Di dalam berbagai lembaga tersebut juga tersebar Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) yang memuat peraturan perundang-undangan dan naskah akademiknya.
Masalahnya, belum ada ekosistem yang dapat menghubungkan secara efektif antara riset yang ada, naskah akademik yang hendak dibuat, dan kebijakan publik.
Padahal keterhubungan inilah yang merupakan jantung dari kebijakan publik berbasis sains yang selama ini diidamkan.
Di beberapa negara seperti Inggris, misalnya, terdapat Altmetric yang mulai mampu mengidentifikasi dokumen kebijakan mana saja yang melakukan pengutipan hasil riset.
Saya juga telah mengusulkan dibangunnya sebuah Repositori Kebijakan Nasional guna memfasilitasi kesinambungan antara tiga poin tersebut. Repositori kebijakan ini bisa dilengkapi dengan teknologi kecerdasan buatan untuk memetakan apakah dokumen kebijakan publik di level nasional sudah berlandaskan riset.
Dalam RUU Pendidikan dan Layanan Psikologi (dahulu: RUU Praktik Psikologi), kiprah psikologi Indonesia dalam berkontribusi terhadap teori dan praktik psikologi korupsi, tampak dalam Naskah Akademik RUU Praktik Psikologi versi kedua (Februari, 2021) yang didokumentasikan oleh DPR RI, sebagai berikut:
Meskipun telah banyak kali sebagai penyaji (presenter) makalah dalam berbagai event internasional, Rabu, 24 Juni 2020 merupakan kali kedua saya menjadi Pembicara Kunci (Keynote Speaker) dalam sebuah konferensi ilmiah internasional, setelah sebelumnya berbicara di KU Leuven, Belgia.
Konferensi ilmiah itu adalah AMER ABRA International Virtual Conference on Environment-Behaviour Studies, atau disingkat AIVCE-BS. AMER ABRA sendiri merupakan singkatan dari Association of Malaysian Environment-Behaviour Researchers – Association of Behavioural Researchers on Asians/Africans (Persatuan Penyelidik-Penyelidik Perilaku Orang Asia/Afrika) .
Sebagaimana disebutkan dalam prospektus ini, sejak 2009, saya menjadi Keynote Speaker ke-83 dalam seluruh rangkaian konferensi ilmiah internasional yang diselenggarakan oleh AMER ABRA.
Sejumlah nama lainnya yang pernah menjadi Keynote Speakers juga adalah Prof. Dr. Gary Evans (Cornell University), Emer. Prof. Dr. Christopher Spencer (University of Sheffield), Assoc. Prof. Dr. Ir. Iwan Sudradjat (ITB), Prof. Dr. Roger Fay (University of Tasmania), Emer. Prof. Dr. Robert Marans (University of Michigan), Assoc. Prof., Dr. Shenglin Elijah Chang (National Taiwan University), Prof. Dr. Emil Salim (Council of Advisors to the President of the Republic of Indonesia), Dr. Kate Bishop (University of New South Wales), Ar. John Brennan (University of Edinburgh).
Konferensi ilmiah internasional yang diselenggarakan AMER ABRA sangat menjaga mutu publikasinya. Komite/panitia memiliki tradisi untuk mengumumkan Best Paper Awards. Nomor urut pertama dari paper yang menerima awards kali ini adalah paper yang ditulis oleh Dr. Ni Ketut Agusintadewi dari Universitas Udayana, Indonesia. Suatu hal yang membanggakan!
Catatan kaki: *) Padanan bahasa Indonesia dari keynote speech sebagai “sesorah-nada-dasar” saya peroleh dari Prof. Liek Wilardjo dari UKSW. Saya mendengar sendiri pertanggungjawaban istilah Indonesia tersebut sewaktu menjadi salah seorang penyaji dalam konferensi “Menggugat Fragmentasi dan Rigiditas Pohon Ilmu“, di mana saya membawakan sebuah makalah.
RESEARCH LEADER: Dr. Juneman Abraham, S.Psi., M.Si.
INTRODUCTION: Korupsi dan Dimensi Psikologis-Sosialnya
Tiadanya definisi yang disepakati bersama
tentang korupsi telah menyebabkan fragmentasi dalam studi-studi tentang
korupsi. Berdasarkan penyelidikan yang ekstensif terhadap literatur, ditemukan
“benturan” antara definisi korupsi menurut hukum nasional dan definisi
subjektif dan/atau definisi sosial. Korupsi merupakan ajang kontestasi
pemaknaan (“Corruption is a site for contested meaning“)
(Pavarala, 1993, h. 145). Sementara itu, konseptualisasi tentang korupsi itu
sendiri bersifat evolutif; artinya, sesuatu yang tidak dianggap koruptif pada
suatu masa, mungkin dianggap koruptif pada masa-masa berikutnya (Farrales,
2005). Mencermati pluralisme definisi dan jenis-jenis korupsi sepanjang
sejarah, peneliti memandang perlu untuk melakukan studi khusus tentang ragam
definisi korupsi dalam konteks Indonesia. Di samping itu, penting juga untuk
mengetahui variabel-variabel apa saja yang mampu memprediksi perilaku koruptif,
terutama karena riset dengan pendekatan psikologis masih sangat langka.
Masalahnya, perilaku Koruptif adalah sesuatu yang socially undesirable
(jelas-jelas atau nyata-nyata bertentangan dengan norma, sehingga dapat
memancing jawaban palsu dalam kuesioner), sehingga perlu metode untuk
menangkapnya melalui konstruk Emosi Moral (Tendensi Korupsi; yakni Guilt and
Shame Proneness, kecenderungan untuk merasa bersalah dan malu jika
melakukan perbuatan yang tidak etis atau mengarah pada tindakan koruptif).
Pertanyaan Penelitian yang pertama:
Bagaimana representasi sosial tentang korupsi pada masyarakat Indonesia?
Berbagai penjelasan teoretik tentang korupsi belum banyak mengintegrasikan
perspektif diri (self) dengan perspektif sosial dalam sebuah mekanisme
yang mumpuni menjelaskan tingkah laku koruptif. Oleh karenanya, muncullah
pertanyaan penelitian yang kedua: Bagaimana mekanisme psikologis
tindakan korupsi? Kerangka Berpikir: “Mereka Pidato Antikorupsi, tetapi
Uang Negara Dirampok Terus” (Usman Hamid dalam Kompas, 4 Desember 2012).
Mengapa? Penelitian ini menduga bahwa tindakan koruptif dihasilkan melalui mediasi
inauthentic/counterfeit self. Ketidakotentikan berarti bahwa orang
bertindak dengan cara-cara yang tidak asli guna menghindar dari devaluasi
relasional (Leary, 2003). Diri (self) terorganisasikan di seputar peran
(roles) seseorang (Cooley, 1902). Pengambilan peran adalah sebuah proses
mengantisipasi respons interaksional dari orang lain. Dalam penelitian ini,
operasionalisasi mekanisme counterfeit self (diri yang palsu) adalah
berupa: perilaku palsu (charlatan behavior/charlatanism), perilaku
gemar membanding-bandingkan diri dengan orang lain (social comparison), diri
sebagai produk pelanggaran kontrak psikologis (psychological contract
violation), tiadanya makna dalam bekerja (meaningless work), serta
konsumsi tidak etis (unethical consumption) berupa perilaku tan-mudarat
tan-buruk (no harm no foul behavior/NHNF).
METHODOLOGY/ SYSTEM DESIGN/ PROPOSED METHOD
Penelitian tahun pertama (2015)
menggunakan metode kuantitatif: survei, cross-sectional study. Desain
penelitian ini adalah desain korelasional, noneksperimental, prediktif. Total
partisipan penelitian ini berjumlah lebih dari 2000 orang dengan komposisi
jenis kelamin hampir berimbang (50% laki-laki, 50% perempuan; detail pada
bagian Hasil), yang direkrut dengan menggunakan teknik convenience sampling,
sebuah teknik penyampelan yang lazim digunakan dalam bidang ilmu psikologi, di
Jakarta dan dua propinsi lainnya. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain: Skala pengukur organizational charlatan behavior yang
diadaptasikan dari Parnell and Singer (2001), skala pengukur GASP (guilt and
shame proneness) yang diadaptasikan dari Cohen et al. (2011), Skala
pengukur identitas moral yang diadaptasikan dari Aquino and Reed II (2002), Skala
pengukur no harm no foul behavior yang diadaptasi dari Vitell and Muncy
(sebagaimana dikutip dari Chowdhury & Fernando, 2014), Skala pengukur
motivasi utilitarian dan hedonik yang diadaptasikan dari Kim (2006), Skala
otentisitas diri yang diadaptasikan dari Kifer, Heller, Perunovic, dan Metode
Galinsky (2013) serta Wood, Linley, Maltby, Baliousis, dan Joseph (2008)
tentang self-alienation (counterfeit self), serta Skala pengukur
perbandingan sosial yang diadaptasikan dari Geurts, Buunk, and Schaufeli (1994)
dan yang dikembangkan oleh Michinov (2005). Total
partisipan penelitian Tahun Kedua (2016) berjumlah lebih dari 2000 orang dengan komposisi
jenis kelamin hampir berimbang (50% laki-laki, 50% perempuan; detail pada
bagian Hasil), yang direkrut dengan menggunakan teknik convenience sampling, sebuah teknik
penyampelan yang lazim digunakan dalam bidang ilmu psikologi, di Jakarta dan
dua propinsi lainnya. Instrumen yang digunakan: Skala otentisitas diri yang
diadaptasikan dari Wood, Linley, Maltby, Baliousis, dan Joseph (2008), skala
Kontrak Psikologis dari Turnley (1997) yang diadaptasikan oleh Boes (2006),
serta serta skala makna kerja Comprehensive
Meaningful Work Scale (CMWS) dari Lips-Wiersma and Wright (2012). Data penelitian ini dianalisis
dengan analisis deskriptif dan ekstraksi satuan makna untuk mengenali frekuensi
ungkapan yang keluar dari benak (top of mind) dari partisipan, dengan
alat bantu IBM Text Analytic, serta analisis regresi linear berganda untuk
mengetahui kemampuan prediksi dari variabel prediktor terhadap perilaku
koruptif, dengan alat bantu IBM SPSS.
RESULTS
Atas pertanyaan penelitian tahun pertama
(2015), melalui analisis deskriptif (N = 2104; 1010 laki-laki, 1094 perempuan; yang terdiri atas
kelompok mahasiswa, pegawai, dan pemuka agama), ditemukan bahwa makna korupsi
yang melekat dalam benak masyarakat adalah: (1)
Berhubungan dengan orang lain, (2) Mencuri, (3) Kepentingan pribadi, (4)
Tindakan, dan (5) Negara. Di samping itu (1) organizational charlatan behavior
(perilaku palsu/tidak otentik di perusahaan) tidak mampu memprediksikan emosi
moral rasa malu, lebih dikarenakan domain yang berbeda antar variabel (yang
satu dalam konteks organisasi, sedangkan yang lain dalam konteks kehidupan
umum, sehingga generalisasi tidak terjadi), namun identitas moral mampu
memprediksikannya (sampel: 111 laki-laki, 97 perempuan; pegawai negeri dan
swasta); (2) perbandingan sosial (social comparison) mampu memprediksikan
dimensi emosi moral rasa malu (yakni evaluasi diri negatif dan tendensi mengundurkan
diri setelah melakukan perbuatan yang memiliki tendensi koruptif), dalam arah
negatif (sampel: 99 laki-laki, 104 perempuan; karyawan swasta); (3) perilaku
tan-mudarat tan-buruk (no harm no foul behavior) mampu diprediksikan oleh
motivasi konsumsi utilitarian, sedangkan motivasi hedonik tidak mampu
memprediksikannya (sampel: 148 laki-laki, 72 perempuan; mahasiswa). Untuk
memperoleh konfirmasi akhir, dilakukan analisis regresi linear berganda, yakni
prediktor (variabel independen: authentic self, sebagai lawan dari
inauthenticity/counterfeit self) terhadap kriterion (variabel dependen: emosi
moral). Ditemukan bahwa, sejalan dengan hasil-hasil sebelumnya, semakin tinggi
otentisitas (tidak berstatus/berkeadaan counterfeit) diri seseorang,
semakin tinggi pula shame (rasa malu) dan guilt (rasa bersalah)
atas perbuatan tak etis, sehingga semakin rendah kecenderungan untuk melakukan
korupsi (sampel: 293 laki-laki, 268 perempuan; mahasiswa dan karyawan).
Atas
pertanyaan penelitian yang kedua (2016), ditemukan bahwa pelanggaran kontrak
psikologis dapat memprediksi evaluasi perilaku negatif (Guilt-Negative Behavior Evaluation), perilaku memperbaiki kesalahan
(Guilt-Repair), evaluasi diri negatif
(Shame-Negative Self Evaluation),
namun tidak dapat memprediksikan perilaku menarik diri (Shame-Withdrawal) (Sampel: 273 karyawan perbankan). Ditemukan pula bahwa Ketiadaan makna kerja
(sebagai bentuk counterfeit self)
dapat memprediksikan mayoritas emosi moral, sebagai wujud tendensi koruptif,
dalam arah negatif (sampel: 210 pekerja sektor swasta). Untuk memperoleh
konfirmasi akhir, dilakukan analisis faktor konfirmatori. Ditemukan bahwa, dari
1655 siswa-siswi sekolah menengah di Kalimantan dan Sulawesi yang dijadikan
sampel penelitian, Alienasi Diri serta Kehidupan yang tidak Otentik merupakan
faktor-faktor penyusun Diri yang Palsu (Counterfeit
Self). Namun demikian, Penerimaan terhadap Pengaruh Eksternal/Orang lain
tidak dipandang oleh partisipan penelitian sebagai faktor yang penting untuk
menghasilkan Diri yang Palsu.
Diskusi Ringkas: Secara umum ditemukan bahwa counterfeit self menurunkan
tendensi untuk berperilaku etis, atau dengan perkataan lain, meningkatkan
kecenderungan seseorang untuk berperilaku koruptif. Kendati demikian, perlu
ditelisik rincian hasil penelitian ini. Pertama, organizational
charlatan behavior sebagai salah satu dimensi yang dihipotesiskan
menghasilkan diri yang palsu tidak mampu memprediksikan tendensi koruptif yang
dalam penelitian ini diwakili oleh emosi moral. Temuan ini diduga oleh peneliti
lebih disebabkan oleh perbedaan konteks antara prediktor (di ranah perusahaan)
dan kriterion (emosi moral dalam berbagai ranah kehidupan); namun identitas
moral yang membentuk moral self mampu memprediksikan emosi moral itu. Kedua,
semakin seseorang berhasrat membandingkan dirinya dengan orang lain, dan
semakin ingin orang selalu menjadi orang yang berada di atasnya, menggambarkan
ia tidak mampu menjalani kehidupan yang otentik, dan sebagai akibatnya, emosi
moral (rasa bersalah dan rasa malu)-nya mengalami erosi/degradasi jika
melakukan perbuatan yang tidak etis dan mengarah pada korupsi. Ketiga,
perilaku yang sepintas baik-baik saja namun sebenarnya tidak etis bagi sebagian
orang (no harm no foul behavior) dapat diramalkan oleh motivasi konsumsi
seseorang yakni motivasi utilitarian. Keempat,
pekerjaan yang tidak dimaknai akan berimplikasi pada melemahnya emosi moral. Kelima,
pelanggaran kontrak psikologis yang dialami pekerja membuat karyawan berpikir
untuk memulihkan rasa keadilannya, justru dengan meningkatnya tendensi untuk
berbuat koruptif. Akan halnya dengan representasi sosial tentang
korupsi, hal yang paling diingat orang tentang makna korupsi adalah (lima
teratas): (1) Berhubungan dengan orang lain, (2) Mencuri, (3) Kepentingan
pribadi, (4) Tindakan, dan (5) Negara.
Manfaat penelitian: Berbagai persepsi masyarakat mengenai arti korupsi sangat penting untuk
diketahui karena dengan persepsi lah manusia membentuk pengertian dan
memberikan penjelasan tentang dunia secara koheren, masuk akal, dan bermakna,
serta merencanakan perilaku yang dianggap tepat sesuai dengan persepsi yang
terbangun. Berdasarkan hasil penelitian, nyata benar bahwa pesan kampanye anti
korupsi yang paling efektif bagi orang Indonesia adalah pesan dengan
karakteristik menekankan pengaruh destruktif (merusak) dari korupsi terhadap orang lain. Sebagai contoh, “With Corruption Everyone Pays” lebih
efektif daripada pesan-pesan seperti “Berani
Jujur Itu Hebat”, “You can stop
corruption”, “Corruption is deadly”,
“Penyakit terburuk di dunia ini adalah Korupsi”. Di samping itu, setelah mengetahui bahwa organizational
charlatan behavior mungkin mempengaruhi tendensi koruptif (khususnya dalam
konteks perusahaan, bukan dalam konteks kehidupan umum), pengetahuan ini dapat
digunakan untuk menyusun teknologi keperilakuan untuk mengubah kognisi, afeksi,
dan konasi pegawai/karyawan perusahaan agar tidak terjebak pada perilaku
“pura-pura”, melainkan mengembangkan sikap dan perilaku yang asli dan
tulus. Perusahaan juga dapat mengambil manfaat dengan menyusun metode guna
mendeteksi perilaku-perilaku palsu yang seringkali “halus dan tak
terlihat” ini, untuk mencegah korupsi di perusahaan mereka. Namun
demikian, hal ini ternyata perlu diteliti lebih lanjut karena kekuatan
prediktifnya diduga dimoderasi oleh konteks. Orang bukan bermoral selamanya,
juga bukan tidak bermoral selamanya. Setelah mengetahui bahwa perilaku
membanding-bandingkan diri dengan orang lain dapat mempengaruhi tendensi
korupsi, perlu diciptakan mekanisme pengingat dalam diri bahwa perbandingan
dengan yang lebih baik seyogianya menghasilkan motivasi untuk menjadi lebih
baik asalkan tidak menempuh jalan pintas. Di samping itu diingatkan kembali
kebijaksanaan hidup sehari-hari bahwa pembandingan diri dengan orang lain hanya
akan menghasilkan perasaan tidak puas, bahkan menjadi akar kejahatan, dan
mengarah pada ketidakbahagiaan. Motivasi utilitarian yang sehat dalam bidang
konsumsi perlu ditanamkan dan diteguhkan dalam diri apabila kita ingin
melakukan prevensi perilaku tan-mudarat tan-buruk (no harm no foul behavior/NHNF)
yang dapat mendorong perilaku tidak etis lebih lanjut. Dalam dunia konsumsi,
motivasi utilitarian akan membuat konsumen melakukan perhitungan yang masak
sebelum melakukan sebuah tindakan, serta tidak akan mengedepankan instanisme
dan impulsivitas, termasuk NHNF.
Setelah mengetahui
bahwa defisit makna kerja dapat membawa pada tendensi untuk berperilaku
korupsi, maka perusahaan dapat menyusun program untuk menyelidiki makna kerja
calon karyawan sejak mulai dari proses rekrutmen, sekaligus memelihara dan
meningkatkan makna kerja itu sepanjang periode kerja karyawan. Demikian pula,
setelah mengetahui bahwa pelanggaran kontrak psikologis ternyata membuat
karyawan merasa berhak untuk berbuat korupsi, maka atasan perlu senantiasa
memperhatikan harapan tidak tertulis dari para karyawannya, dan mengelola
aspirasi-aspirasi mereka agar mereka tidak merasa diperlakukan tidak adil dan
mencari “keadilannya sendiri” dengan korupsi. Setelah diketahui bahwa
faktor-faktor penyusun diri yang palsu ternyata termasuk: mengalienasikan diri (terpisah
dari diri yang asli), dan kehidupan yang tidak otentik, maka untuk mencegah
korupsi, orang perlu selalu senantiasa untuk diingatkan mengenai nilai-nilai
fundamental dari dirinya, untuk berjalan searah dengan nilai-nilai tersebut,
bukannya melebih-lebihkan keadaan hanya untuk menjaga citra atau presentasi
diri dalam pandangan sosial. Banyak tindakan korupsi ternyata berasal dari
keinginan untuk dihargai oleh orang lain, sehingga melupakan nilai-nilai moral
diri. Namun demikian penelitian ini juga menunjukkan bahwa, dalam psike orang
Timur (Indonesia, dalam hal ini), penemuan diri (atau, kultivasi diri) juga
dapat memperoleh masukan dari orang lain. Orang lain tidak selalu “mencemari”
diri kita sehingga diri kita menjadi tidak asli. Masukan dari orang lain
mengalami seleksi dan penyaringan untuk membangun diri yang asli, dalam
pengertian: otentik, sehingga tercegah dari tendensi berbuat korupsi.
OUTPUT
PUBLICATION
Publikasi
tentang Psikologi Korupsi, baik sebagai riwayat atau track-record
publikasi terkait sebagai anteseden hibah, maupun sebagai hasil hibah.
Memang
sudah waktunya, di era Sains Terbuka (Open Science) ini, hal-hal yang
tidak perlu “ditutup”, ya, dibuka saja, seperti misalnya nama Penyunting
Penelaah / Mitra Bestari / Reviewer untuk tiap-tiap artikel yang di-review.
Hal ini sudah diterapkan pada Jurnal Frontiers in Psychology.
Berikut ini adalah contoh penampakannya:
Lebih
bagus lagi jika menerapkan Open Peer Review (Penelaahan
Terbuka).
Panduan
Layanan Psychological First Aids (PFA)/Pertolongan Psikologis
Pertama — Jarak Jauh
*Adaptasi
berbahasa Indonesia untuk konteks Indonesia oleh Himpunan Psikologi Indonesia
(HIMPSI) atas dokumen, sbb: Copyrighted material with permission of IFRC (2020): IFRC (International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies) Reference Centre for
Psychosocial resources. Remote Psychological First Aid during the COVID-19
outbreak. Interim guidance — March 2020. Retrieved from: https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/IFRC-PS-Centre-Remote-Psychological-First-Aid-during-a-COVID-19-outbreak-Interim-guidance.pdf .
Penerjemah/Translator (31 Mar. 2020): Dr. Seger Handoyo (Ketua Umum
Himpunan Psikologi Indonesia) dan Dr. Juneman Abraham (Ketua Kompartemen Riset
dan Publikasi, Himpunan Psikologi Indonesia).
Tim
Sains Terbuka Indonesia turut berpartisipasi dalam Jon Tenants Memorial
Day, pada 9 April 2021.
Sumber
presentasi Set Them Free: http://bit.do/SetThemFree
Saya
menyampaikan pandangan tentang warisan Jon Tennant, sebagai berikut:
Thank
you, Erwin.
Hi
friends! I am Juneman Abraham.
I am
the Head of Research & Publication Division of the Indonesian Psychological
Association,
I am
also an Associate Professor of Social Psychology at Bina Nusantara University
in Jakarta, Indonesia
Jon was
an advocate of open science who, paradoxically and interestingly, constantly
did self-criticism of the concept and movement of open science.
The
open science that he formed, developed, and socialized is a true open
science, which is beautifully protected from the “counterfeit open
science”-deriving from current practices of neoliberalism.
Let us
reflect on one of his last articles entitled Fixing the Crisis State of
Scientific Evaluation. One of his most important legacy is his political
insistence that we need to “police the police”, we need to “police the metric
vendors” by imposing our own regulation to them — based on
what we value most about science and society.
He also
strongly reminds us to approach the knowledge economy differently by
fostering a more compassionate, dialogical, catch-all, and
bullying-free research culture.
Materi
berikut ini saya terima dari Prof. Sundani Nurono pada Jumat, 2 April 2021,
dalam acara penyampaian filosofi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
Eksposur
Prof. Sundani mengenai posisi seharusnya Pengabdian kepada Masyarakat (PkM)
dalam Perguruan Tinggi sangat saya apresiasi, hingga saya unggah di YouTube
berupa Video di bawah ini.
Prof.
Sundani dari Institut Teknologi Bandung merupakan Pembina PKM yang sangat saya
segani sejak saya mengikuti BIMTEK PKM tahun 2018 di Universitas Bina Darma, Palembang.
Paparan
Prof. Sundani tampaknya senada dengan paparan Prof. Enoch Markum dari
Universitas Indonesia, dalam Twitter berikut ini; hanya saja, perspektif kedua
Guru Besar ini memiliki kekhasan masing-masing. Yang menarik, Prof. Sundani
menggunakan dimensi spiritualitas dalam menjelaskan gejala
yang beliau prihatinkan — yang beliau sebut sebagai “Demam Sangkar
Tridarma Perguruan Tinggi”.
Di
samping itu, beliau menggunakan perspektif antar/inter (between) bidang
Tridarma untuk “menekan” riset masuk ke Pengabdian kepada Masyarakat (Beliau
mensugesti agar Darma Pengabdian kepada Masyarakat — Mercusuar-nya
Perguruan Tinggi — diperbesar menjadi minimal 30%).
Hal ini
dapat melengkapi masukan-masukan Tim Sains Terbuka Indonesia selama ini yang
terfokus pada intra (within)
darma Riset dan Publikasi.
Aksi-aksi between dan within bidang-bidang
Tridarma ini patut menjadi sebuah gerakan bersama, tidak lain untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia melalui lembaga pendidikan
tinggi. By the way, pendekatan berbasis antar/inter-Tridarma
sebenarnya juga sudah saya ungkapkan dalam acara Rock The Talk: Sejalan
dengan “hukum kekekalan energi”, jika satu darma menyusut, ia pasti
menggelembung di darma yang lain. Sebaliknya bisa terjadi, bila
seorang dosen sedang kurang performed dalam riset, boleh
jadi — biasanya — ia performed dalam
Pengembangan Masyarakat atau “ComDev” (community development), yang di
Universitas Bina Nusantara terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu (1)
Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) yang tak berbayar, dan (2) Pelayanan
Profesional kepada Masyarakat (Professional service)
yang berbayar.
Materi
kedua dan ketiga berikut ini saya peroleh dari seorang rekan di WhatsApp
Group Neuronesia, pada 4 April 2021. Apakah Anda dapat
menemukan benang merah dari ketiga materi ini?
Bagaimana
jika resonansi semakin kuat, karena pada 30 Maret 2021, kami juga telah
menerbitkan sebuah tulisan, yang menekankan hal senada?
Mengenai
kepengaran karya ilmiah/karil, saya bicarakan pada 20 Januari 2021. Saya
menyampaikan tentang perbedaan (dan juga irisan) antara Authorship dan Contributorship. Bahwa
belum adanya kesepakatan akan hal ini akan menimbulkan “kekacauan” dalam dunia
akademik kita; sampai-sampai seorang kolaborator dapat bertukar
posisi dengan seorang plagiator.
Pada 23
Desember 2020, saya berbicara dalam sebuah forum bertajuk Darurat
Plagiat. Saya berbicara khusus mengenai apa dan bagaimana ANJANI (Anjungan
Integritas Akademik).
Berikut
adalah tautan materinya:
Ini
adalah flyer dari kegiatan ini:
Mengenai Integritas
Akademik, sebenarnya sudah saya bicarakan juga jauh hari sebelumnya,
sepanjang 2019, ketika mendapat penugasan dari Kementerian RistekDikti.
Berikut
ini adalah tautan materinya:
Di
samping itu, pada 3 Juli 2020, saya berbicara hal yang lebih luas lagi,
yakni Isu Etika dalam Penelitian, di mana saya menekankan
tentang pentingnya penyelesaian dilema etis secara rasional sebagai bagian dari
Pendidikan Etika.
Meeting Tim International Scientific CommitteeAssociation
of Behavioural Researchers on Asians/Africans (ABRA) atau
Persatuan Penyelidik-Penyelidik Perilaku Orang Asia/Africa, 16
Desember 2020.
The government’s rhetoric of Indonesian resurgence is one of economic and health recovery from the current disruptive pandemic. However, this rhetoric has not been matched in reality, as the recovery focus and fulfillment have been heavily slanted towards the economic sphere. There is a need for a policy which could sustainably alleviate both economic and […]
Matching Fund — Manajemen KeuangannyaWorkshop Pengelolaan Keuangan untuk Program Matching Fund Kedaireka dari Kemendikbudristek, berlangsung pada 26 hingga 29 Januari 2023.
Pada 5–9 Oktober 2022 (2 hari daring, 3 hari luring), saya mengikuti seleksi Reviewer Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) untuk Hibah Kompetisi Kementerian Dikbudristek, dengan agenda:Skema Program Kompetisi Kampus Merdeka dan Lesson LearntShow case kemitraan DUDI (Dunia Usaha Dunia Industri) dan Perguruan TinggiSkema Matching Fund (MF) DIKTI dan lesson learntSkema Penelitian dan PKM DIKTIUpdate Oktober 2022: Terpilih sebagai Reviewer Dewan […]
Menguji Mahasiswa SkripsiPada 4 Agustus 2022, saya bersama Bapak Muhamad Nanang Supryogi menguji mahasiswa yang berkarya sebagai Suster, yakni Sr. Agnes br. Sinurat atau Suster Kallista, yang mengangkat topik skripsi Kesejahteraan Psikologis Suster Berkaul Sementara di Tarekat X Dalam Penghayatan Spiritualitas Imago Dei. Sidang skripsi ini berlangsung dengan diskusi kritis, namun santai dan penuh kegembiraan.
Proyek Jatayu merupakan kompetisi menulis dengan tema bulanan yang dianggap cukup penting dengan harapan dapat memberikan sumber bacaan yang bagus dan kredibel kepada para pengunjung Wikipedia bahasa Indonesia.
Pada 25 Juni 2022, saya melaksanakan amanat dari LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) Psikologi Indonesia untuk melaksanakan uji kompetensi sebagai Asesor dalam skema Perancang dan Fasilitator Pengembangan Komunitas, bertempat di Tempat Ujian Kompetensi Mandiri — Fakultas Psikologi, Universitas Surabaya, Jawa Timur.Update Agustus 2022: Asesmen di Tempat Ujian Kompetensi Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (UNDIP)
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) menyelenggarakan beasiswa Tahap 1, diantaranya untuk skema-skema:Doktor Dalam Negeri Beasiswa PNS/TNI/POLRIMagister Dalam Negeri Beasiswa PNS/TNI/POLRIMagister Luar Negeri Beasiswa Perguruan Tinggi Utama Dunia (PTUD)Sejumlah sejawat dosen dan psikolog serta saya memperoleh amanat sebagai Reviewer/Penilai/Pewawancara Akademis dan Psikologi.Semoga bermanfaat dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia.Update: Oktober 2022 — Tahap 2
Pertama, sebagai Reviewer Penelitian 2022 untuk Skema Penelitian Dosen Pemula (PDP) dan Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi (PDUPT). Total 154 Proposal.Update: Desember 2022, melakukan Evaluasi Keberlanjutan Penelitian Tahun Usulan 2021, Pelaksanaan 2022; serta Tahun Usulan 2022, Pelaksanaan 2022. Total ada 48 pelaksanaan penelitian yang dinilai potensi keberlanjutannya, dalam skema PDUPT, PTUPT, Penelitian Dasar Kompetitif Nasional […]
Siasat Berkegiatan Rawan Kerumunan agar Tetap Aman Perbincangan tentang psikologi penggemar dalam kaitan dengan perilakunya dalam situasi pertunjukan atau pun konser. Dikutip dari Kompas, 9 November 2022 Agar tak tersiksa, apalagi terluka sampai hilang nyawa saat berdesak-desakan dalam kerumunan, seperti waktu nonton konser, sejumlah orang bersiasat. Ada yang menjauhi tribune, memastikan tubuh fit, dan mematuhi […]
Hasil penelitian Juneman Abraham bernuansa Psikologi Perkotaan (Urban Psychology) yang berjudul Psychological Factors Motivating the Intention to Utilize Mass Transport Vehicles (Faktor Psikologis yang Memotivasi Niat Menggunakan Kendaraan Angkutan Massal) yang terbit di ANIMA Indonesian Psychological Journal, 30(3), 117-126 menjadi bahan kajian Harian Kompas tanggal 3 Februari 2022 dengan tajuk Kesetiaan Pengguna Angkutan Umum. The post […]
Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia 2018-2022Dalam Kepengurusan ini, saya sebagai Ketua Kompartemen Riset dan PublikasiHingga saat ini, kira-kira 14 tahun saya menjadi Pengurus HIMPSI. The post Pengurus Pusat HIMPSI 2018-2022 appeared first on Juneman Abraham ~ psikolog sosial.
Pada 15 dan 16 Oktober 2022, saya mengikuti kegiatan RCC Asesor Kompetensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Psikologi Indonesia, bertempat di Ubaya Training Center Trawas, Jawa Timur. Sebelumnya, saya telah mengikuti Refreshment Asesor pada tanggal 2-3 Oktober 2021 (tahun lalu) dan Upgrading Asesor pada tanggal 13-14 Agustus 2022 (tahun […]
Pada 19 Agustus 2022, saya berbicara di Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang, mengenai Penulisan Artikel Ilmiah Terindeks SCOPUS. Judul tersebut kurang dapat saya pahami karena dalam kenyataannya kasus-kasus yang terjadi pada indeksasi global, termasuk Scopus, seperti jurnal predator, jurnal terbajak (hijacked), jurnal discontinued, dan sebagainya, menunjukkan bahwa Kita harus selalu kembali pada […]
Pada 15 Agustus 2022, saya mengisi Diskusi Panel di AIESEC in BINUS dengan payung topik besar Balancing between Physical Health and Mental Health (Menyeimbangkan Kesehatan Fisik dan Kesehatan Mental). Kegiatan ini merupakan rangkaian SDG Level Up, di mana salah satu tujuan (nomor 3) dari SDG adalah Good Health and Wellbeing. Berdasarkan prospektus yang saya terima, […]
Saya mengikuti Bandung Critical Psychology Conference 2022 pada 4 Agustus 2022 (yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran), juga International Short Course on Decolonizing Psychologies, 8-9 Agustus 2022 (yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan). “Ko-insiden” tersebut bukanlah sebuah kebetulan, dan bagi saya sangat berharga untuk diikuti. Semoga keikutsertaan saya dan rekan-rekan yang peduli […]
Pada 26 Juli 2022, bersama Prof. Dr. Cholichul Hadi dari Universitas Airlangga, saya membincangkan Psikologi Perkotaan atas undangan Panitia SEA-AFSID 2022 (Southeast Asia Academic Forum for Sustainable Development). Kegiatan ini sekaligus merupakan pre-event dari Studium Generale di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Abdul Haris. The post Membincangkan Psikologi Perkotaan appeared first on Juneman Abraham ~ […]
Dalam konteks ini, saya menyusun mata kuliah di BINUS University, sebagai berikut: Social Psychology, Psychology of Public Policy, Urban Psychology, dan Psychoethics (Psikoetika), dengan penyampaiannya di kelas mengikuti prinsip-prinsip Kurikulum Merdeka untuk aplikasinya di Perguruan Tinggi. The post Menyusun Kurikulum Merdeka Psikologi Sosial appeared first on Juneman Abraham ~ psikolog sosial.