tokoh

Prof Dr Quraish Shihab: Orang Awam itu tidak Punya Mazhab

“Orang Awam itu tidak Punya Mazhab”

Sumber: Al-Huda, 2007, Jakarta, Syi’ar : Satu umat yes, satu mazhab no..! edisi maulid, April 2007, hal.52-58
Berbicara tentang tafsir dan ilmu tafsir di Indonesia tidak mungkin dapat dilepaskan dari figur kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan, 63 tahun yang lalu ini. Muhammad Quraish Shihab, cendekiawan Muslim dan mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998), tidak diragukan lagi adalah—selain penulis produktif dalam tema-tema keislaman—satu di antara sedikit sekali mufasir Indonesia yang telah menyusun tafsir al-Quran secara lengkap. Al-Mishbâh, karya doktor bidang ilmu-ilmu al-Quran Universitas al-Azhar, Kairo, ini, merupakan tafsir lengkap pertama khas Indonesia dalam 30 tahun terakhir.

Perhatiannya terhadap Ulumul Quran di Indonesia menempatkannya sebagai “avant garde” perkembangan ilmu langka ini di tanah air. Di sela-sela kesibukannya menulis, mengajar, dan membimbing mahasiswa pascasarjana, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah, Jakarta, ini menyempatkan diri berbincang dengan SYIAR seputar perkembangan tafsir dan ilmu tafsir serta sumbangsih keduanya bagi Muslim Indonesia.

Bagaimana perkembangan dunia tafsir di Indonesia?

Perkembangan dunia tafsir di Indonesia lumayan baik. Mereka (para ahli tafsir Indonesia—red) memang belum menyusun kitab tafsir yang sempurna. Tetapi, ada tulisan-tulisan orang-orang Indonesia yang berkaitan dengan tafsir atau pemahaman al-Quran. Bahkan, baru-baru ini di Yogyakarta ada disertasi tentang tafsir-tafsir yang berkembang di Indonesia. Ada juga karya-karya tafsir dengan tema-tema tertentu, hanya saja ini tidak tersebar luas. Misalnya, (kata—red) kufur dalam al-Quran itu apa, Ahlulkitab dalam al-Quran itu apa. Sebelum ini, Dawam Rahardjo juga menulis tafsir. Kami juga sekarang ini sedang mencetak buku berkaitan dengan tafsir, yang dinamakan “Ensiklopedia al-Quran” yang ditulis sekian banyak sarjana Indonesia yang saya koordinasi. Hanya saja semua ini tidak tersebar, tidak seperti al-Mishbâh yang dimuat di televisi.
Apakah ada perbedaan antara mufasir Indonesia dan Timur Tengah?
Pasti. Setiap pemikir dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya adalah kondisi sosialnya. Selama itu hasil pemikiran sendiri dan bukan jiplakan pasti ada pengaruhnya.
Buya Hamka itu sastrawan sehingga, dari segi sastra dan bahasa, (tafsirnya—red) sangat menarik. Dia juga generalis, banyak tahu bidang ilmu pengetahuan. Dia juga rasionalis sehingga penafsirannya pun rasional. Nah, setiap orang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Tidak ada orang yang memonopoli kebenaran kecuali Rasulullah saw. Tidak pula ada orang yang memonopoli kesalahan. Semua orang bisa benar maupun salah. Apa yang dikemukakan lima org yang berbeda, sebagai contohnya, bisa jadi benar semua. Paham saya seperti itu. Jadi, janganlah lantas berkata, pasti semua benar. Tidak bisa begitu. Apalagi saat bicara al-Quran, kita bisa benar dari sudut ini sementara dari sudut lain pun bisa benar pula.
Banyak perspektif ilmuwan Muslim kontemporer memakai konsep hermeneutik yang sosiologis dan kontekstual. Bagaimana pandangan Anda?
Hermeneutik sebenarnya bukan hal baru. Hanya pengembangannya sekarang ini bisa jadi berbeda dengan pengembangan hermeneutik pada masa lalu. Sejak dulu, ulama kita juga sudah memberikan perhatian kepada makna-makna kebahasaan suatu kata. Sejak dulu, mereka sudah memahami ayat-ayat al-Quran atau hadis berdasarkan konteks atau teksnya. Yang kita tidak setuju dari hermeneutik adalah bila kita ingin menjiplak 100% hermeneutika dan tata cara ketentuannya sebagaimana orang Barat memahami kitab suci mereka.
Mereka, misalnya, mengajarkan untuk meragukan teks. Ini berbeda dengan kita. Bila Anda Muslim, Anda tidak perlu meragukan teks. Mereka (Barat—red) mempunyai problem bagaimana bisa firman Tuhan yang tidak terbatas dapat dipahami makhluk-Nya yang terbatas sehingga ada perantara, dan lain sebagainya. Bagi kita, itu bukan problem. Kita memang tidak bisa memahami kitab suci al-Quran semata-mata berdasarkan teksnya. Kita juga memperhatikan konteks, yang kita namai “asbâbun-nuzûl”. Kita memahami bahwa al-Quran atau teks al-Quran mengubah makna-makna semantik suatu kata.
Dulu, kata salat berarti ‘doa’. Tetapi, al-Quran mengubah makna semantiknya sehingga salat bukan lagi selalu berarti ‘doa’. Ini kan bahasan yang sudah ada sejak dulu. Jadi, kita tidak menolak hermeneutik secara keseluruhan. Kita punya catatan-catatan menyangkut hermeneutik yang ingin diterapkan.
Ada kalangan yang mengatakan teks itu bisu, mufasirlah yang membuatnya “berbicara”?
Saya ingin berkata begini, teks itu punya makna tetapi yang mengetahui makna itu secara persis hanya Tuhan dalam al-Quran. Makna hakikat suatu teks hanya bisa diketahui melalui pengucapannya. Maka, siapa yang mendengar teks al-Quran, dialah yang memberi makna pada teks itu, tetapi makna yang dipahaminya itu bersifat relatif.
Saya beri contoh. Saya berkata, “Saya juga belum makan,” apa maknanya? Artinya bisa berarti ‘saya masih kenyang’ atau ‘saya juga belum makan, maka jangan habiskan makanannya’, dan lain-lain. Penafsiran-penafsiran sifatnya relatif. Yang tahu maknanya cuma Tuhan. Begitulah. Nah, kalau teks bisu dipahami seperti itu, saya sih okay saja.
Apakah sama sekali tidak ada pesan yang bisa ditangkap oleh pembaca yang bisa menimbulkan pemaknaan?
Sedikit sekali. Itu pun bukan hanya dari teks melainkan bersama sekian bukti-bukti yang mengiringinya. Saya beri contoh. Salat itu wajib. Dari mana Anda memahami itu? Ini berarti ada hal lain yang membuat Anda paham salat. Maka itu, dalam tafsir, ada yang dinamai qathi dan zanni. Apa yang Anda anggap benar bisa jadi dinilai orang lain sebaliknya.
Jadi, kita tidak bisa mengklaim semua kebenaran milik kita. Imam Abu Hanifah mengungkapkan hal ini dengan baik sekali. Kata, “Kebenaran itu adalah sesuatu yang sama sekali tidak memuat kepalsuan, dan mungkin kepalsuan adalah sesuatu yang sama sekali tidak memuat kebenaran.” Itu sikap yang seharusnya kita ambil terhadp siapa pun yang kita duga punya maksud baik terhadap Islam, sedangkan sikap sebaliknya bagi mereka yang punya indikator-indikator sangat jelas ingin menghancurkan Islam.
Imam Ali pernah berkata, “Bacalah al-Quran dan ajaklah bicara.” Bagaimana pandangan Anda?
Itulah yang oleh Muhammad Baqir Sadr dijadikan dasar bagi terciptanya metode mawdhu’i atau tawhidi. Anda punya problem, jangan cari solusi ke mana-mana, tetapi cari dan bukalah al-Quran. Itu namanya “istintaq bil-quran”. Nanti, al-Quran yang akan menjelaskan. Tapi, harus digarisbawahi bahwa penjelasan itu menurut versi dia (si pembaca).
Ini berarti ruang eksplorasi dalam tafsir lebih luas daripada fikih?
Kalau kita bicara Islam, sumber rujukannya adalah al-Quran. Semua ilmu keislaman pun lahir dari al-Quran. Mulai dari nahwu, sharaf, kalam, fikih, balaghah, dan lain-lain. Sehingga semua orang, bahkan yang non-Muslim, yang ingin bicara tentang Islam pasti merujuk ke al-Quran.
Al-Quran tidak menjadi sekat. Al-Quran, yang perlu kita ketahui bersama, hanya akan menjadi sekat apabila pandangan kita picik, seperti ungkapan, “Lihat ini, al-Quran berkata ini, yang lainnya tidak.” Tapi, bila pandangan kita luas, kita akan mengatakan bahwa yang berbeda-beda dengan kita pun mempunyai dalil.
Antara Imam Syafi’i dan Imam Malik juga berbeda. Antara Imam Malik dan Abu Hanifah beda. Begitu juga dengan dan antar-ulama lain seperti Imam Jafar. Biarkan saja semua begitu.
Kita menemukan fenomena monopoli tafsir, terhadap teks, ayat, maupun riwayat. Sehingga semua pandangan selainnya adalah salah. Dia tidak bisa membedakan antara teks dengan penafsiran terhadap teks. Sekarang ini, masyarakat menjadi ragu untuk berbeda pandangan. Ini yang perlu diluruskan.
Semua pendapat bisa jadi benar. Dalam konteks ini, agama bisa diibaratkan seperti angka 10. Bagaimana kita bisa mendapatkan angka 10? Ada yang bilang 7+3, benar, ada lagi yang bilang 6+4, 5+5, benar juga. Yang penting Anda pilih yang Anda anggap paling benar.
Sejauhmana Anda mengakrabi tafsir-tafsir Syiah?
Saya merujuk Thabathaba’i, Thusi, Thabarsi, dan ulama-ulama lain dari berbagai mazhab, seperti Muhammad Abduh dan Sayyid Quthb. Kalau Anda ingin melihat bagaimana tafsir saya, lihatlah tafsir al-Mishbâh. Saya punya gagasan tentang pentingnya memahami literatur-literatur di luar mazhab kita sendiri. Saya sering dinilai orang bukan Muhammadiyah, bukan NU, tidak mengapa. Yang penting jangan ada yang menganggap saya bukan Islam (tertawa—red).
Saya sependapat dengan ulama-ulama yang berkata, bahwa ulama yang hanya mengajukan satu pendapat saja bisa menimbulkan kesan hanya pendapat itu saja yang benar. karena itu, kalau saya ditanya orang, saya paling suka menjawab bahwa si A berkata itu, si B berkata ini, dan si C berkata begini. Tetapi, kalau kita hanya mengacu kepada satu hal, pasti itu tidak benar.
Namun, bagi sementara orang itu membingungkan. Dalam beberapa buku, saya dikritik. Yang mana pendapat Quraish Shihab yang sebenarnya, berilah masyarakat sebuah pendapat yang pasti.
Saya jadi bertanya balik. Kenapa kalau Anda ke pesta, lalu Anda dihidangkan teh, kopi, jus, dan bermacam panganan, Anda tidak bingung? Anda bisa katakan semua Anda sukai. Pilihlah yang Anda suka. Semua bisa benar. Karena prinsipnya, orang awam itu tidak punya mazhab. Dia hanya memilih mazhab bergantung pada siapa mufti yang memberinya jawaban.
Jadi, yang bermazhab hanya sedikit orang?
Bukan sedikit atau banyak, tetapi karena pilihan awam itu. Kenyataannya, bermazhab itu banyak. Tetapi, kalau kita bicara dari segi hukum, orang awam tidak bermazhab. Mazhabnya adalah siapa tempat dia pergi bertanya.
Dulu ada yang bertanya kepada Prof. Ibrahim Hosen. Orang itu bercerai talak tiga dengan istrinya. Dia tanya, bolehkah dia kembali atau rujuk lagi? Ibrahim Hosen tanya, apakah dia masih mencintai istrinya. Orang itu menjawab, iya. Maka, Ibrahim Hosen katakan, dia boleh kembali rujuk meskipun telah talak tiga karena (talak tiga itu—red) terjadi dalam satu majelis.
Dalam fikih Syafi’i, Abu Hanifah, dan lain-lain dikatakan bahwa talak tiga jatuh meskipun terjadi dalam satu majelis. Maka, saya bertanya kepada Prof. Ibrahim kenapa. Prof. Ibrahim katakan, orang itu masih mencintai istrinya. Kalau dia tidak setuju dengan pendapat saya, maka dia akan pergi ke ulama lain sampai dia bertemu ulama yang membolehkannya rujuk kembali. Daripada dia capai-capai, lebih baik saya bolehkan saja.
Orang awam itu tidak punya mazhab. Di Indonesia, mazhab kita adalah Syafi’i karena pada umumnya ulama menjawab berdasarkan atas jawaban-jawaban yang diberikan Imam Syafi’i.
Kalangan modernis mengatakan perlunya kontekstualisasi dan menimba ilmu dari Barat karena mereka punya metodologi yang tidak dipunyai ulama Timur Tengah. Bagaimana pendapat Anda?
Belum tentu. Saya tidak menolak mengambil dari siapa pun. Ini sejalan dengan prinsip-prinsip pokok yang disepakati siapa pun. Dari siapa pun, Anda bisa memungut kebenaran. Bahkan, dari seorang gila sekalipun. Kita hanya berkata, orang yang baik akidahnya akan berhati-hati dalam berpendapat. Tetapi, kepada orang yang tidak baik akidahnya, Anda dituntut untuk berhati-hati dua kali. Karena yang pertama hanya salah paham. Sedangkan yang kedua boleh jadi salah paham dan boleh jadi pula dia subjektif. Namun, kemungkinan benarnya tetap ada kan? Adakah pemahaman orientalis yang benar? Harus ada. Yang bagus kita ambil.
Namun, untuk masuk ke al-Quran itu sendiri, apakah ada metodologi atau alat khusus?
Ada. Ilmu alat khusus? Harus tahu nahwu. Harus tahu bahasa. Bagaimana Anda mau menafsir bila tidak tahu bahasa. Maka lahirlah ilmu-ilmu khusus itu.
Dalam Membumikan al-Quran, saya bisa memahami orang-orang yang mengatakan bahwa syarat-syarat untuk menafsirkan al-Quran selama ini terlalu ketat. Saya katakan bahwa saya tidak memakai syarat. Saya hanya meminta Anda untuk tidak salah. Nah, kesalahan yang utama biasanya dia tidak tahu bahasa. Kalau Anda mau menafsirkan al-Quran tetapi tidak mengerti bahasa, mintalah bantuan orang lain yang mengerti bahasa Arab. Anda tidak tahu konteks. Anda tidak tahu siapa yang berbicara. Hindarkanlah semua kesalahan itu, insya Allah bisa benar.
Kalau Ulumul Quran sendiri?
Ulumul Quran di kalangan ulama tafsir dikatakan sebagai ilmu yang membantu seseorang untuk memahami al-Quran. Karena ilmu-ilmu ini begitu banyak, kita tidak ingin menakutkan orang. Maka kita berkata, kalau tidak bisa, Anda bisa bekerja sama dengan orang lain.
Salah satu sebab kesalahan yang lain adalah menafsirkan ayat tetapi tidak tahu disiplin ilmu. Satu contoh, al-Quran bicara tentang astronomi. Yang tidak paham astronomi pasti salah penafsirannya.
Dengan kata lain, dengan al-Quran itu sendiri, kita tidak bisa memahami ilmu lain?
Kita bisa menjadikan al-Quran titik tolak untuk membahas (ilmu lain—red). Dulu, ulama menafsirkan firman Allah, yakhruju minhumâ al-lu`lu` wal-marjân (Dari keduanya keluar mutiara dan marjan [QS. 55:22]—red). Ulama berkata, minhumâ berarti minhu. Sebenarnya, semestinya mereka tidak cepat-cepat berkata bahwa al-lu`lu` wal-marjân itu hanya dari laut karena al-Quran berkata minhuma (dari keduanya—red), dari laut dan sungai. Mestinya mereka menjadikan ayat ini sebagai dasar bagi penelitian sungai. Namun, tidak ada umat Islam yang teliti dan justru orang non-Muslim (yang meneliti—red).
Sebagai sumber rujukan semua ilmu, bisakah al-Quran dijadikan hukum positif di suatu negara?
Kalau masyarakatnya sepakat bisa saja. Persoalan kita sekarang kan, masyarakat tidak sepaham. Anggaplah Mesir menjadikan Islam sebagai agama negara. Al-Quran sebagai sumber hukumnya. Namun, di Indonesia kan tidak demikian. Kita belum sepakat soal itu.
Bagaimana dengan monopoli tafsir al-Quran versi negara?
Tidak ada. Selama negara tidak melarang aneka pendapat yang sesuai dengan koridor, pemerintah bisa menetapkan suatu ketetapan untuk menghindari perbedaan pendapat. Di Indonesia, misalnya, penentuan lebaran ada yang memakai rukyat dan hisab. Hukmul hâkim yuzillu al-khilâf (keputusan hakim mengangkat perbedaan—red). Mestinya begitu kan. Hakim atau pemerintah harus bijaksana dalam melihat apa yang paling maslahat bagi umat.
Bagaimana persatuan umat di ekstra dan intra Islam sendiri?
Saya mengimbau setiap umat untuk kembali kepada ajaran agamanya, yang mengajarkan kedamaian dan pluralisme. Pluralisme bukan sekadar membiarkan orang lain yang berbeda dengan kita itu hidup. Tetapi, pluralisme juga berarti mencari titik temu sehingga kita bisa bertemu. Kalau kita berbeda, silakan kita berbeda tetapi masih dalam persatuan. Kita ini beda-beda, bukan cuma antara Sunnah-Syiah, antara satu mazhab pun bisa berbeda. Pendapat ulama di internal mazhab Syafi’i pun bisa berbeda-beda.
Sebenarnya pertemuan antar-mazhab jauh lebih banyak daripada perbedaannya. Kita, misalnya, bertemu menyangkut keesaan Allah. Kita bisa kumpulkan ulama dan membuktikan bersama-sama tentang bukti-bukti keesaan Allah. Sehingga setiap orang tidak segan-segan membaca buku yang ditulis oleh orang yang tidak semazhab dengannya di bidang tersebut. Jangan jadi orang yang menuding. Misalnya, saya mengutip Thabathaba’i, kemudian langsung dituduh oh ini Syiah karena mengutip mufasir syiah. Kenapa kalau saya mengutip sesama muslim dikecam sedangkan saat mengutip Plato dan orang-orang Barat tidak? Ini kan tidak benar.
Selama ada argumentasi yang baik meski beda mazhab, saya akan cantumkan, karena sejalan dengan pemahaman saya. Begitu juga bila argumentasi itu tidak sejalan dengan pemahaman saya, akan saya katakan tidak sejalan meskipun satu mazhab.
Sekarang ada fenomena sekelompok orang yang suka mempersoalkan hal ini, hanya karena mengutip pendapat-pendapat dari ulama yang berbeda mazhab, malah ada yang menganggap sesat. Orang-orang seperti ini akan habis dan ketinggalan kereta. Itu memang proses.
Dulu, di Mesir ada fenomena saling menjelek-jelekkan antar-mazhab. Namun, setelah wawasan orang semakin luas, pemahaman sempit ini lama kelamaan habis.
Apakah setiap mufasir harus hapal al-Quran?
Tidak. Dulu memang harus hapal al-Quran karena belum ada CD-ROM. Yang penting, dia memiliki pengetahuan secara umum tentang al-Quran. Dia bisa saja mengingat suatu ayat tetapi tidak hapal persis. Dia harus hapal al-Quran, iya, tetapi tidak harus hapal semua teks al-Quran.
Kita jangan terlalu memperberat syarat unutk mempelajari al-Quran karena hanya akan menjauhkan orang dari al-Quran. Kita justru beri kemudahan. Karena itu, ada ulama yang membedakan antara pemahaman dan penafsiran al-Quran. Thabathaba’i membedakan antara tathbîq dan tafsir (penerapan dan penafsiran). Tujuannya, supaya semua orang bisa semakin dekat dengan al-Quran. Tafsir lebih berat daripada tathbîq.
Sedangkan tadabbur dilakukan sebelum menyampaikan tafsir. Saya mengamati, memperhatikan, dan merenungkan. Hasil itulah yang disebut tadabbur.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bahasa yang dipakai al-Quran bukanlah murni bahasa Arab melainkan juga memuat bahasa lain?
Itu benar. Seperti kata informasi. Itu bahasa apa? Itu bahasa Inggris yang sudah jadi bahasa Indonesia. Qirthâs itu bukan bahasa Arab. Jamharir juga bukan bahasa Arab. Banyak lagi. Zarabi dalam zarâbiyyu mabtsûsah juga bukan bahasa Arab.
Bagaimana cara Anda mendidik keluarga untuk mencintai al-Quran?
Secara khusus, tidak ada. Namun, saya selalu menyempatkan diri bersama keluarga membaca atau mendengar kisah-kisah dalam al-Quran. Saya juga memberi kesempatan mereka untuk banyak bertanya. Cucu saya, kelas 4 SD, sedang menyusun pertanyaan-pertanyaan yang harus saya jawab. Dia katakan ada seratus pertanyaan yang telah tersusun. Saya katakan bahwa saya akan buatkan buku, “Jawaban kakek kepada cucunya”. Dia, misalnya, bertanya, bagaimanakah Tuhan itu. Itu pertanyaan anak-anak. Kenapa sih ada malaikat. Saya takut mati. Pertanyaaan khas anak-anak.
Jadi, sebenarnya, kita tidak bisa lagi menggunakan cara orang tua kita dulu dalam mendidik anak. Dulu, begitu azan magrib, kita harus berkumpul di rumah untuk salat berjamaah. Sekarang tidak bisa lagi. Karena, jam 6 sore masih ada film kartun. Orang tua menunda salat agar anak-anak bisa ikut salat, atau mereka salat dulu dan menyuruh anak-anak salat sendiri.
Anak-anak sekarang bisa lebih banyak tahu daripada orang tua mereka. Dia buka internet. Dia punya kesempatan lebih banyak. Remaja kita sudah lebih pintar daripada kita dalam memperbaiki komputer. Jadi, pola mendidik anak memang sudah perlu diubah.
Keluarga Anda adalah orang-orang besar. Apa yang terjadi saat Anda berkumpul bersama mereka?
Kita bersahabat. Ayah mendidik kita untuk bersahabat dengan ibu dan anak-anak. Anak-anak perempuan dekat sekali dengan ibunya sehingga dia bisa curhat kepadanya dan tidak perlu curhat kepada orang lain. Saudara-saudaranya dijadikan sahabat. Hubungan saya yang terdekat dengan Alwi Shihab (mantan menko kesra—red) karena pernah tinggal bersama.
Di beberapa tempat, banyak muncul fenomena anak-anak kecil penghapal al-Quran. pada saat yang sama, serbuan budaya asing menyulitkan orang tua untuk fokus mendidik anak. Bagaimana komentar Anda?
Beberapa hari yang lalu, saya kedatangan rombongan Pesantren Lirboyo. Mereka membawa empat anak. anak-anak itu baru dididik satu bulan dan sudah menghapal Juz Amma. Bukan cuma menghapal, mereka bisa meneruskan penggalan ayat yang kita sebutkan. Mereka juga bisa menerjemahkan. Mereka juga bisa menyebutkan ayat secara lengkap hanya dengan dipancing nomornya saja. Saat dites dengan membaca ‘amma yatasâ`alûn, mundur dari belakang pun ternyata anak-anak umur 6-7 tahun itu pun mampu.

Bagi saya, fenomena itu menunjukkan mukjizat al-Quran. Artinya, al-Quran sangat mudah dihapal. Kedua, kita masih bisa mengembangkan hal-hal baru yang dulu belum sempat dikembangkan.

Sri Mulyani memberikan Kuliah Kebijakan Publik dan Etika Publik

“Saya ingin menceritakan cerita seperti ini kepada anda bagaimana ternyata konsep mengenai etika dan konflik kepentingan itu, bisa dikatakan sangat langka di Republik ini. Dan kalau kita berusaha untuk menjalankan dan menegakkan, kita dianggap menjadi barang yang aneh.”

Saya rasanya lebih berat berdiri disini daripada waktu dipanggil pansus Century. Dan saya bisa merasakan itu karena sometimes dari moral dan etikanya jelas berbeda. Dan itu yang membuat saya jarang sekali merasa grogi sekarang menjadi grogi. Saya diajari Pak Marsilam untuk memanggil orang tanpa mas atau bapak, karena diangap itu adalah ekspresi egalitarian. Saya susah manggil ‘Marsilam’, selalu pakai ‘pak’, dan dia marah. Tapi untuk Rocky saya malam ini saya panggil Rocky (Rocky Gerung dari P2D) yang baik. Terimakasih atas…… (tepuk tangan)

Tapi saya jelas nggak berani manggil Rahmat Toleng dengan Rahmat Tolengtor, kasus. Terimakasih atas introduksi yang sangat generous. Saya sebetulnya agak keberatan diundang malam hari ini untuk dua hal. Pertama karena judulnya adalah memberi kuliah. Dan biasanya kalau memberi kuliah saya harus, paling tidak membaca textbook yang harus saya baca dulu dan kemudian berpikir keras bagaimana menjelaskan.

Dan malam ini tidak ada kuliah di gedung atau di hotel yang begitu bagus tu biasanya kuliah kelas internasional atau spesial biasanya. Hanya untuk eksekutif yang bayar SPP nya mahal. Dan pasti neolib itu (disambut tertawa). Oleh karena itu saya revisi mungkin namanya lebih adalah ekspresi saya untuk berbicara tentang kebijakan publik dan etika publik. Yang kedua, meskipun tadi mas Rocky menyampaikan, eh salah lagi. Kalau tadi disebutkan mengenai ada dua laki-laki, hati kecil saya tetap saya akan mengatakan sampai hari ini saya adalah pembantu laki-laki itu (tepuk tangan). Dan malam ini saya akan sekaligus menceritakan tentang konsep etika yang saya pahami pada saat saya masih pembantu, secara etika saya tidak boleh untuk mengatakan hal yang buruk kepada siapapun yang saya bantu. Jadi saya mohon maaf kalau agak berbeda dan aspirasinya tidak sesuai dengan amanat pada hari ini.

Tapi saya diminta untuk bicara tentang kebijakan publik dan etika publik. Dan itu adalah suatu topik yang barangkali merupakan suatu pergulatan harian saya, semenjak hari pertama saya bersedia untuk menerima jabatan sebagai menteri di kabinet di Republik Indonesia itu.

Suatu penerimaan jabatan yang saya lakukan dengan penuh kesadaran, dengan segala upaya saya untuk memahami apa itu konsep jabatan publik. Pejabat negara yang pada dalam dirinya, setiap hari adalah melakukan tindakan, membuat pernyataan, membuat keputusan, yang semuanya adalah dimensinya untuk kepentingan publik.

Disitu letak pertama dan sangat sulit bagi orang seperti saya karena saya tidak belajar, seperti anda semua, termasuk siapa tadi yang menjadi MC, tentang filosofi. Namun saya dididik oleh keluarga untuk memahami etika di dalam pemahaman seperti yang saya ketahui. Bahwa sebagai pejabat publik, hari pertama saya harus mampu untuk membuat garis antara apa yang disebut sebagai kepentingan publik dengan kepentingan pribadi saya dan keluarga, atau kelompok.

Dan sebetulnya tidak harus menjadi muridnya Rocky Gerung di filsafat UI untuk pintar mengenai itu. Karena kita belajar selama 30 tahun dibawah rezim presiden Soeharto. Dimana begitu acak hubungan, dan acak-acakan hubungan antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dan itu merupakan modal awal saya untuk memahami konsekuensi menjadi pejabat publik yang setiap hari harus membuat kebijakan publik dengan domain saya sebagai makhluk, yang juga punya privacy atau kepentingan pribadi.

Di dalam ranah itulah kemudian dari hari pertama dan sampai lebih dari 5 tahun saya bekerja untuk pemerintahan ini. Topik mengenai apa itu kebijakan publik dan bagaimana kita harus, dari mulai berpikir, merasakan, bersikap, dan membuat keputusan menjadi sangat penting. Tentu saya tidak perlu harus mengulangi, karena itu menyangkut, yang disebut, tujuan konstitusi, yaitu kepentingan masyarakat banyak. Yaitu mencapai kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.

Jadi kebijakan pubik dibuat tujuannya adalah untuk melayani masyarakat, Kebijakan publik dibuat melalui dan oleh kekuasaan. Karena dia dibuat oleh institusi publik yang eksis karena dia merupakan produk dari suatu proses politik dan dia memiliki kekuasaan untuk mengeluarkannya. Disitulah letak bersinggungan, apa yang disebut sebagai ingridient utama dari kebijakan publik, yaitu unsur kekuasaan. Dan kekuasaan itu sangat mudah menggelincirkan kita.

Kekuasaan selalu cenderung untuk corrupt. Tanpa adanya pengendalian dan sistim pengawasan, saya yakin kekuasaan itu pasti corrupt. Itu sudah dikenal oleh kita semua. Namun pada saat anda berdiri sebagai pejabat publik, memiliki kekuasan dan kekuasan itu sudah dipastikan akan membuat kita corrupt, maka pertanyaan ‘kalau saya mau menjadi pejabat publik dan tidak ingin corrupt, apa yang harus saya lakukan?’

Oleh karena itu, di dalam proses-proses yang dilalui atau saya lalui, jadi ini lebih saya cerita daripada kuliah. Dari hari pertama, karena begitu khawatirnya, tapi juga pada saat yang sama punya perasaan anxiety untuk menjalankan kekuasaan, namun saya tidak ingin tergelincir kepada korupsi, maka pada hari pertama anda masuk kantor, anda bertanya dulu kepada sistem pengawas internal anda dan staff anda. Apalagi waktu itu jabatan dari Bappenas menjadi Menteri Keuangan. Dan saya sadar sesadar sadarnya bahwa kewenangan dan kekuasaan Kementrian Keuangan atau Menteri Keuangan sungguh sangat besar. Bahkan pada saat saya tidak berpikir corrupt pun orang sudah berpikir ngeres mengenai hal itu.

Bayangkan, seseorang harus mengelola suatu resources yang omsetnya tiap tahun sekitar, mulai dari saya mulai dari 400 triliun sampai sekarang diatas 1000 triliun, itu omset. Total asetnya mendekati 3000 triliun lebih.(batuk2) Saya lihat (ehem!) banyak sekali (ehem lagi) kalau bicara uang terus langsung…. (ada air putih langsung datang diiringi ketawa hadirin).

Saya sudah melihat banyak sekali apa yang disebut tata kelola atau governance. Pada saat seseorang memegang suatu kewenangan dimana melibatkan uang yang begitu banyak. Tidak mudah mencari orang yang tidak tergiur, apalagi terpeleset, sehingga tergoda bahwa apa yang dia kelola menjadi seolah-olah menjadi barang atau aset miliknya sendiri.

Dan disitulah hal-hal yang sangat nyata mengenai bagaimana kita harus membuat garis pembatas yang sangat disiplin. Disiplin pada diri kita sendiri dan dalam, bahkan, pikiran kita dan perasaan kita untuk menjalankan tugas itu secara dingin, rasional, dengan penuh perhitungan dan tidak membolehkan perasaan ataupun godaan apapun untuk, bahkan berpikir untuk meng-abusenya.

Barangkali itu istilah yang disebut teknokratis. Tapi saya sih menganggap bahwa juga orang yang katanya berasal dari akademik dan disebut tekhnokrat tapi ternyata ‘bau’nya tidak seperti itu. Tingkahnya apalagi lebih-lebih. Jadi saya biasanya tidak mengklasifikasikan berdasarkan label. Tapi berdasarkan genuine product nya dia hasilnya apa, tingkah laku yang esensial.

Nah, di dalam hari-hari di mana kita harus membicarakan kebijakan publik, dan tadi disebutkan bahwa kewenangan begitu besar, menyangkut sebuah atau nilai resources yang begitu besar. Kita mencoba untuk menegakkan rambu-rambu, internal maupun eksternal.

Mungkin contoh untuk internal hari pertama saya bertanya kepada Inspektorat Jenderal saya. “Tolong beri saya list apa yang boleh dan tidak boleh dari seorang menteri.” Biasanya mereka bingung, tidak pernah ada menteri yang tanya begitu ke saya bu.

Kalau seorang menteri kemudian menanyakan apa yang boleh dan nggak boleh, buat mereka menjadi suatu pertanyaan yang sangat janggal. Untuk kultur birokrat, itu sangat sulit dipahami. Di dalam konteks yang lebih besar dan alasan yang lebih besar adalah dengan rambu-rambu. Kita membuat standard operating procedure, tata cara, tata kelola untuk membuat bagaimana kebijakan dibuat. Bahkan menciptakan sistem check and balance.

Karena kebijakan publik dengan menggunakan elemen kekuasaan, dia sangat mudah untuk memunculkan konflik kepentingan. Saya bisa cerita berhari-hari kepada anda. Banyak contoh di mana produk-produk kebijakan sangat memungkinkan seorang, pada jabatan Menteri Keuangan, mudah tergoda. Dari korupsi kecil hingga korupsi yang besar. Dari korupsi yang sifatnya hilir dan ritel sampai korupsi yang sifatnya upstream dan hulu.

Dan bahkan dengan kewenangan dan kemampuannya dia pun bisa menyembunyikan itu. Karena dengan kewenangan yang besar, dia juga sebetulnya bisa membeli sistem. Dia bisa menciptakan network. Dia bisa menciptakan pengaruh. Dan pengaruh itu bisa menguntungkan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya. Godaan itulah yang sebetulnya kita selalu ingin bendung. Karena begitu anda tergelincir pada satu hal, maka tidak akan pernah berhenti.

Namun, meskipun kita mencoba untuk menegakkan aturan, membuat rambu-rambu, dengan menegakkan pengawasan internal dan eksternal, sering bahwa pengawasan itu pun masih bisa dilewati. Disinilah kemudian muncul, apa yang disebut unsur etika. Karena etika menempel dalam diri kita sendiri. Di dalam cara kita melihat apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, apakah sesuatu itu menghianati atau tidak menghianati kepentingan publik yang harus kita layani. Apakah kita punya keyakinan bahwa kita tidak sedang menghianati kebenaran. Etika itu ada di dalam diri kita.

Dan kemudian kalau kita bicara tentang total, atau di dalam bahasa ekonomi yang keren namanya agregat, setiap kepala kita dijumlahkan menjadi etika yang jumlahnya agregat atau publik, pertanyaannya adalah apakah di dalam domain publik ini setiap etika pribadi kita bisa dijumlahkan dan menghasilkan barang publik yang kita inginkan, yaitu suatu rambu-rambu norma yang mengatur dan memberikan guidance kepada kita.

Saya termasuk yang sungguh sangat merasakan penderitaan selama menjadi menteri. Karena (etika) itu tidak terjadi. Waktu saya menjadi menteri, sering saya harus berdiri atau duduk berjam-jam di DPR. Disitu anggota DPR bertanya banyak hal. Kadang-kadang bernada pura-pura sungguh-sungguh. Merek mengkritik begitu keras. Tapi kemudian mereka dengan tenangnya mengatakan ‘Ini adalah panggung politik bu.’

Waktu saya dulu masuk menteri keuangan pertama saya masih punya dua Dirjen yang sangat terkenal, Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai saya. Mereka sangat powerful. Karena pengaruhnya, dan respectability, saya tidak tahu karena kepada anggota dewan sangat luar biasa. Dan waktu saya ditanya, mulainya dari…? Segala macem. Setiap keputusan, statemen saya dan yang lain-lain selalu ditanya dengan sangat keras. Saya tadinya cukup naif mengatakan, “Oh ini ongkos demokrasi yang harus dibayar.” Dan saya legowo saja dengan tenang menulis pertanyaan-pertanyaan mereka.

Waktu sudah ditulis mereka keluar ruangan, nggak pernah peduli mau dijawab atau tidak. Kemudian saya dinasehati oleh Dirjen saya itu, “Ibu tidak usah dimasukkan ke hati bu. Hal seperti itu hanya satu episod drama saja. ” Tapi kemudian itu menimbulkan satu pergolakan batin orang seperti saya. Karena saya kemudian bertanya. Tadi dikaitkan dengan etika publik, kalau orang bisa secara terus menerus berpura-pura, dan media memuat, dan tidak ada satu kelompokpun mengatakan bahwa itu kepura-puraan maka kita bertanya, apalagi? siapa lagi yang akan menjadi guidance? yang mengingatkan kita dengan, apa yang disebut, norma kepantasan. Dan itu sungguh berat. Karena saya terus mengatakan kalau saya menjadi pejabat publik, ongkos untuk menjadi pejabat publik, pertama, kalau saya tidak corrupt, jelas saya legowo nggak ada masalah. Tapi yang kedua saya menjadi khawatir saya akan split personality.

Waktu di dewan saya menjadi personality yang lain, nanti di kantor saya akan menjadi lain lagi, waktu di rumah saya lain lagi. Untung suami dan anak-anak saya tidak pernah bingung yang mana saya waktu itu. Dan itu sesuatu yang sangat sulit untuk seorang seperti saya untuk harus berubah-ubah. Kalau pagi lain nilainya dengan sore, dan sore lain dengan malam. Malam lain lagi dengan tengah malam. Kan itu sesuatu yang sangat sulit untuk diterima. Itu ongkos yang paling mahal bagi seorang pejabat publik yang harus menjalankan dan ingin menjalankan secara konsisten.

Nah, oleh karena itu, didalam konteks inilah kita kan bicara mengenai kebijakan publik, etika publik yang seharusnya menjadi landasan, arahan bagi bagaimana kita memproduksi suatu tindakan, keputusan, yang itu adalah untuk urusan rakyat. Yaitu kesejahteraan rakyat, mengurangi penderitaan mereka, menaikkan suasana atau situasi yang baik di masyarakat, namun di sisi lain kita harus berhadapan dengan konteks kekuasaan dan struktur politik. Dimana buat mereka norma dan etika itu nampaknya bisa tidak hanya double standrart, triple standart.

Dan bahkan kalau kita bicara tentang istilah dan konsep mengenai konflik kepentingan, saya betul-betul terpana. Waktu saya menjadi executive director di IMF, pertama kali saya mengenal apa yang disebut birokrat dari negara maju. Hari pertama saya diminta untuk melihat dan tandatangan mengenai etika sebagai seorang executive director, do dan don’ts. Disitu juga disebutkan mengenai konsep konflik kepentingan. Bagaimana suatu institusi yang memprodusir suatu policy publik, untuk level internasional, mengharuskan setiap elemen, orang yang terlibat di dalam proses politik atau proses kebijakan itu harus menanggalkan konflik kepentingannya. Dan kalau kita ragu kita boleh tanya, apakah kalau saya melakukan ini atau menjabat yang ini apakah masuk dalam domain konflik kepentingan. Dan mereka memberikan counsel untuk kita untuk bisa membuat keputusan yang baik.

Sehingga bekerja di institusi seperti itu menurut saya mudah. Dan kalau sampai anda tergelincir ya kebangetan aja anda. Namun waktu kembali ke Indonesia dan saya dengan pemahaman pengenai konsep konflik kepentingan, saya sering menghadiri suatu rapat membuat suatu kebijakan, dimana kebijakan itu akan berimplikasi kepada anggaran, entah belanja, entah insentif, dan pihak yang ikut duduk dalam proses kebijakan itu adalah pihak yang akan mendapatkan keuntungan itu. Dan tidak ada rasa risih. Hanya untuk menunjukkan yang penting pemerintahan efektif, jalan. Kuenya dibagi ke siapa itu adalah urusan sekunder.

Anda bisa melihat bahwa kalau pejabat itu adalah background nya pengusaha, meskipun yang bersangkutan mengatakan telah meninggalkan seluruh bisnisnya, tapi semua orang tahu bahwa adiknya, kakaknya, anaknya, dan teteh, mamah, aa’ semuanya masih run. Dan dengan tenangnya, berbagai kebijakan, bahkan yang membuat saya terpana, kalau dalam hal ini apa disebutnya? kalau dalam bahasa inggris apa disebutnya?i drop my job atau apa..bengong itu.

Kita bingung bahwa ada suatu keputusan dibuat, dan saya banyak catatan pribadi saya di buku saya. Ada keputusan ini, tiba-tiba besok lagi keputusan itu ternyata yang mengimport adalah perusahaannya dia. Nah ini merupakan sesuatu hal yang barangkali tanpa harus mendramatisir yang dikatakan oleh Rocky tadi seolah-olah menjadi the most reasonable phenomena. Kita semua tahu, itulah penyakit yang terjadi di jaman orde baru. Hanya dulu dibuatnya secara tertutup, tapi sekarang dengan kecanggihan, karena kemampuan dari kekuasaan, dia mengkooptasi decision making process juga. Kelihatannya demokrasi, kelihatannya melalui proses check and balance, tapi di dalam dirinya, unsur mengenai konflik kepentingan dan tanpa etika begitu kental. Etika itu barang yang jarang disebut pak.

Ada suatu saat saya membuat rapat dan rapat ini jelas berhubungan dengan beberapa perusahaan. Kebetulan ada beberapa dari yang kita undang, dia adalah komisaris dari beberapa perusahaan itu. Kami biasa, dan saya mengatakan dengan tenang, bagi yang punya aviliasi dengan apa yang kita diskusikan silahkan keluar dari ruangan. Memang itu adalah tradisi yang coba kita lakukan di kementrian keuangan. Kebetulan mereka adlaah teman-teman saya. Jadi teman-teman saya itu dengan bitter mengatakan, “Mba ni jangan sadis-sadis amat lah kayak gitu. Kalaupun kita disuruh keluar juga diem-diem aja. Nggak usah caranya kayak gitu.” Saya ingin menceritakan cerita seperti ini kepada anda bagaimana ternyata konsep mengenai etika dan konflik kepentingan itu, bisa dikatakan sangat langka di republik ini. Dan kalau kita berusaha untuk menjalankan dan menegakkan, kita dianggap menjadi barang yang aneh. Jadi tadi kalau MC nya menjelaskan bahwa saya ingin menjelaskan bahwa di luar gua itu ada sinar dan dunia yang begitu bagus, di dalam saya dianggap seperti orang yang cerita yang nggak nggak aja. Belum kalau di dalam konteks politik besar, kemudian, wah ini konsep barat pasti ‘Lihat saja Sri Mulyani, neolib.’

Jadi saya mungkin akan mengatakan bagaimana ke depan di dalam proses politik. Tentu adalah suatu keresahan buat kita. Karena episode yang terjadi beberapa kali adalah bahwa di dalam ruangan publik, rakyat atau masyarakat yang harusnya menjadi the ultimate shareholder dari kekuasaan. Dia memilih, kepada siapapun CEO di republik ini dan dia juga memilih dari orang-orang yang diminta untuk menjadi pengawas atau check terhadap CEO nya.

Dan proses ini ternyata juga tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang yang mengatakan untuk menjadi seorang jabatan eksekutif dari level kabupaten, kota, propinsi, membutuhkan biaya yang luar biasa, apalagi presiden pastinya. Dan biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan untuk suatu beban seseorang. Saya menteri keuangan saya biasa mengurusi ratusan triliun bahkan ribuan, tapi saya tidak kaget dengan angka. Tapi saya akan kaget kalau itu menjadi beban personal. Seseorang akan menjadi kandidat mengeluarkan biaya sebesar itu. Kalkulasi mengenai return of investment saja tidak masuk. Bagaimana anda mengatakan dan waktu saya mengatakan saya lihat struktur gaji pejabat negara sungguh sangat tidak rasional. Dan kita pura-pura tidak boleh menaikkan karena kalau menaikkan kita dianggap mau mensejahterakan diri sebelum mensejahterakan rakyat. Sehingga muncullah anomali yang sangat tidak bisa dijelaskan oleh logika akal sehat, bahkan Rocky bilangnya ada akal miring. Saya mencoba sebagai pejabat negara untuk mengembalikan akal sehat dengan mengatakan strukturnya harus dibenahi lagi. Namun toh tetap tidak bisa menjelaskan suatu proses politik yang begitu sangat mahalnya.

Sehingga memunculkan suatu kebutuhan untuk berkolaborasi dengan sumber finansialnya. Dan disitulah kontrak terjadi. Di tingkat daerah, tidak mungkin itu dilakukan dengan membayar melalui gajinya. Bahkan melalui APBD nya pun tidak mungkin karena size dari APBN nya kadang-kadang tidak sebesar atau mungkin juga lebih sulit. Sehingga yang bisa adalah melalui policy. Policy yang bisa dijual belikan. Dan itu adalah adalah bentuk hasil dari suatu kolaborasi.

Pertanyaan untuk kita semua, bagaimana kita menyikapi hal ini didalam konteks bahwa produk dari kebijakan publik, melalui sebuah proses politik yang begitu mahal sudah pasti akan di “stated” dengan struktur yang membentuk awalnya. Karena kebijakan publik adalah hilirnya, hasil akhir. Hulunya yang memegang kekuasaan, lebih hulu lagi adalah prosesnya untuk mendapatkan kekuasaan itu demikian mahal.

Dan itu akan menjadi pertanyaan yang concern untuk sebuah sistem demokrasi. Maka pada saat kita dipilih atau diminta untuk menjadi pembantu atau menjadi bagian dari pemerintah, Tentu kita tidak punya ilusi bahwa ruangan politik itu vakum atau hampa dari kepentingan. politik dimana saja pasti tentang kepentingan. Dan kepentingan itu kawin diantara beberapa kelompok untuk mendapatkan kekuasaan itu. Pasti itu perkawinannya adalah pada siapa saja yang menjadi pemenang.

Kalau pada hari ini tadi disebutkan ada yang menanyakan atau menyesalkan atau ada yang menangisi ada yang gelo (jawa:menyesal. red), kenapa kok Sri Mulyani memutuskan untuk mundur dari Menteri Keuangan. Tentu ini adalah suatu kalkulasi dimana saya menganggap bahwa sumbangan saya, atau apapun yang saya putuskan sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam sistem politik. Dimana perkawinan kepentingan itu begitu sangat dominan dan nyata. Banyak yang mengatakan itu adalah kartel, saya lebih suka pakai kata kawin, walaupun jenis kelaminnya sama. (ketawa dan tepuktangan)

Karena politik itu lebih banyak lakinya daripada perempuan makanya saya katakan tadi. Hampir semua ketua partai politik laki kecuali satu. Dan di dalam bahwa di mana sistem politik tidak menghendaki lagi atau dalam hal ini tidak memungkinkan etika publik itu bisa dimunculkan, maka untuk orang seperti saya akan menjadi sangat tidak mungkin untuk eksis. Karena pada saat saya menerima tangungjawab untuk menjadi pejabat publik, saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri, saya tidak ingin menjadi orang yang akan menghianati dengan berbuat corrupt. Saya tidak mengatakan itu gampang. Sangat painful. Sungguh painful sekali. Dan saya tidak mengatakan bahwa saya tidak pernah mengucurkan atau meneteskan airmata untuk menegakkan prinsip itu. Karena ironinya begitu besar. Sangat besar. Anda memegang kekuasaan begitu besar. Anda bisa, anda mampu, anda bahkan boleh, bahkan diharapkan untuk meng abuse nya oleh sekelompok yang sebetulnya menginginkan itu terjadi agar nyaman dan anda tidak mau. (tepuk tangan) Pada saat yang sama anda tidak selalu di apresiasi. P2D kan baru muncul sesudah saya mundur (ketawa, disini dia terlihat mengusapkan saputangan ke matanya). Jadi ya terlambat tidak apa-apa, terbiasa. Saya masih bisa menyelamatkan republik ini lah.

Jadi saya tidak tahu tadi, Rocky tidak ngasih tahu saya berapa menit atau berapa jam. Soalnya diatas jam 9 argonya lain lagi nanti. Jadi saya gimana harus menutupnya. Nanti kayaknya nyanyi aja balik terus nanti.

Mungkin saya akan mengatakan bahwa pada bagian akhir kuliah saya ini atau cerita saya ini saya ingin menyampaikan kepada semua kawan-kawan disini. Saya bukan dari partai politik, saya bukan politisi, tapi tidak berarti saya tidak tahu politik. Selama lebih dari 5 tahun saya tahu persis bagaimana proses politik terjadi. Kita punya perasaan yang bergumul atau bergelora atau resah. Keresahan itu memuncak pada saat kita menghadapi realita jangan-jangan banyak orang yang ingin berbuat baik merasa frustrasi. Atau mungkin saya akan less dramatic. Banyak orang-orang yang harus dipaksa untuk berkompromi dan sering kita menghibur diri dengan mengatakan kompromi ini perlu untuk kepentingan yang lebih besar. Sebetulnya cerita itu bukan cerita baru, karena saya tahu betul pergumulan para teknokrat jaman Pak Harto, untuk memutuskan stay atau out adalah pada dilema, apakah dengan stay saya bisa membuat kebijakan publik yang lebih baik sehingga menyelamatkan suatu kerusakan yang lebih besar. Atau anda out dan anda disitu akan punya kans untuk berbuat atau tidak, paling tidak resiko getting associated with menjadi less. Personal gain, public loss. If you stay, dan itu yang saya rasakan 5 tahun, you suddenly feel that everybody is your enemy.

Karena no one yang sangat simpati dan tahu kita pun akan tidak terlalu happy karena kita tetap berada di dalam sistem. Yang tidak sejalan dengan kita, juga jengkel karena kita tidak bisa masuk kelompok yang bisa diajak enak-enakan. Sehingga anda di dalam di sandwich di dua hal itu. Dan itu bukan suatu pengalaman yang mudah. Sehingga kita harus berkolaborasi untuk membuat space yang lebih enak, lebih banyak sehingga kita bisa menemukan kesamaan.

Nah kalau kita ingin kembali kepada topiknya untuk menutup juga, saya rasa forum-forum semacam ini atau saya mengatakan kelompok seperti anda yang duduk pada malam hari ini adalah kelompok kelas menengah. YAng sangat sadar membayar pajak. Membayarnya tentu tidak sukarela, tidak seorang yang patriotik yang mengatakan dia membayar pajak sukarela. Tapi meskipun tidak sukarela, anda sadar bahwa itu adalah suatu kewajiban untuk menjaga republik ini tetap berdaulat. Dan orang seperti anda yang tau membayar pajak adalah kewajiban dan sekaligus hak untuk menagih kepada negara, mengembalikan dalam bentuk sistim politik yang kita inginkan. Maka sebetulnya di tangan orang-orang seperti anda lah republik ini harus dijaga. Sungguh berat, dan saya ditanya atau berkali-kali di banyak forum untuk ditanya, kenapa ibu pergi? Bagaimana reformasi, kan yang dikerjakan semua penting. Apakah ibu tidak melihat Indonesia sebagai tempat untuk pengabdian yang lebih penting dibandingkan bank dunia.

Seolah-olah sepertinya negara ini menjadi tanggungjawab Sri Mulyani. Dan saya keberatan. Dan saya ingin sampaikan di forum ini karena anda juga bertanggungjawab kalau bertanya hal yang sama ke saya. Anda semua bertanggungjawab sama seperti saya. Mencintai republik ini dengan banyak sekali pengorbanan sampai saya harus menyampaikan kepada jajaran pajak, jajaran bea cukai, jajaran perbendaharaan, “Jangan pernah putus asa mencintai republik.” Saya tahu, sungguh sulit mengurusnya pada masa-masa transisi yang sangat pelik.

Kecintaan itu paling tidak akan terus memelihara suara hati kita. Dan bahkan menjaga etika kita di dalam betindak dan berbuat serta membuat keputusan. Dan saya ingin membagi kepada teman-teman disini, karena terlalu banyak di media seolah-olah ditunjukkan yang terjadi dari aparat di kementrian keuangan yang sudah direformasi masih terjadi kasus seperti Gayus. Saya ingin memberikan testimoni bahwa banyak sekali aparat yang betul-betul genuine adalah orang-orang yang dedicated. Mereka yang cinta republik sama seperti anda. Mereka juga kritis, mereka punya nurani, mereka punya harga diri. Dia bekerja pada masing-masing unit, mungkin mereka tidak bersuara karena mereka adalah bagian dari birokrat yang tidak boleh bersuara banyak tapi harus bekerja.

Sebagian kecil adalah kelompok rakus, dan dengan kekuasaan sangat senang untuk meng abuse. Tapi saya katakan sebagian besar adalah orang-orang baik dan terhormat. Saya ingin minta tolong dibantu, berilah ruang untuk orang-orang ini untuk dikenali oleh anda juga dan oleh masyarakat. Sehingga landscape negara ini tidak hanya didominasi oleh cerita, oleh tokoh, apalagi dipublikasi dengan seolah-oalh menggambarkan bahwa seluruh sistem ini adalah buruk dan runtuh. Selama seminggu ini saya terus melakukan pertemuan dan sekaligus perpisahan dengan jajaran di kementrian keuangan dan saya bisa memberikan, sekali lagi, testimoni bahwa perasaan mereka untuk membuktikan bahwa reform bisa jalan ada disana. Bantu mereka untuk tetap menjaga api itu. Dan jangan kemudian anda disini bicara dengan saya, ya bisa diselamatkan kalau Sri Mulyani tetap menjadi Menteri keuangan. Saya rasa tidak juga.

Suasana yang kita rasakan pada minggu-minggu yang lalu, bulan-bulan yang lalu, seolah-olah persoalan negara ini disandera oleh satu orang, sri mulyani. Sedemikian pandainya proses politik itu diramu sedemikian sehingga seolah-olah persoalannya menjadi persoalan satu orang. Seseorang yang pada sautu ketika dia harus membuat keputusan yang sungguh tidak mudah, dengan berbagai pergumulan, kejengkelan, kemarahan, kecapekan, kelelahan, namun dia harus tetap membuat kebijakan publik. Dia berusaha, berusaha di setiap pertemuan, mencoba untuk meneliti dirinya sendiri apakah dia punya kepentingan pribadi atau kelompok, dan apakah dia diintervensi atau tidak, apakah dia membuat keputusan karena ada tujuan yang lain. Berhari-hari, berjam-jam dia bertanya, dia minta, dia mengundang orang dan orang-orang ini yang tidak akan segan mengingatkan kepada saya. Meskipun mereka tahu saya menteri, mereka lebih tua dari saya. Orang seperti pak Darmin, siapa yang bisa bilang atau marahin Pak Marsilam?Wong semua orang dimarahin duluan sama dia.

Mereka ada disana hanya untuk mengingatkan saya berbagai rambu-rambu, berbagai pilihan dan pilihan sudah dibuat. Dan itu dilaporkan, dan itu diaudit dan itu kemudian dirapatkan secara terbuka. Dan itu kemudian dirapatkerjakan di DPR. Bagaimana mungkin itu kemudia 18 bulan kemudian dia seolah-olah menjadi keputusan individu seorang Sri Mulyani. Proses itu berjalan dan etika sunyi. Akal sehat tidak ada. Dan itu memunculkan suatu perasaan apakah pejabat publik yang tugasnya membuat kebijakan publik pada saat dia sudah mengikuti rambu-rambu, dia masih bisa divictimize oleh sebuah proses politik.

Saya hanya mengatakan, kalau dulu pergantian rezim orde lama ke orde baru, semua orang di stigma komunis, kalau ini khusus didisain pada era reformasi seorang distigma dengan Sri Mulyani identik dengan Century. Mungkin kejadiannya di satu orang saja, tapi sebetulnya analogi dan kesamaan mengenai suatu penghakiman telah terjadi. Sebetulnya disitulah letak kita untuk mulai bertanya, apakah proses politik yang didorong, yang dimotivate, yang ditunggangi oleh suatu kepentingan membolehkan seseorang untuk dihakimi, bahkan tanpa pengadilan. Divonis tanpa pengadilan. Itu barangkali adalah suatu episod yang sebetulnya sudah berturut-turut kita memahami konsekuensi sebagai pejabat publik yang tujuannya membuat kebijakan publik, dan berpura-pura seolah-olah ada etika dan norma yang menjadi guidance kita dibenturkan dengan realita-realita politik.

Dan untuk itu, saya hanya ingin mengatakan sebagai penutup, sebagian dari anda mengatakan apakah Sri mulyani kalah, apakah sri mulyani lari? Dan saya yakin banyak yang menyesalkan keputusan saya. Banyak yang menganggap itu adalah suatu loss atau kehilangan. Diantara anda semua yang ada disini, saya ingin mengatakan bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang menginginkan saya tidak disini. (applause)

Saya merasa berhasil dan saya merasa menang karena definisi saya adalah tiga. Selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka disitu saya menang. (applause-standing ovation).

Terimakasih

— Transkrip Kuliah SRI MULYANI: KEBIJAKAN PUBLIK dan ETIKA PUBLIK
di acara Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D),Jakarta, 18 Mei 2010

————-

Rabu, 19/05/2010 19:57 WIB
Sri Mulyani Bicara dari Bank Dunia Hingga Rencana 2014
Nurul Qomariyah – detikFinance

Jakarta – Sri Mulyani Indrawati buka-bukaan dengan para netter via detikForum. Berbagai pertanyaan dijawab oleh Sri Mulyani, mulai dari alasannya pindah ke Bank Dunia, hingga gosip nasi goreng untuk Presiden SBY.

Disela-sela kesibukannya mengadakan farewell party menjelang kepindahannya ke Washington DC, AS, Sri Mulyani menyempatkan diri untuk menyapa para detikers di kantornya, Lapangan Banteng, Jakarta, Rabu (19/5/2010). Live Chat berlangsung selama sekitar 1 jam.

Sri Mulyani yang mengenakan blazer merah tampak senang melayani pertanyaan dari detikers. Sesekali chatting juga diselingi dengan tawa Sri Mulyani yang ingin memberi smiley untuk memberikan ‘warna’ pada jawabannya.

Berikut rangkuman pertanyaan dari para detikers (DF) dan jawaban dari Sri Mulyani (SMI):

DF: Kenapa Ibu lebih memilih untuk meninggalkan posisi Menkeu dan memilih Managing Director di Bank Dunia? Apakah Ibu lebih memilih bekerja di luar negeri dari pada berbakti kepada Negara untuk membangun Indonesia yang lebih baik?

Selanjutnya, apa tanggapan Ibu dengan pendapat “Ibu Sri sengaja lari dari permasalahan yang sekarang sering dikait-kaitkan dengan Ibu Sri”?

SMI: Saya tidak lari dari permasalahan. Saya menerima pekerjaan sebagai managing director bank dunia adalah untuk mengabdi untuk kepentingan indonesia juga.

DF: Bagaimana cara ibu menghadapi tekanan yang begitu banyak. Bagaimana caranya ibu bisa tetap tersenyum? Mohon dibagi rahasianya bu Ani…

SMI: Saya tersenyum karena selalu teringat ada detikers seperti kamu.

DF: Menurut Ibu Sri Mulyani, kira-kira siapa yang pantas untuk menjadi pengganti ibu di posisi menteri Keuangan RI?

SMI: Mereka yang meneruskan reform dan cinta pada rakyat indonesia melebihi kecintaannya pada diri sendiri.

DF: Saya sangat menghargai reformasi birokrasi yang Ibu lakukan di Kemenkeu. Hasilnya kelihatan, walaupun masih ada cacat di sana sini (kasus Gayus). Mohon pendapat Ibu secara jujur, apakah Ibu yakin bahwa sepeninggal Ibu, para pegawai di Kemenkeu akan terus mempertahankan apa yg sudah Ibu bangun selama ini? Hal ini berkaitan dengan masalah integritas para pegawai Bu. Kami khawatir apabila Ibu sudah meninggalkan Kemenkeu, maka ‘para tikus’ akan berpesta pora kembali.

SMI: Para pegawai di Kemenkeu akan berjanji untuk meneruskan reformasi di Kemenkeu. Apabila mereka tidak, Anda-Andalah yang mengontrolnya. Jaga agar para politikus juga tidak mengganggu reformasi.

DF: Saya mau tanya, benar ga utang kita semakin membesar? Menurut ibu bisakah kita lakukan untuk membayar utang tersebut TANPA menggadaikan/menjual aset negara? dan tanpa mengekspor SDA yang semakin hari semakin habis? dengan kata lain apakah ibu punya jalan keluar lainnya?

Kalau bisa dilakukan, kira-kira dapat mendegredasikan hutang kita hingga beberapa persen per tahunnya?

SMI: Utang bertambah apabila anggaran pemerintah untuk belanja selalu lebih besar dari penerimaan negara terutama dari pajak. indonesia dapat membayar utang selama perekonomiaan dikelola dengan baik dan pemerintahan makin kompeten dan bersih sehingga penerimaan negara akan semakin besar. Utang yang dipakai untuk kegiatan produktif seperti membangun infrastruktur dan pendidikan juga pasti akan bisa dibayar, karena hasil dari hutang itu pasti lebih besar dari biayanya.

DF:

Yang menjadi pertanyaan saya adalah :
1. Sebagai Managing Director World Bank nantinya, kira-kira apa yang ibu canangkan untuk kemajuan negara ini?

2. Disalahkan secara poliltik oleh pihak tertentu (untuk kepentingan golongannya) atas suatu kebijakan yang bertujaun menyelamatkan negara(dan sudah terbukti), pastilah sangat menyakitkan. Kira-kira apa pesan ibu terhadap mereka (golongan itu)?

3. Saya saat ini, melihat bahwa kebanyakan masyarakat indonesia (terlebih anggota DPR), memiliki sifat SMOS (susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah), hal ini terlihat dari sikap mereka yang tidak rela ibu mundur karena mendapat pekerjaan yang lebih “tinggi”, padahal awalnya mereka meminta ibu mundur. Sangat terlihat sekali bahwa pada intinya mereka tidak senang dengan keberhasilan dan prestasi ibu (setidaknya dalam sudut pandang saya). Menurut ibu, budaya yang seperti ini, apakah memank ciri khas indonesia? apa yang harus kita lakukan agar budaya memalukan seperti ini dapat hilang dari tanah bumi pertiwi kita ini?

4. Dan terakhir, menurut anda bagaimana perekonomian kita 3 atau 5 tahun kedepan?

SMI:

1. Indonesia sebagai salah satu negara anggota Bank Dunia, dapat memanfaatkan bank Dunia dari segi Knowledge atau pengetahuan maupun dalam melihat pengalaman-pengalaman dalam berbagai negara di dunia untuk mengelola pembangunan.

2. Menjadi politikus yang etis, tentu bermanfaat bagi masyarakat, dan masyarakat pasti bisa menilai sikap dan tindakan dari politisi yang dianggap sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa ini.

3.Ya, Saya rasa banyak orang Indonesia yang memiliki sikap yang positif dan ingin melihat orang-orang untuk bisa maju dan berprestasi.

4. Perekonomian kita memiliki banyak potensi untuk bisa maju dan berkembang menyamai negara-negara emerging, seperti China, India dan Brazil.

DF:

1. Setelah masa jabatan ibu di World Bank berakhir, apakah ibu akan kembali berkarya di Indonesia? kami perlu figur seperti ibu untuk mengangkat moral kami kembali.

2. Menurut ibu, kebijakan seperti apa yg perlu dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi & menindak “oknum-oknum” tersebut?

3. Menurut ibu, apakah kebijakan pencabutan remunerisasi yg digembar-gemborkan oleh sebagian anggota DPR itu cukup relevan untuk diterapkan?

SMI:

1. Ya, saya pasti akan kembali

2. Untuk menindak oknum harus dilakukan langkah2 tegas dengan menggunakan rambu2 perundangan yang ada untuk bisa menghukum yang bersalah, dan memberi apresiasi bagi yang berprestasi dengan demikian indonesia akan dapat membangun institusi yang bisa dipercaya karena berisi orang2 yang komit terhadap perbaikan

3. Remunerasi tidak akan dicabut karena dpr paham bahwa reformasi masih harus diteruskan dan didukung

DF: Siapkah jika nanti ditahun 2014 ada partai yg mencalonkan ibu sebagai calon presiden?

SMI: 2014 masih lama, saya fokus pada pekerjaan saat ini saja

DF: Banyak sekali hal yang ingin saya tanyakan dengan ibu, mudah-mudahan ibu berkenan menjawabnya. langsung saja bu :

1. Sebenarnya apa sih tujuan dibentuknya dari bank dunia itu khususnya bagi negara berkembang seperti indonesia ? apakah bank dunia merupakan salah satu wadah tertinggi dari organisasi perbankan menginat namanya adalah bank dunia ?

2. Bagaimana pandangan ibu mengenai neoliberal seperti yang banyak diungkapkan oleh para pengamat mengenai neoliberal itu sendiri serta apakah paham neoliberal itu benar-benar ada ?

3. Bagaimanakah efektivitas pengadilan pajak itu sendiri menurut ibu ? apakah perlu pengadilan pajak nanti hanya berada di bawah mahkamah agung ? yang saya tahu, pengadilan pajak selain berada di bawah mahkamah agung, juga berada di bawah kemenkeu sehingga terjadi dualisme dan dikhawatirkan adanya konflik antar lembaga. selain itu, kita sebagai masyarakat awam tidak begitu mengetahui dimana letak pengadilan pajak dan prosesnya, takutnya nanti bakal dipermainkan makelar pajak. sebenarnya itu melanggar asas peradilan yaitu asas proses beracara terbuka untuk umum untuk kemudian ada kontrol dari masyarakat mengenai jalannya proses beracara di pengadilan pajak.

SMI: Anda bisa melihat informasi mengenai Bank Dunia melalui websitenya agar lengkap dan tidak terombang-ambing oleh informasi dari sumber yang tidak kompeten.

Para pengamat yang sering mengkritik Neoliberal tidak pernah menunjukkan secara tepat dan akurat apa sebenarnya yang mereka kritikkan atau tuduhkan. Orang yang belajar ilmu ekonomi secara benar paham betul bahwa dalam mengelola ekonomi suatu negara selalu dibutuhkan peranan negara yang efektif dan bersih untuk melindungi masyarakatnya dari ekses globalisasi dan persaingan pasar yang liberal. Menteri Keuangan yang mereformasi birokrasi agar pemerintah dan negara bisa melindungi dan mensejahterakan rakyatnya sudah pasti bukan seorang Neoliberal.

Masalah pengadilan pajak memerlukan koreksi baik pada tingkat perundang-undangan maupun dari sisi tata kelola, dan itu sedang dalam proses untuk diperbaiki.

DF: Ibu tentunya sudah rasakan sendiri bagaimana kekuasaan itu bisa mempermainkan hidup kita. Yang benar bisa disalahkan, dan yang salah bisa dibenarkan. Saya sendiri salut atas prestasi2 dan sumbangsih ibu kepada negara ini. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas jasa2 ibu membawa negara ini ke titik yg lebih baik.

Pertanyaan yg ingin saya tanyakan tidak menyangkut masalah ekonomi negara ini. Saya hanya ingin tahu bagaimana pandangan pribadi ibu terhadap masalah Jendral Susno saat ini.

1. Bila ibu bertemu Jendral Susno sekarang, apa yg akan ibu katakan kepada beliau?
2. Menurut pendapat pribadi dan kacamata ibu, apakah Jendral Susno saat ini diperlakukan secara adil dan tidak di-anak tirikan oleh POLRI?
3. Bila ibu adalah Presiden, apakah ibu akan membentuk team yg benar2 independent terhadap kasus yg menimpa Jendral Susno Duadji?
4. Ibu sudi tidak sebelum ke washington mejenguk Jendral Susno di tahanan untuk memberi apreasiasi atas keberaniannya (terlepas dari bersalah/tidak bersalahnya Susno)?

SMI: Masalah Jenderal Susno adalah masalah intern Kepolisian. Kapolri dan seluruh jajarannya memiliki mekanisme untuk menanganinya dan memiliki kepentingan untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa Kepolisian RI adalah instansi yang bisa dipercaya oleh masyarakat.

DF: Bagaimana cara Ibu memberikan perhatian terhadap keluarga (khususnya dalam membesarkan anak2 tercinta) di tengah kesibukan Ibu selama menjadi MENKEU selama ini dan ketika menjadi Managing Director-nya world Bank?

SMI: Hubungan anak-anak dan saya sudah terjalin semenjak mereka ada di kandungan, dan terus terpelihara melalui komunikasi yang saling menghormati dan penuh kasih sayang. dengan demikian antara anak dengan ibunya atau dengan orang tuanya muncul rasa saling percaya dan saling mendukung. Ini membuat pekerjaan sebagai ibu maupun sebagai pejabat publik menjadi lebih mudah.

DF: Pernyataan ibu tentang :”jangan ada pemimpin yang mengorbankan anak buahnya”, sebenarnya ditujukan untuk siapa???

Apakah pesan untuk jajaran pejabat di Kemenkeu atau itu ditujukan untuk Pak SBY??

SMI: Itu ditujukan bagi jajaran pimpinan di departemen keuangan karena dalam menjalankan reformasi kita sering menghadapi resiko-resiko dan tekanan-tekanan yang tidak mungkin dihadapi sendiri oleh anak buah. Oleh karena itu pimpinan harus selalu ada dan jelas didalam melindungi dan mendorong agar anak buahnya percaya diri dan tenang dalam menjalankan tugasnya apapun resiko yang dihadapi.

DF: Akankah krisis di yunani akan menyebar di eropa dan akhirnya akan berimbas ke indonesia? Dan langkah apa ibu sarankan pada bank dunia untuk ikut mengatasi krisis itu?

SMI: Saat ini krisis yunani sedang ditangani oleh negara-negara Eropa agar tidak meluas. dengan demikian dampaknya kepada negara lain termasuk indonesia masih sangat terbatas. Meskipun demikian kita perlu tetap waspada karena langkah2 penyesuaian yang dilakukan memang cukup berat, yang dapat berpotensi untuk melemahkan pemulihan ekonomi dunia dan menciptakan krisis kepercayaan di sektor keuangan.

DF: Dalam organisasi, termasuk politik, bisa diibaratkan main catur. Nggak mungkin, raja mati duluan atau berkorban utk menteri. Yang ada pion, menteri dsb dikorbankan demi raja. Begitukah realitanya, ibu Ani?

Di Indonesia, menjadi orang baik dan benar tidaklah mudah. Bagaimana menurut ibu Ani?

SMI: Raja adalah simbol pimpinan di dalam permainan catur dan memang dia harus dilindungi oleh bidak-bidaknya.

Ahhh, tidak juga. Menjadi orang baik dan memelihara kebenaran itu merupakan pilihan sikap yang sangat jelas dan mudah.

DF: Bagaimana versi seorang Sri Mulyani tentang ekonomi pancasila? Konsep ekonomi kerakyatan versi bank dunia itu seperti apa?

SMI: Ekonomi yang dijalankan dengan prinsip lima sila pancasila tentu akan menghasilkan kebijakan2 yang menyeimbangkan antara kebutuhan untuk menciptakan keadilan sosial dan kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Bank dunia bertujuan untuk menghapuskan kemiskinan di dunia, terutama di negara2 berkembang. dengan demikian program bank dunia identik dengan program ekonomi kerakyatan.

DF: Seandainya saya jadi presiden, ibu mau ga saya jadiin menkeu lagi?” Kalau tidak mau, kira-kira Ibu ingin jadi menteri apa?

SMI: Sebaiknya Anda terpilih dulu menjadi Presiden, baru saya bicara belakangan.

DF: Selamat Bu sudah menjadi Managing Director Bank Dunia. Semoga Tuhan selalu mendampingi Ibu. Menurut Ibu, bagaimana pandangan Ibu mengenai kritik yang muncul ketika Ibu ditunjuk sebagai Managing Director Bank Dunia?. Seperti kita semua ketahui, Kwik Kian Gie “sangat terhina”.

SMI: Narasumber yang seperti itu sama sekali tidak membuat rakyat indonesia menjadi cerdas dan maju.

DF: Apa ya indikator bahwa kenaikan tingkat ekonomi masyarakat Indonesia naik rata-rata 5%, sedangkan kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar, daya beli masyarakat menengah ke bawah sangat rendah, infrastruktur dimana – mana tidak berjalan, investasi di daerah rata – rata rendah.

SMI: Pertumbuhan ekonomi memang tidak selalu identik dengan pemerataan dan perbaikan kualitas kehidupan masyarakat. oleh karena itu, Selain mengejar pertumbuhan ekonomi pemerintah harus terus memperbaiki kualitas kehidupan masyarakatnya melalui program pendidikan, kesehatan dan program penyediaan infrastruktur dasar.

DF: Jika sebelumnya ibu merasa menjadi korban dari kentalnya perkawinan kepentingan di negeri ini, masihkah ada yang ibu rindukan dari Indonesia saat bertugas di bank dunia nanti?

SMI: yang saya rindukan makanan enak, orang-orang seperti anda, nyiur melambai.. tanah yang wangi, padi yang menguning, jakarta yang bising, itu semua akan membuat saya rindu.

DF: Cuma 3 pertanyaan saya:
1. saya melihat Ibu sebagai korban sistem politik Indonesia yg dipenuhi prilaku orang2 lama warisan ORBA. Menurut Ibu kapan kondisinya akan membaik?…Mengingat realitas yg ada, makin menguatnya cengkraman PENGUASA-PENGUSAHA atas sistem politik Indonesia saat ini.

2. Kenapa kasus seperti Gayus masih terjadi di DJP?…saya yakin itu fenomena gunung es. Jangan dijawab bahwa reformasi butuh waktu. Lawan IBU yaitu Gayus cuma pegawai golongan 3A, apakah memang di DJP seolah ada TEMBOK tebal sehingga menghalangi ibu membersihkan mafia2 macam Gayus.
Dan perbaikan di PENGADILAN PAJAK, gebrakan dari ibu cuma mengganti SATPAM nya saja???

3. Bagaimana Ibu menilai SBY sebagai atasan Ibu? terutama dari sisi kinerja dan proses pengambilan keputusan penting?

SMI:

Yaa, kalau tidak suka politisi ORBA jangan dipilih lagi.

Saat ini langkah-langkah untuk mengoreksi kejadian seperti Gayus di DJP sedang dilakukan. Saya yakin kalau hal itu dilakukan secara konsisten, DJP akan menjadi institusi yang bisa kita percaya. Saya tidak melihat tembok tebal di DJP, yang ada adalah proses perbaikan membutuhkan ketekunan, konsistensi dan proses yang mungkin agak panjang.

Pak SBY telah dipilih oleh rakyat kembali, berarti kinerjanya baik, dan saya bagian dari pemerintahan SBY.

DF: Sebagai direktur eksekutif, mestinya tugas Ibu di bank dunia adalah menterjemahkan dan mengimplementasikan konsensus washington di negara-negara klien bank dunia..benar? mungkinkah Ibu membawa misi Ibu sendiri disana? saya rasa sulit. tapi itu mungkin kan? menurut saya, konsensus washington bukan langkah terbaik untuk menyehatkan ekonomi suatu negara. masih banyak cara lain yang lebih berpihak ke masyarakat miskin, bukan hanya mengakomodasi kepentingan korporasi lintas benua..Ibu tentu lebih tahu kan?

SMI: Konsensus Washington merupakan paradigma lama yang sudah dikoreksi. Dunia menghadapi persoalan pembangunan dan pengurangan kemiskinan yang memang makin pelik. Setahu saya, tidak ada satupun institusi yang percaya bahwa membangun ekonomi hanya bisa dilakukan dengan mengakomodasikan kepentingan kapitalis besar. Justru, paradigma yang dipakai saat ini adalah pentingnya kebiajakan pemihakan yang harus disertai dengan tata kelola yang baik. Itu adalah kunci dari perbaikan kesejahteraan.

DF: Bagaimana tipsnya agar bisa menjadi seorang wanita yg hebat dalam segala hal.. baik itu di bidang pendidikan, karir maupun keluarga.. Saya ingin sekali menjadi wanita yang cerdas dan kuat seperti Ibu?

SMI: Rasanya saya tidak hebat, saya beruntung punya keluarga yang menyayangi dan mendukung kegiatan dan pekerjaan yang saya lakukan. itu menjadi sumber kekuatan kita dalam menjalankan hidup.

DF: Sebenarnya apa sikap resmi paa bankir atas kasus century, dan apakah ada dampak secara signifikan dengan terpilihnya ibu kekancah internasional terhadap ekonomi indonesia dimasa yang akan datang. selamat dan sukses semoga tercurah kepada ibu.

SMI: Para Bankir menyatakan bahwa penyelamatan sistem keuangan dan perbankan merupakan kebijakan yang tepat dalam mengatasi dampak krisis global. Namun sayang, tidak ada satupun Bankir yang diundang oleh Pansus untuk menyampaikan pandangannya dalam kasus Bank Century. Itu menunjukkan bahwa proses politik yang terjadi tidak dilandasi oleh niat baik untuk membuka kebenaran dan mencari akar persoalan dari masalah Bank Century.

DF: Dulu, Kakanwil DJP Bali, NTB, NTT Pak Hasan Rachmani pernah cerita bahwa di suatu acara dinas pertemuan di rumah makan di Bali, selesai acara Ibu buru-buru menyuruh ajudan ibu untuk membayar makanannya. Artinya tidak seperti pejabat yg lain yg biasanya minta dilayani/dibayari anak buahnya di kunjungan dinasnya, Ibu tidak.

Bagaimana cerita sebenarnya BU? Biar saya tidak salah cerita tentang keteladanan Ibu tsb.

SMI: Apabila acara itu merupakan acara kedinasan, maka biayanya harus disediakan oleh kantor. Termasuk pada saat kunjungan kerja di daerah-daerah. Dengan demikian anak buah memang tidak seharusnya membayar makanan menteri-nya.

DF: Bu, bener ga Ibu pernah bikinin nasi goreng khusus untuk pak SBY?

SMI: Setahu saya selama jadi mentri saya belum pernah bikin nasi goreng untuk anak saya, apalagi untuk pak SBY.

Terima kasih atas pertanyaan-pertanyaanya, i love you full i’ll be back

(qom/qom)