jurnal scopus

Pengumandahan atau Detasering: Fostering & Empowering Masyarakat Ilmiah

Di era pascapandemi, pengumandahan tidak lagi harus meninggalkan tanggung jawab utama di institusi sumber/asal (perguruan tinggi sumber/PERTISUM), melainkan dapat dilakukan secara hybrid dan sinergis dengan profesi primer dalam memberikan kepakaran kepada perguruan tinggi sasaran/PERTISAS. Hal ini tampak dalam pengalaman Dr. Juneman Abraham sepanjang bulan September hingga November 2022.

Pengumandahan 2022 ditujukan dalam rangka pemerataan kompetensi sampai menyentuh PT di daerah, atau dengan kata lain, fostering and empowering sesama peguruan tinggi, dalam hal ini Universitas Bojonegoro, Jawa Timur. Pertisas akan memiliki kapasitas yang baik dalam mendirikan dan mengelola jurnal ilmiah yang mampu menebar manfaat, baik kepada dosen, mahasiswa, maupun masyarakat luas.

Baca juga: Detasering: Menjadi Katalis dalam Memperbaiki Kualitas Pengelolaan Jurnal

Mendampingi INTEGRITAS: Jurnal Antikorupsi – KPK RI

Pada 9 Juni 2022, sebagai mitra bestari saya menyampaikan materi pendampingan Evaluasi Penyusunan INTEGRITAS: Jurnal Antikorupsi kepada Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi.

Di samping mengevaluasi aspek-aspek teknis, manajerial, maupun substansi isi dari jurnal tersebut, saya juga diminta untuk memberikan pandangan sesuai keahlian mengenai persiapan menuju indeksasi Scopus. Hal ini merupakan kelanjutan dari kegiatan pengembangan Jurnal INTEGRITAS (2020) dan kegiatan Workshop Pengenalan dan Penulisan INTEGRITAS (2021).

Rekognisi dari sistem pengindeks seperti Scopus, memang bukan tujuan; melainkan instrumen untuk mencapai visibilitas, keilmiahan (state of the art), dan kebermanfaatan jurnal.

Untuk itu, cara-cara yang ditempuh menuju indeksasi wajib merupakan langkah-langkah yang etis, tidak melanggar integritas akademik.

Membicarakan SCOPUS di Universitas Islam Indonesia

Membicarakan SCOPUS memang “tidak ada habisnya”, terlebih membicarakan SCOPUS pada tempat semestinya. Itulah yang saya paparkan dalam kesempatan baik ketika diundang oleh FPSB UII (Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia), Yogyakarta. Prioritas peserta workshop kali ini adalah para pengelola jurnal ilmiah di lingkungan FPSB UII.

FPSB UII merupakan salah satu saja dari segelintir fakultas psikologi yang Program Studi S1 Psikologinya sudah terekognisi oleh ASEAN University Network-Quality Assurance (AUN-QA).

Mengapa saya sebut “segelintir”? Hal ini sesuai pernyataan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Mei 2020 yang lalu:

Merujuk pada data Kemenristekdikti bulan Agustus 2019, dari 27.779 program studi aktif yang ada di Indonesia, hanya 430 program studi yang telah memperoleh rekognisi/pengakuan internasional, meliputi akreditasi internasional dan asessmen/sertifikasi AUN-QA. Jumlah program studi yang telah memperoleh rekognisi internasional tersebut sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah program studi yang terakreditasi A oleh BAN PT. Total program studi yang terakreditasi A dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia adalah 3.923 program studi (per Oktober 2019). Dengan demikian total program studi terakreditasi A yang telah memperoleh pengakuan internasional hanya 11 % dari total program studi terakreditasi A dan 1,5% dari total program studi aktif.

AUN-QA dalam asesmennya memberikan poin lebih pada Research, diantaranya adalah

Policies for Education, Research and Service
Research Management
Research Collaboration and Partnerships
Research Results

Tidak mengherankan bahwa perawatan AUN-QA memerlukan tindakan lebih pada aktivitas penelitian. Dalam konteks ini, arti penting Workshop yang dilaksanakan pada 1 September 2020 melalui Zoom ini terletak.

Tentang Metode: Kita Sudah Terbuka?

Materi Dr. Juneman Abraham dalam Webinar PPJB-SIP, bertajuk “Kiat Sukses Menulis Metode, Pembahasan, dan Kesimpulan” dalam artikel ilmiah bereputasi.

Memublikasikan artikel pada jurnal internasional bereputasi menjadi satu tantangan. Hanya artikel berkualitas yang akan dipublikasikan. Untuk itu, diperlukan kiat dan strategi agar tulisan dapat memikat hati editor dan reviewer. Merespon kebutuhan penulis artikel, Perkumpulan Pengelola Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pengajarannya (PPJB-SIP) mengadakan webinar “Kiat Sukses Menulis Artikel Internasional Bereputasi Bidang Pendidikan, Bahasa, dan Sosial” yang telah dilaksanakan pada tanggal 16 Juli 2020, pukul 12.30-16.00 WIB.

Dr. Juneman Abraham secara khusus menekankan pentingnya keterbukaan dalam menulis bagian Metode.

Isi Jurnal Bereputasi yang Baik, Seperti Apa?

Sebagai Anggota Dewan Pakar Perkumpulan Pengelola Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pengajarannya (PPJB-SIP), Dr. Juneman Abraham menyampaikan mengenai pokok-pokok isi jurnal bereputasi yang baik pada 12 Juni 2020.

Diantaranya ia menekankan inovasi dalam substansi dan tata kelola jurnal yang dapat menjadi kebanggaan komunitas akademik atau pun organisasi profesi bidang bahasa, sastra, dan pengajarannya. Pengelolaan jurnal ilmiah merupakan sebuah proses sosial yang diwarnai dengan kepiawaian dalam substansi, metodologi, serta filosofi. Sejumlah rekomendasi disampaikan dalam kegiatan ini.

Jurnal Scopus Berbahasa Indonesia?

Apakah jurnal harus berbahasa Inggris untuk dapat diindeks di Scopus?
Di era media sosial dan perkembangan fitur teknologi cerdas, sebetulnya kita dilanda perasaan ‘sulit percaya’ ketika menjadikan bahasa sebagai alangan bersama.
Tersedia dua jawaban atas pertanyaan di atas:
1) Scopus sendiri menyatakan fulltext boleh berbahasa apa saja. Tidak dipersyaratkan bahasa Inggris. Hanya Abstrak yang wajib berbahasa Inggris.

Keterangan dari Scopus

Keterangan dari Scopus

 

2) Secara empirik, sudah ada fakta bahwa artikel berbahasa Indonesia sukses diindeks di Scopus.

Artikel di IJABER Berbahasa Indonesia

Artikel di IJABER Berbahasa Indonesia

 

Artikel di atas sudah diindeks di Scopus

Artikel di atas sudah diindeks di Scopus

Mengenai apakah jurnal tersebut merupakan jurnal predator atau tidak, merupakan pembahasan yang lain lagi (Tidak menafikan kenyataan bahwa jurnal berbahasa Indonesia bisa diindeks oleh Scopus). Hendaknya kita dapat memegang hal yang pernah dinyatakan Prof. Wasmen Manalu.
Beliau di Hotel Century Atlet tahun 2013 mengatakan bahwa tentang predator/questionable atau tidak, maka (komunitas) dosen/peneliti yang paling tahu. Maksud beliau, agar tidak menggantungkan diri pada hasil asesmen lembaga tertentu.
Langkah Think-Check-Submit sudah tersedia dalam bahasa Indonesia dan merupakan panduan asesmen yang baik.

Scopus “lawan” Thomson: Bagaimana agar Kita yang Menang?

Dosen dan peneliti Indonesia saat ini dilanda oleh arus besar indeksasi artikel jurnal, terlebih karena sejumlah kecil indeks dijadikan model dan parameter oleh Kemristekdikti untuk menilai kelayakan mereka dalam berproses menjadi Doktor dan seterusnya Guru Besar. Diskusi klasik memperdebatkan, manakah yang lebih baik (lebih bereputasi, lebih berkualitas): Scopus, ataukah Web of Science (WoS, dahulu: ISI Thomson Reuters)? Sejumlah orang, bahkan perguruan tinggi, berkeyakinan bahwa Web of Science lebih baik karena terkesan sangat selektif dalam inklusi jurnalnya, dan karenanya menjadikannya sebagai patokan baku mengenai kualitas. Apakah kesan ini akurat, atau lebih merupakan stereotip yang berasal dari periode-periode yang lalu?

Sebelum terlibat dalam repetisi diskusi, mari kita tinjau terlebih dahulu hal yang sudah dikaji oleh HLWIKI International.

Menurut HLWIKI International, keuntungan dan kelemahan Scopus, sebagai berikut:

  • Scopus memungkinkan pencarian berdasarkan afiliasi; dengan kode pos dan nama lembaga/institusi.

  • Scopus mencakup lebih dari 22.000 jurnal. WoS 11.000 jurnal.

  • Scopus mencakup 5-15% dari database WoS, sebelum tahun 1996, dan 20-45% lebih besar dari WoS sesudah tahun 1996.

  • Untuk publikasi sebelum 1996, cakupan yang ditawarkan oleh Scopus jauh sangat bervariasi.

  • 95% dari pangkalan data Scopus terdiri dari rekaman deskripsi dari artikel-artikelnya.

  • Sebelum 1996, jumlah artikel non-jurnal di Scopus sedikit; lalu meningkat 10% pada 2005.

  • Pada tahun-tahun terakhir, proporsi artikel non-jurnal secara signifikan lebih tinggi di Scopus daripada WoS (4%).

  • Scopus merupakan alat pencarian yang lebih melayani multi-tujuan; keuntungan yang nyata adalah fungsionalitasnya; Menyediakan fungsi informasi dasar, perbaikan, serta format hasil pelacakan kutipan/sitasi dan identifikasi penulis. (Anda harus mencobanya! 🙂 )

  • Scopus mencakup lebih banyak bidang keilmuan; namun cenderung lemah dalam bidang Sosiologi, Fisika dan Astronomi.

Masih menurut HLWIKI International, keuntungan dan kelemahan Web of Science:

  • Hanya sedikit perbedaan dalam cakupan antara Scopus dan Web of Science (WoS) dan ada tumpang tindih yang banyak.

  • WoS mencakup sains dan arts/humaniora.

  • Antarmuka pencarian WoS mengalami perbaikan namun tidak seberguna Scopus.

  • WoS memiliki lebih banyak pilihan untuk analisis kutipan/sitasi bagi institusi.

  • Ada perbedaan substansial antara WoS, Scopus dan Google Scholar (GS). GS memberikan hasil instan bagi pencari. Hal ini dapat (secara tidak sadar) menjadi alasan utama bagi pengguna untuk memilihnya.

  • Google Scholar (GS) jauh lebih besar daripada WoS atau Scopus tetapi telah terbukti memiliki referensi lebih sedikit untuk artikel terpilih. Namun, cakupan dan teknik menjaring yang unik dari Google Scholar telah terbukti menunjukkan lima (5) kali kutipan yang unik walaupun banyak hasil yang dibesar-besarkan.

 

Thomson Reuters/Web of Science. Sumber gambar: https://i.ytimg.com/vi/-4xNxTsjIOg/hqdefault.jpg

 

Berdasarkan amatan saya, belum ada riset empiris dalam satu tahun terakhir yang secara definitif menyimpulkan bahwa kualitas jurnal-jurnal dalam ISI Thomson/Web of Science lebih baik daripada kualitas jurnal-jurnal dalam Scopus. Silakan simak faktanya bahwa sekarang WoS memperbesar indeksasinya, seperti ESCI (Emerging Sources Citation Index). Jurnal-jurnal Indonesia sudah ada beberapa yang terindeks WoS, seperti Jurnal Makara UI (Makara Hubs-Asia dan Makara Journal of Health Research). Jurnal Makara belum terindeks Scopus akan tetapi sudah terindeks WoS ESCI.

Pemeringkat World Class University QS menggunakan Scopus dan Times Higher Education menggunakan WoS. Apakah satu secara definitif lebih buruk daripada yang lain? Saya kira, penyimpulan general tentang kualitas perlu kita nyatakan dgn hati-hati. Indeks WoS CPCI (Conference Proceedings Citation Index) dalam kasus-kasus kita di Indonesia bahkan lebih banyak yg berhasil digandeng untuk bekerjasama dengan lembaga penyusun prosiding konferensi ilmiah. Saya juga melihat di negara-negara lain juga seperti itu (di Yunani, Bulgaria, dll).

Dinamika indeksasi ini berjalan cepat sekali. Terjadi suatu pusaran besar dan saling lirik antar indeks-indeks yang ada, lebih-lebih yang terkemuka atau mengemuka. WoS sudah membiakkan ESCI, dan SCI SCI yang lain. Ada banyak hal yang terlibat di tingkatan global, seperti proses bisnis dan proses kebijakan/politik akademik. Tidak heran, Beall pernah mengingatkan kita semua: Jangan pernah membuat White-list. Jangan pernah andalkan White-list. Oleh karena itu, yang Beall kerjakan adalah membuat sebaliknya. Ia menyebutnya bukan Black-list, melainkan “Questionable Journals” (jurnal-jurnal yang menimbulkan pertanyaan). Berdasarkan ungkapan Beall, tidak berlebihan rasnya jika sebaiknya kita tidak punya mindset tentang adanya White Index atau Daftar Putih Jurnal.

Hemat saya, jalan terbaik bagi kita, supaya kita yang “menang” adalah: telaah kembali setiap jurnal & prosiding secara individual berdasarkan investigasi rasional dan intuisi akademis kita. Perlu waspada terhadap so called “white index”. Tidak ada indeks yang benar-benar “putih” yang bisa dijadikan rujukan mutlak!