inarxiv

INA-Rxiv RT

Sebuah pemberitaan di Nature News akhir-akhir ini mengenai akan berhentinya operasi INA-Rxiv (setidaknya untuk sementara waktu), membuat saya ingin berkomentar sejumlah hal dalam bahasa Inggris 🙂

As someone who has posted papers on the archive, and as a social psychologist and open science activist, the shutting down of INA-Riv has a number of meanings:

1) I lost an important source for immediately accessing the results of Indonesian-language research. Thus, the preparation of state-of-the-art of any research that has an Indonesian context will experience a slowdown. As known, not many osf.io servers accept Indonesian-language manuscripts. For example, when I submitted an Indonesian text to SocArxiv, I received a reply as follows:
Thank you for contributing to SocArxiv and open science. Unfortunately, we are currently only depositing manuscripts written in English.”

2) However, on another side, the shutting down is a “blessing in disguise”, which will cultivate self-archiving at various levels in Indonesia, both individuals, institutions, and the country. So far, INARxiv’s popularity has made INARxiv a kind of favored, “central” of Indonesian self-archiving site. The shutting down triggers decentralized practices of self-archiving among Indonesian citizens.

3) The shutting down shows that the practice of open science (self-archiving is a part, in this context) requires a national policy that is able to support strongly the practice, especially in terms of funding. So, the shutting down may be at the same time an “anti-thesis” of the statement that “With the research fund that is not yet large, it is time for the Indonesian government to adopt an open science policy”.

As it turns out, open science requires sustainable funds, and it has not been discussed much at the national level. If it is true that the Ministry of Research and Technology of the Republic of Indonesia views open science as important, as revealed by Indonesian public official statement (Dr. Muhammad Dimyati, the Directorate General of Research and Development of the Ministry of Research, Technology, and Higher Education of Indonesia), “The development needs to continue to work hard and try smartly through the use of the nation’s ‘festivity’ to welcome the era of Industry 4.0 and the spirit of open science that continues to surge, in order to increase productivity and relevance of research in Indonesia “, then the Ministry needs to endorse it in earnest, including the provision of budgets in the Indonesia State Budget, or strive it for from another funds collaborative sources.

4) Before shutting down of INARxiv, I dreamed that INARxiv could become one of the repositories of academic manuscripts (“Academic Draft”) of Indonesia’s public policies/Laws; so that in Indonesia there will be not only academic citation but also policy citation. During this time, academic manuscripts of national regulations produced by Indonesian legislative and executive bodies have included References to research results (for example, Academic Draft of the Law on the Elimination of Sexual Violence). However, because these academic manuscripts are not archived in a repository, the extensive use of Indonesian research by the Indonesian Government in preparing public policies can not be detected at this time. I hope that there will be that kind of repository initiative born after the shutting down of INARxiv (as an alternative, in Indonesia, to Altmetric which detects policy documents, mostly in English-language, that cited relevant research).

5) I would say that, although I have no formal links with INA-Rxiv (What I mean by formal ones is the Steering Committee stated in INARxiv.id ), I am one of its proponents: As a social psychologist, I wrote – with other authors – the Discussion part of “INA-Rxiv: The Missing Puzzle in Indonesia’s Scientific Publishing Workflow” by using psychological perspective.

Specifically, on Page 4 of that manuscript, I gave a psychological basis for understanding people’s attitude and behavior towards INA-Rxiv. For the first time, I think, the attitude and behavior towards the open science practice on preprint server is discussed with fixed vs growth mindset concept of Carol Dweck.

The article might also be the only one “academic manuscript” of INARxiv published in mainstream scientific journal, as you can confirm in the Reference section of this Wiki.

Berkaitan dengan hal-hal di atas, INA-Rxiv memerlukan rebranding.

Usulan awal saya utk nama adalah INARxiv RT

Saya ambil dari kata kunci yang Kang Erwin uraikan mengenai “mengubah” (transformasi) riset menjadi kebijakan.

RT = Research Transformer
(/transforming)

RT sebenarnya juga mengingatkan kita dgn Rukun Tetangga yang khas Indonesia (artinya: mengutamakan kolaborasi bersama ketimbang kompetisi).

Meski RT juga sudah populer lebih dulu dengan ungkapan Retweet. Hal ini menguntungkan sebab hal ini berarti INARxiv akan di-RT terus-menerus (digaungkan), diperkuat, digunakan inspirasinya.

Lebih lanjut, karena INARxiv dibacanya terlanjur dalam bahasa Inggris ( INA aar kaiv ); maka membaca INARxiv RT adalah ( INA aar kaiv ar ti ). Bisa diasosiakan: Membuat Riset menjadi berarti (bermakna, meaningful). Ini agak “arbitrer” tapi bisa juga melekat di benak publik seperti itu kalau disosialisasikan.

Yah itulah usulan awal dengan beberapa “pertanggungjawaban” penamaan tersebut.

Mas Ilham memberikan masukan utk menambah angka versi utk mengetahui perjalanan dari apa sampai mana; Mas Ilham sampaikan contoh “MarXiv ganti branding dgn MarXiv 2.0. Saya lihat INArxiv sudah diketahui secara luas oleh dunia. Ini modal cukup bagus. Jadi hemat saya INArxiv sudah punya Top of mind bagi para author.” Pak Hendro Subagyo dari LIPI menanggapi bahwa nama LIPI tidak perlu diikutkan. Kita cukup puas di website ada tulisan “supported by LIPI ….”

Kang Erwin menyampaikan agar nama LIPI atau RIN tetap di depan. Dan, RT sudah sesuai dengan kebutuhan “Kita memang perlu punya nama yang mudah disebutkan dalam Bhs Inggris”.

Meskipun Shakespeare  mengatakan apalah arti sebuah nama, saya memang senang mengusulkan dan melihat nama-nama yang indah. Untuk itu, saya mengusulkan, sebelum ini, nama-nama sebagai berikut:

Wibisana (Wawasan Terbimbing Sains Terbuka Indonesia) – Juli, 2019

Anjani (Anjungan Integritas Akademik) – Mei, 2019

Anjani adalah nama seorang dewi yang hidupnya menggambarkan dinamika perilaku moral. Dikutip dari sini : “Dewi Anjani berparas sangat cantik dan menarik hati. Ia memiliki Cupumanik Astagina pemberian ibunya, hadiah perkawinan Dewi Indradi dari Bathara Surya. Bila cupu itu dibuka di dalamnya akan dapat dilihat segala peristiwa yang terjadi di angkasa dan di bumi sampai tingkat ketujuh.

Untuk menebus kesalahan dan agar bisa kembali lagi menjadi manusia, atas petunjuk ayahnya, Dewi Anjani melakukan tapa Nyantika (seperti katak) di telaga Madirda. Dalam tapanya itulah ia hamil karena menelan “air kama” Bathara Guru melalui selembar daun sinom.

Dewi Anjani kemudian melahirkan jabang bayi berwujud kera putih yang diberi nama Anoman. Beberapa saat setelah melahirkan Anoman, Dewi Anjani mendapat pengampunan Dewa, ia kembali menjadi putri berparas cantik, dan diangkat ke kahyangan Kaindran sebagai bidadari.”

Sedangkan, ‘Anjungan’ adalah: “ruang komando kapal di mana ditempatkan roda kemudi kapal, peralatan navigasi untuk menentukan posisi kapal berada dan biasanya terdapat kamar nakhoda dan kamar radio. Anjungan biasanya ditempatkan pada posisi yang mempunyai jarak pandang yang baik kesegala arah.”

Pandu (Psychological Science Accelerator: Delightful Collaboration) – Juni 2019

PANDU adalah kependekan dari:

PsychologicAl scieNce accelerator: DelightfUl collaboration

Saya menambahkan Delightful Collaboration di sini sebagai tagline PSA di Indonesia yang menekankan bahwa PSA ini kolaborasi yang sangat menyenangkan.

Meskipun terkesan “Jawasentris”, tetapi PANDU juga punya arti yang bagus:
pan·du1 n 1 penunjuk jalan; perintis jalan

Bukankah ini sebuah perintis jalan bagi komunitas psikologi kita?

NILA (Nuances of Indonesian Language) – Februari 2020

Menanggapi diskusi di WhatsApp Group PPJB-SIP (Perkumpulan Pengelola Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pengajarannya), di mana saya merupakan salah seorang anggota Dewan Pakarnya, terkhusus memberikan tanggapan terhadap Bapak Wahyudi Rahmat mengenai maksud perlu diadakannya sebuah jurnal baru, saya menyampaikan ihwal sebagai berikut:

Istilah language nuances  saya pelajari dari sini : Language Nuances and Socioeconomic Outcomes (maknanya bisa luas)  setelah mencoba memahami diskusi teman-teman. Jadi naskah akademik sebagai pertanggungjawaban nama lebih-kurangnya sudah ada, bisa merujuk ke artikel tersebut. Ada juga artikel ini : Language nuances, trust and economic growth. Penggunaan istilah language nuances juga ternyata relevan di dunia ICT era 4.0 ini. Misalnya, guna menunjukkan “perjuangan” teknologi untuk menangkap “dunia manusia”: Can machines cope with language nuances?