, pasti semua benar. Tidak bisa begitu. Apalagi saat bicara al-Quran, kita bisa benar dari sudut ini sementara dari sudut lain pun bisa benar pula.
Banyak perspektif ilmuwan Muslim kontemporer memakai konsep hermeneutik yang sosiologis dan kontekstual. Bagaimana pandangan Anda?
Hermeneutik sebenarnya bukan hal baru. Hanya pengembangannya sekarang ini bisa jadi berbeda dengan pengembangan hermeneutik pada masa lalu. Sejak dulu, ulama kita juga sudah memberikan perhatian kepada makna-makna kebahasaan suatu kata. Sejak dulu, mereka sudah memahami ayat-ayat al-Quran atau hadis berdasarkan konteks atau teksnya. Yang kita tidak setuju dari hermeneutik adalah bila kita ingin menjiplak 100% hermeneutika dan tata cara ketentuannya sebagaimana orang Barat memahami kitab suci mereka.
Mereka, misalnya, mengajarkan untuk meragukan teks. Ini berbeda dengan kita. Bila Anda Muslim, Anda tidak perlu meragukan teks. Mereka (Barat—red) mempunyai problem bagaimana bisa firman Tuhan yang tidak terbatas dapat dipahami makhluk-Nya yang terbatas sehingga ada perantara, dan lain sebagainya. Bagi kita, itu bukan problem. Kita memang tidak bisa memahami kitab suci al-Quran semata-mata berdasarkan teksnya. Kita juga memperhatikan konteks, yang kita namai “asbâbun-nuzûl”. Kita memahami bahwa al-Quran atau teks al-Quran mengubah makna-makna semantik suatu kata.
Dulu, kata salat berarti ‘doa’. Tetapi, al-Quran mengubah makna semantiknya sehingga salat bukan lagi selalu berarti ‘doa’. Ini kan bahasan yang sudah ada sejak dulu. Jadi, kita tidak menolak hermeneutik secara keseluruhan. Kita punya catatan-catatan menyangkut hermeneutik yang ingin diterapkan.
Ada kalangan yang mengatakan teks itu bisu, mufasirlah yang membuatnya “berbicara”?
Saya ingin berkata begini, teks itu punya makna tetapi yang mengetahui makna itu secara persis hanya Tuhan dalam al-Quran. Makna hakikat suatu teks hanya bisa diketahui melalui pengucapannya. Maka, siapa yang mendengar teks al-Quran, dialah yang memberi makna pada teks itu, tetapi makna yang dipahaminya itu bersifat relatif.
Saya beri contoh. Saya berkata, “Saya juga belum makan,” apa maknanya? Artinya bisa berarti ‘saya masih kenyang’ atau ‘saya juga belum makan, maka jangan habiskan makanannya’, dan lain-lain. Penafsiran-penafsiran sifatnya relatif. Yang tahu maknanya cuma Tuhan. Begitulah. Nah, kalau teks bisu dipahami seperti itu, saya sih okay saja.
Apakah sama sekali tidak ada pesan yang bisa ditangkap oleh pembaca yang bisa menimbulkan pemaknaan?
Sedikit sekali. Itu pun bukan hanya dari teks melainkan bersama sekian bukti-bukti yang mengiringinya. Saya beri contoh. Salat itu wajib. Dari mana Anda memahami itu? Ini berarti ada hal lain yang membuat Anda paham salat. Maka itu, dalam tafsir, ada yang dinamai qathi dan zanni. Apa yang Anda anggap benar bisa jadi dinilai orang lain sebaliknya.
Jadi, kita tidak bisa mengklaim semua kebenaran milik kita. Imam Abu Hanifah mengungkapkan hal ini dengan baik sekali. Kata, “Kebenaran itu adalah sesuatu yang sama sekali tidak memuat kepalsuan, dan mungkin kepalsuan adalah sesuatu yang sama sekali tidak memuat kebenaran.” Itu sikap yang seharusnya kita ambil terhadp siapa pun yang kita duga punya maksud baik terhadap Islam, sedangkan sikap sebaliknya bagi mereka yang punya indikator-indikator sangat jelas ingin menghancurkan Islam.
Imam Ali pernah berkata, “Bacalah al-Quran dan ajaklah bicara.” Bagaimana pandangan Anda?
Itulah yang oleh Muhammad Baqir Sadr dijadikan dasar bagi terciptanya metode mawdhu’i atau tawhidi. Anda punya problem, jangan cari solusi ke mana-mana, tetapi cari dan bukalah al-Quran. Itu namanya “istintaq bil-quran”. Nanti, al-Quran yang akan menjelaskan. Tapi, harus digarisbawahi bahwa penjelasan itu menurut versi dia (si pembaca).
Ini berarti ruang eksplorasi dalam tafsir lebih luas daripada fikih?
Kalau kita bicara Islam, sumber rujukannya adalah al-Quran. Semua ilmu keislaman pun lahir dari al-Quran. Mulai dari nahwu, sharaf, kalam, fikih, balaghah, dan lain-lain. Sehingga semua orang, bahkan yang non-Muslim, yang ingin bicara tentang Islam pasti merujuk ke al-Quran.
Al-Quran tidak menjadi sekat. Al-Quran, yang perlu kita ketahui bersama, hanya akan menjadi sekat apabila pandangan kita picik, seperti ungkapan, “Lihat ini, al-Quran berkata ini, yang lainnya tidak.” Tapi, bila pandangan kita luas, kita akan mengatakan bahwa yang berbeda-beda dengan kita pun mempunyai dalil.
Antara Imam Syafi’i dan Imam Malik juga berbeda. Antara Imam Malik dan Abu Hanifah beda. Begitu juga dengan dan antar-ulama lain seperti Imam Jafar. Biarkan saja semua begitu.
Kita menemukan fenomena monopoli tafsir, terhadap teks, ayat, maupun riwayat. Sehingga semua pandangan selainnya adalah salah. Dia tidak bisa membedakan antara teks dengan penafsiran terhadap teks. Sekarang ini, masyarakat menjadi ragu untuk berbeda pandangan. Ini yang perlu diluruskan.
Semua pendapat bisa jadi benar. Dalam konteks ini, agama bisa diibaratkan seperti angka 10. Bagaimana kita bisa mendapatkan angka 10? Ada yang bilang 7+3, benar, ada lagi yang bilang 6+4, 5+5, benar juga. Yang penting Anda pilih yang Anda anggap paling benar.
Sejauhmana Anda mengakrabi tafsir-tafsir Syiah?
Saya merujuk Thabathaba’i, Thusi, Thabarsi, dan ulama-ulama lain dari berbagai mazhab, seperti Muhammad Abduh dan Sayyid Quthb. Kalau Anda ingin melihat bagaimana tafsir saya, lihatlah tafsir al-Mishbâh. Saya punya gagasan tentang pentingnya memahami literatur-literatur di luar mazhab kita sendiri. Saya sering dinilai orang bukan Muhammadiyah, bukan NU, tidak mengapa. Yang penting jangan ada yang menganggap saya bukan Islam (tertawa—red).
Saya sependapat dengan ulama-ulama yang berkata, bahwa ulama yang hanya mengajukan satu pendapat saja bisa menimbulkan kesan hanya pendapat itu saja yang benar. karena itu, kalau saya ditanya orang, saya paling suka menjawab bahwa si A berkata itu, si B berkata ini, dan si C berkata begini. Tetapi, kalau kita hanya mengacu kepada satu hal, pasti itu tidak benar.
Namun, bagi sementara orang itu membingungkan. Dalam beberapa buku, saya dikritik. Yang mana pendapat Quraish Shihab yang sebenarnya, berilah masyarakat sebuah pendapat yang pasti.
Saya jadi bertanya balik. Kenapa kalau Anda ke pesta, lalu Anda dihidangkan teh, kopi, jus, dan bermacam panganan, Anda tidak bingung? Anda bisa katakan semua Anda sukai. Pilihlah yang Anda suka. Semua bisa benar. Karena prinsipnya, orang awam itu tidak punya mazhab. Dia hanya memilih mazhab bergantung pada siapa mufti yang memberinya jawaban.
Jadi, yang bermazhab hanya sedikit orang?
Bukan sedikit atau banyak, tetapi karena pilihan awam itu. Kenyataannya, bermazhab itu banyak. Tetapi, kalau kita bicara dari segi hukum, orang awam tidak bermazhab. Mazhabnya adalah siapa tempat dia pergi bertanya.
Dulu ada yang bertanya kepada Prof. Ibrahim Hosen. Orang itu bercerai talak tiga dengan istrinya. Dia tanya, bolehkah dia kembali atau rujuk lagi? Ibrahim Hosen tanya, apakah dia masih mencintai istrinya. Orang itu menjawab, iya. Maka, Ibrahim Hosen katakan, dia boleh kembali rujuk meskipun telah talak tiga karena (talak tiga itu—red) terjadi dalam satu majelis.
Dalam fikih Syafi’i, Abu Hanifah, dan lain-lain dikatakan bahwa talak tiga jatuh meskipun terjadi dalam satu majelis. Maka, saya bertanya kepada Prof. Ibrahim kenapa. Prof. Ibrahim katakan, orang itu masih mencintai istrinya. Kalau dia tidak setuju dengan pendapat saya, maka dia akan pergi ke ulama lain sampai dia bertemu ulama yang membolehkannya rujuk kembali. Daripada dia capai-capai, lebih baik saya bolehkan saja.
Orang awam itu tidak punya mazhab. Di Indonesia, mazhab kita adalah Syafi’i karena pada umumnya ulama menjawab berdasarkan atas jawaban-jawaban yang diberikan Imam Syafi’i.
Kalangan modernis mengatakan perlunya kontekstualisasi dan menimba ilmu dari Barat karena mereka punya metodologi yang tidak dipunyai ulama Timur Tengah. Bagaimana pendapat Anda?
Belum tentu. Saya tidak menolak mengambil dari siapa pun. Ini sejalan dengan prinsip-prinsip pokok yang disepakati siapa pun. Dari siapa pun, Anda bisa memungut kebenaran. Bahkan, dari seorang gila sekalipun. Kita hanya berkata, orang yang baik akidahnya akan berhati-hati dalam berpendapat. Tetapi, kepada orang yang tidak baik akidahnya, Anda dituntut untuk berhati-hati dua kali. Karena yang pertama hanya salah paham. Sedangkan yang kedua boleh jadi salah paham dan boleh jadi pula dia subjektif. Namun, kemungkinan benarnya tetap ada kan? Adakah pemahaman orientalis yang benar? Harus ada. Yang bagus kita ambil.
Namun, untuk masuk ke al-Quran itu sendiri, apakah ada metodologi atau alat khusus?
Ada. Ilmu alat khusus? Harus tahu nahwu. Harus tahu bahasa. Bagaimana Anda mau menafsir bila tidak tahu bahasa. Maka lahirlah ilmu-ilmu khusus itu.
Dalam Membumikan al-Quran, saya bisa memahami orang-orang yang mengatakan bahwa syarat-syarat untuk menafsirkan al-Quran selama ini terlalu ketat. Saya katakan bahwa saya tidak memakai syarat. Saya hanya meminta Anda untuk tidak salah. Nah, kesalahan yang utama biasanya dia tidak tahu bahasa. Kalau Anda mau menafsirkan al-Quran tetapi tidak mengerti bahasa, mintalah bantuan orang lain yang mengerti bahasa Arab. Anda tidak tahu konteks. Anda tidak tahu siapa yang berbicara. Hindarkanlah semua kesalahan itu, insya Allah bisa benar.
Kalau Ulumul Quran sendiri?
Ulumul Quran di kalangan ulama tafsir dikatakan sebagai ilmu yang membantu seseorang untuk memahami al-Quran. Karena ilmu-ilmu ini begitu banyak, kita tidak ingin menakutkan orang. Maka kita berkata, kalau tidak bisa, Anda bisa bekerja sama dengan orang lain.
Salah satu sebab kesalahan yang lain adalah menafsirkan ayat tetapi tidak tahu disiplin ilmu. Satu contoh, al-Quran bicara tentang astronomi. Yang tidak paham astronomi pasti salah penafsirannya.
Dengan kata lain, dengan al-Quran itu sendiri, kita tidak bisa memahami ilmu lain?
Kita bisa menjadikan al-Quran titik tolak untuk membahas (ilmu lain—red). Dulu, ulama menafsirkan firman Allah, yakhruju minhumâ al-lu`lu` wal-marjân (Dari keduanya keluar mutiara dan marjan [QS. 55:22]—red). Ulama berkata, minhumâ berarti minhu. Sebenarnya, semestinya mereka tidak cepat-cepat berkata bahwa al-lu`lu` wal-marjân itu hanya dari laut karena al-Quran berkata minhuma (dari keduanya—red), dari laut dan sungai. Mestinya mereka menjadikan ayat ini sebagai dasar bagi penelitian sungai. Namun, tidak ada umat Islam yang teliti dan justru orang non-Muslim (yang meneliti—red).
Sebagai sumber rujukan semua ilmu, bisakah al-Quran dijadikan hukum positif di suatu negara?
Kalau masyarakatnya sepakat bisa saja. Persoalan kita sekarang kan, masyarakat tidak sepaham. Anggaplah Mesir menjadikan Islam sebagai agama negara. Al-Quran sebagai sumber hukumnya. Namun, di Indonesia kan tidak demikian. Kita belum sepakat soal itu.
Bagaimana dengan monopoli tafsir al-Quran versi negara?
Tidak ada. Selama negara tidak melarang aneka pendapat yang sesuai dengan koridor, pemerintah bisa menetapkan suatu ketetapan untuk menghindari perbedaan pendapat. Di Indonesia, misalnya, penentuan lebaran ada yang memakai rukyat dan hisab. Hukmul hâkim yuzillu al-khilâf (keputusan hakim mengangkat perbedaan—red). Mestinya begitu kan. Hakim atau pemerintah harus bijaksana dalam melihat apa yang paling maslahat bagi umat.
Bagaimana persatuan umat di ekstra dan intra Islam sendiri?
Saya mengimbau setiap umat untuk kembali kepada ajaran agamanya, yang mengajarkan kedamaian dan pluralisme. Pluralisme bukan sekadar membiarkan orang lain yang berbeda dengan kita itu hidup. Tetapi, pluralisme juga berarti mencari titik temu sehingga kita bisa bertemu. Kalau kita berbeda, silakan kita berbeda tetapi masih dalam persatuan. Kita ini beda-beda, bukan cuma antara Sunnah-Syiah, antara satu mazhab pun bisa berbeda. Pendapat ulama di internal mazhab Syafi’i pun bisa berbeda-beda.
Sebenarnya pertemuan antar-mazhab jauh lebih banyak daripada perbedaannya. Kita, misalnya, bertemu menyangkut keesaan Allah. Kita bisa kumpulkan ulama dan membuktikan bersama-sama tentang bukti-bukti keesaan Allah. Sehingga setiap orang tidak segan-segan membaca buku yang ditulis oleh orang yang tidak semazhab dengannya di bidang tersebut. Jangan jadi orang yang menuding. Misalnya, saya mengutip Thabathaba’i, kemudian langsung dituduh oh ini Syiah karena mengutip mufasir syiah. Kenapa kalau saya mengutip sesama muslim dikecam sedangkan saat mengutip Plato dan orang-orang Barat tidak? Ini kan tidak benar.
Selama ada argumentasi yang baik meski beda mazhab, saya akan cantumkan, karena sejalan dengan pemahaman saya. Begitu juga bila argumentasi itu tidak sejalan dengan pemahaman saya, akan saya katakan tidak sejalan meskipun satu mazhab.
Sekarang ada fenomena sekelompok orang yang suka mempersoalkan hal ini, hanya karena mengutip pendapat-pendapat dari ulama yang berbeda mazhab, malah ada yang menganggap sesat. Orang-orang seperti ini akan habis dan ketinggalan kereta. Itu memang proses.
Dulu, di Mesir ada fenomena saling menjelek-jelekkan antar-mazhab. Namun, setelah wawasan orang semakin luas, pemahaman sempit ini lama kelamaan habis.
Apakah setiap mufasir harus hapal al-Quran?
Tidak. Dulu memang harus hapal al-Quran karena belum ada CD-ROM. Yang penting, dia memiliki pengetahuan secara umum tentang al-Quran. Dia bisa saja mengingat suatu ayat tetapi tidak hapal persis. Dia harus hapal al-Quran, iya, tetapi tidak harus hapal semua teks al-Quran.
Kita jangan terlalu memperberat syarat unutk mempelajari al-Quran karena hanya akan menjauhkan orang dari al-Quran. Kita justru beri kemudahan. Karena itu, ada ulama yang membedakan antara pemahaman dan penafsiran al-Quran. Thabathaba’i membedakan antara tathbîq dan tafsir (penerapan dan penafsiran). Tujuannya, supaya semua orang bisa semakin dekat dengan al-Quran. Tafsir lebih berat daripada tathbîq.
Sedangkan tadabbur dilakukan sebelum menyampaikan tafsir. Saya mengamati, memperhatikan, dan merenungkan. Hasil itulah yang disebut tadabbur.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bahasa yang dipakai al-Quran bukanlah murni bahasa Arab melainkan juga memuat bahasa lain?
Itu benar. Seperti kata informasi. Itu bahasa apa? Itu bahasa Inggris yang sudah jadi bahasa Indonesia. Qirthâs itu bukan bahasa Arab. Jamharir juga bukan bahasa Arab. Banyak lagi. Zarabi dalam zarâbiyyu mabtsûsah juga bukan bahasa Arab.
Bagaimana cara Anda mendidik keluarga untuk mencintai al-Quran?
Secara khusus, tidak ada. Namun, saya selalu menyempatkan diri bersama keluarga membaca atau mendengar kisah-kisah dalam al-Quran. Saya juga memberi kesempatan mereka untuk banyak bertanya. Cucu saya, kelas 4 SD, sedang menyusun pertanyaan-pertanyaan yang harus saya jawab. Dia katakan ada seratus pertanyaan yang telah tersusun. Saya katakan bahwa saya akan buatkan buku, “Jawaban kakek kepada cucunya”. Dia, misalnya, bertanya, bagaimanakah Tuhan itu. Itu pertanyaan anak-anak. Kenapa sih ada malaikat. Saya takut mati. Pertanyaaan khas anak-anak.
Jadi, sebenarnya, kita tidak bisa lagi menggunakan cara orang tua kita dulu dalam mendidik anak. Dulu, begitu azan magrib, kita harus berkumpul di rumah untuk salat berjamaah. Sekarang tidak bisa lagi. Karena, jam 6 sore masih ada film kartun. Orang tua menunda salat agar anak-anak bisa ikut salat, atau mereka salat dulu dan menyuruh anak-anak salat sendiri.
Anak-anak sekarang bisa lebih banyak tahu daripada orang tua mereka. Dia buka internet. Dia punya kesempatan lebih banyak. Remaja kita sudah lebih pintar daripada kita dalam memperbaiki komputer. Jadi, pola mendidik anak memang sudah perlu diubah.
Keluarga Anda adalah orang-orang besar. Apa yang terjadi saat Anda berkumpul bersama mereka?
Kita bersahabat. Ayah mendidik kita untuk bersahabat dengan ibu dan anak-anak. Anak-anak perempuan dekat sekali dengan ibunya sehingga dia bisa curhat kepadanya dan tidak perlu curhat kepada orang lain. Saudara-saudaranya dijadikan sahabat. Hubungan saya yang terdekat dengan Alwi Shihab (mantan menko kesra—red) karena pernah tinggal bersama.
Di beberapa tempat, banyak muncul fenomena anak-anak kecil penghapal al-Quran. pada saat yang sama, serbuan budaya asing menyulitkan orang tua untuk fokus mendidik anak. Bagaimana komentar Anda?
Beberapa hari yang lalu, saya kedatangan rombongan Pesantren Lirboyo. Mereka membawa empat anak. anak-anak itu baru dididik satu bulan dan sudah menghapal Juz Amma. Bukan cuma menghapal, mereka bisa meneruskan penggalan ayat yang kita sebutkan. Mereka juga bisa menerjemahkan. Mereka juga bisa menyebutkan ayat secara lengkap hanya dengan dipancing nomornya saja. Saat dites dengan membaca ‘amma yatasâ`alûn, mundur dari belakang pun ternyata anak-anak umur 6-7 tahun itu pun mampu.

Bagi saya, fenomena itu menunjukkan mukjizat al-Quran. Artinya, al-Quran sangat mudah dihapal. Kedua, kita masih bisa mengembangkan hal-hal baru yang dulu belum sempat dikembangkan.

BERITA BINUS : BINUS UNIVERSITY Jadi Tuan Rumah Kolaborasi Multi-Stakeholder: Mendorong Percepatan Transformasi Digital di Indonesia