psikologi korupsi

Penuh Cinta: Peneguhan Profesor Psikologi

Dua puluh sembilan Maret dua ribu dua puluh tiga, telah berlangsung pengukuhan guru besar psikologi penuh kehangatan, tawa, dan cinta.

Profesor Psikologi Sosial yang dikukuhkan, Prof. Dr. Juneman Abraham, merasa sangat berbahagia dikelilingi oleh para sejawat, keluarga, dan seluruh handai taulan (sebagian telah berpuluh tahun belum berjumpa).

Momen kebahagiaan itu dibagikannya dalam kesempatan ini.

Dikutip dalam Naskah Akademik RUU Pendidikan dan Layanan Psikologi (RUU PLP)

Pada akhir 2020, dalam sebuah wawancara dengan TheConversation Indonesia, saya menyatakan hal sebagai berikut:

Di dalam berbagai lembaga tersebut juga tersebar Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) yang memuat peraturan perundang-undangan dan naskah akademiknya.

Masalahnya, belum ada ekosistem yang dapat menghubungkan secara efektif antara riset yang ada, naskah akademik yang hendak dibuat, dan kebijakan publik.

Padahal keterhubungan inilah yang merupakan jantung dari kebijakan publik berbasis sains yang selama ini diidamkan.

Di beberapa negara seperti Inggris, misalnya, terdapat Altmetric yang mulai mampu mengidentifikasi dokumen kebijakan mana saja yang melakukan pengutipan hasil riset.

Saya juga telah mengusulkan dibangunnya sebuah Repositori Kebijakan Nasional guna memfasilitasi kesinambungan antara tiga poin tersebut. Repositori kebijakan ini bisa dilengkapi dengan teknologi kecerdasan buatan untuk memetakan apakah dokumen kebijakan publik di level nasional sudah berlandaskan riset.

Dalam RUU Pendidikan dan Layanan Psikologi (dahulu: RUU Praktik Psikologi), kiprah psikologi Indonesia dalam berkontribusi terhadap teori dan praktik psikologi korupsi, tampak dalam Naskah Akademik RUU Praktik Psikologi versi kedua (Februari, 2021) yang didokumentasikan oleh DPR RI, sebagai berikut:

Hal ini menandakan bahwa riset-riset Dr. Juneman Abraham mengenai Psikologi Korupsi, secara bertahap terus memberikan pengaruh pada kebijakan publik.

Pembicara Kunci (Keynote Speaker) / Sesorah-nada-dasar* Dalam Konferensi Studi Perilaku

Meskipun telah banyak kali sebagai penyaji (presenter) makalah dalam berbagai event internasional, Rabu, 24 Juni 2020 merupakan kali kedua saya menjadi Pembicara Kunci (Keynote Speaker) dalam sebuah konferensi ilmiah internasional, setelah sebelumnya berbicara di KU Leuven, Belgia.

Konferensi ilmiah itu adalah AMER ABRA International Virtual Conference on Environment-Behaviour Studies, atau disingkat AIVCE-BS. AMER ABRA sendiri merupakan singkatan dari Association of Malaysian Environment-Behaviour Researchers – Association of Behavioural Researchers on Asians/Africans (Persatuan Penyelidik-Penyelidik Perilaku Orang Asia/Afrika) .

Sebagaimana disebutkan dalam prospektus ini, sejak 2009, saya menjadi Keynote Speaker ke-83 dalam seluruh rangkaian konferensi ilmiah internasional yang diselenggarakan oleh AMER ABRA.

Sejumlah nama lainnya yang pernah menjadi Keynote Speakers juga adalah Prof. Dr. Gary Evans (Cornell University), Emer. Prof. Dr. Christopher Spencer (University of Sheffield), Assoc. Prof. Dr. Ir. Iwan Sudradjat (ITB), Prof. Dr. Roger Fay (University of Tasmania), Emer. Prof. Dr. Robert Marans (University of Michigan), Assoc. Prof., Dr. Shenglin Elijah Chang (National Taiwan University), Prof. Dr. Emil Salim (Council of Advisors to the President of the Republic of Indonesia), Dr. Kate Bishop (University of New South Wales), Ar. John Brennan (University of Edinburgh).

Dalam keynote speech ini saya berbicara mengenai The Psychology of Corruption: How far we have moved in research. Saya memaparkan perkembangan studi psikologi korupsi di Indonesia dan dunia pada umumnya, memaparkan hasil-hasil studi saya bersama tim peneliti psikologi korupsi, serta memberikan sejumlah rekomendasi ke depan.

Konferensi ilmiah internasional yang diselenggarakan AMER ABRA sangat menjaga mutu publikasinya. Komite/panitia memiliki tradisi untuk mengumumkan Best Paper Awards. Nomor urut pertama dari paper yang menerima awards kali ini adalah paper yang ditulis oleh Dr. Ni Ketut Agusintadewi dari Universitas Udayana, Indonesia. Suatu hal yang membanggakan!

Catatan kaki:
*) Padanan bahasa Indonesia dari keynote speech sebagai “sesorah-nada-dasar” saya peroleh dari Prof. Liek Wilardjo dari UKSW. Saya mendengar sendiri pertanggungjawaban istilah Indonesia tersebut sewaktu menjadi salah seorang penyaji dalam konferensi “Menggugat Fragmentasi dan Rigiditas Pohon Ilmu“, di mana saya membawakan sebuah makalah.

Psikologi Korupsi: Hibah Penelitian Ristek Dikti (2015-2016)

RESEARCH LEADER: Dr. Juneman Abraham, S.Psi., M.Si.

INTRODUCTION: Korupsi dan Dimensi Psikologis-Sosialnya      

Tiadanya definisi yang disepakati bersama tentang korupsi telah menyebabkan fragmentasi dalam studi-studi tentang korupsi. Berdasarkan penyelidikan yang ekstensif terhadap literatur, ditemukan “benturan” antara definisi korupsi menurut hukum nasional dan definisi subjektif dan/atau definisi sosial. Korupsi merupakan ajang kontestasi pemaknaan (“Corruption is a site for contested meaning“) (Pavarala, 1993, h. 145). Sementara itu, konseptualisasi tentang korupsi itu sendiri bersifat evolutif; artinya, sesuatu yang tidak dianggap koruptif pada suatu masa, mungkin dianggap koruptif pada masa-masa berikutnya (Farrales, 2005). Mencermati pluralisme definisi dan jenis-jenis korupsi sepanjang sejarah, peneliti memandang perlu untuk melakukan studi khusus tentang ragam definisi korupsi dalam konteks Indonesia. Di samping itu, penting juga untuk mengetahui variabel-variabel apa saja yang mampu memprediksi perilaku koruptif, terutama karena riset dengan pendekatan psikologis masih sangat langka. Masalahnya, perilaku Koruptif adalah sesuatu yang socially undesirable (jelas-jelas atau nyata-nyata bertentangan dengan norma, sehingga dapat memancing jawaban palsu dalam kuesioner), sehingga perlu metode untuk menangkapnya melalui konstruk Emosi Moral (Tendensi Korupsi; yakni Guilt and Shame Proneness, kecenderungan untuk merasa bersalah dan malu jika melakukan perbuatan yang tidak etis atau mengarah pada tindakan koruptif).

Pertanyaan Penelitian yang pertama: Bagaimana representasi sosial tentang korupsi pada masyarakat Indonesia? Berbagai penjelasan teoretik tentang korupsi belum banyak mengintegrasikan perspektif diri (self) dengan perspektif sosial dalam sebuah mekanisme yang mumpuni menjelaskan tingkah laku koruptif. Oleh karenanya, muncullah pertanyaan penelitian yang kedua: Bagaimana mekanisme psikologis tindakan korupsi? Kerangka Berpikir: “Mereka Pidato Antikorupsi, tetapi Uang Negara Dirampok Terus” (Usman Hamid dalam Kompas, 4 Desember 2012). Mengapa? Penelitian ini menduga bahwa tindakan koruptif dihasilkan melalui mediasi inauthentic/counterfeit self. Ketidakotentikan berarti bahwa orang bertindak dengan cara-cara yang tidak asli guna menghindar dari devaluasi relasional (Leary, 2003). Diri (self) terorganisasikan di seputar peran (roles) seseorang (Cooley, 1902). Pengambilan peran adalah sebuah proses mengantisipasi respons interaksional dari orang lain. Dalam penelitian ini, operasionalisasi mekanisme counterfeit self (diri yang palsu) adalah berupa: perilaku palsu (charlatan behavior/charlatanism), perilaku gemar membanding-bandingkan diri dengan orang lain (social comparison), diri sebagai produk pelanggaran kontrak psikologis (psychological contract violation), tiadanya makna dalam bekerja (meaningless work), serta konsumsi tidak etis (unethical consumption) berupa perilaku tan-mudarat tan-buruk (no harm no foul behavior/NHNF).  

 

METHODOLOGY/ SYSTEM DESIGN/ PROPOSED METHOD

Penelitian tahun pertama (2015) menggunakan metode kuantitatif: survei, cross-sectional study. Desain penelitian ini adalah desain korelasional, noneksperimental, prediktif. Total partisipan penelitian ini berjumlah lebih dari 2000 orang dengan komposisi jenis kelamin hampir berimbang (50% laki-laki, 50% perempuan; detail pada bagian Hasil), yang direkrut dengan menggunakan teknik convenience sampling, sebuah teknik penyampelan yang lazim digunakan dalam bidang ilmu psikologi, di Jakarta dan dua propinsi lainnya. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Skala pengukur organizational charlatan behavior yang diadaptasikan dari Parnell and Singer (2001), skala pengukur GASP (guilt and shame proneness) yang diadaptasikan dari Cohen et al. (2011), Skala pengukur identitas moral yang diadaptasikan dari Aquino and Reed II (2002), Skala pengukur no harm no foul behavior yang diadaptasi dari Vitell and Muncy (sebagaimana dikutip dari Chowdhury & Fernando, 2014), Skala pengukur motivasi utilitarian dan hedonik yang diadaptasikan dari Kim (2006), Skala otentisitas diri yang diadaptasikan dari Kifer, Heller, Perunovic, dan Metode Galinsky (2013) serta Wood, Linley, Maltby, Baliousis, dan Joseph (2008) tentang self-alienation (counterfeit self), serta Skala pengukur perbandingan sosial yang diadaptasikan dari Geurts, Buunk, and Schaufeli (1994) dan yang dikembangkan oleh Michinov (2005). Total partisipan penelitian Tahun Kedua (2016) berjumlah lebih dari 2000 orang dengan komposisi jenis kelamin hampir berimbang (50% laki-laki, 50% perempuan; detail pada bagian Hasil), yang direkrut dengan menggunakan teknik convenience sampling, sebuah teknik penyampelan yang lazim digunakan dalam bidang ilmu psikologi, di Jakarta dan dua propinsi lainnya. Instrumen yang digunakan: Skala otentisitas diri yang diadaptasikan dari Wood, Linley, Maltby, Baliousis, dan Joseph (2008), skala Kontrak Psikologis dari Turnley (1997) yang diadaptasikan oleh Boes (2006), serta serta skala makna kerja Comprehensive Meaningful Work Scale (CMWS) dari Lips-Wiersma and Wright (2012). Data penelitian ini dianalisis dengan analisis deskriptif dan ekstraksi satuan makna untuk mengenali frekuensi ungkapan yang keluar dari benak (top of mind) dari partisipan, dengan alat bantu IBM Text Analytic, serta analisis regresi linear berganda untuk mengetahui kemampuan prediksi dari variabel prediktor terhadap perilaku koruptif, dengan alat bantu IBM SPSS.

RESULTS

Atas pertanyaan penelitian tahun pertama (2015), melalui analisis deskriptif (N = 2104; 1010  laki-laki, 1094 perempuan; yang terdiri atas kelompok mahasiswa, pegawai, dan pemuka agama), ditemukan bahwa makna korupsi yang melekat dalam benak masyarakat adalah: (1) Berhubungan dengan orang lain, (2) Mencuri, (3) Kepentingan pribadi, (4) Tindakan, dan (5) Negara. Di samping itu (1) organizational charlatan behavior (perilaku palsu/tidak otentik di perusahaan) tidak mampu memprediksikan emosi moral rasa malu, lebih dikarenakan domain yang berbeda antar variabel (yang satu dalam konteks organisasi, sedangkan yang lain dalam konteks kehidupan umum, sehingga generalisasi tidak terjadi), namun identitas moral mampu memprediksikannya (sampel: 111 laki-laki, 97 perempuan; pegawai negeri dan swasta); (2) perbandingan sosial (social comparison) mampu memprediksikan dimensi emosi moral rasa malu (yakni evaluasi diri negatif dan tendensi mengundurkan diri setelah melakukan perbuatan yang memiliki tendensi koruptif), dalam arah negatif (sampel: 99 laki-laki, 104 perempuan; karyawan swasta); (3) perilaku tan-mudarat tan-buruk (no harm no foul behavior) mampu diprediksikan oleh motivasi konsumsi utilitarian, sedangkan motivasi hedonik tidak mampu memprediksikannya (sampel: 148 laki-laki, 72 perempuan; mahasiswa). Untuk memperoleh konfirmasi akhir, dilakukan analisis regresi linear berganda, yakni prediktor (variabel independen: authentic self, sebagai lawan dari inauthenticity/counterfeit self) terhadap kriterion (variabel dependen: emosi moral). Ditemukan bahwa, sejalan dengan hasil-hasil sebelumnya, semakin tinggi otentisitas (tidak berstatus/berkeadaan counterfeit) diri seseorang, semakin tinggi pula shame (rasa malu) dan guilt (rasa bersalah) atas perbuatan tak etis, sehingga semakin rendah kecenderungan untuk melakukan korupsi (sampel: 293 laki-laki, 268 perempuan; mahasiswa dan karyawan).

Atas pertanyaan penelitian yang kedua (2016), ditemukan bahwa pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi evaluasi perilaku negatif (Guilt-Negative Behavior Evaluation), perilaku memperbaiki kesalahan (Guilt-Repair), evaluasi diri negatif (Shame-Negative Self Evaluation), namun tidak dapat memprediksikan perilaku menarik diri (Shame-Withdrawal) (Sampel: 273 karyawan perbankan).  Ditemukan pula bahwa Ketiadaan makna kerja (sebagai bentuk counterfeit self) dapat memprediksikan mayoritas emosi moral, sebagai wujud tendensi koruptif, dalam arah negatif (sampel: 210 pekerja sektor swasta). Untuk memperoleh konfirmasi akhir, dilakukan analisis faktor konfirmatori. Ditemukan bahwa, dari 1655 siswa-siswi sekolah menengah di Kalimantan dan Sulawesi yang dijadikan sampel penelitian, Alienasi Diri serta Kehidupan yang tidak Otentik merupakan faktor-faktor penyusun Diri yang Palsu (Counterfeit Self). Namun demikian, Penerimaan terhadap Pengaruh Eksternal/Orang lain tidak dipandang oleh partisipan penelitian sebagai faktor yang penting untuk menghasilkan Diri yang Palsu.

Diskusi Ringkas: Secara umum ditemukan bahwa counterfeit self menurunkan tendensi untuk berperilaku etis, atau dengan perkataan lain, meningkatkan kecenderungan seseorang untuk berperilaku koruptif. Kendati demikian, perlu ditelisik rincian hasil penelitian ini. Pertama, organizational charlatan behavior sebagai salah satu dimensi yang dihipotesiskan menghasilkan diri yang palsu tidak mampu memprediksikan tendensi koruptif yang dalam penelitian ini diwakili oleh emosi moral. Temuan ini diduga oleh peneliti lebih disebabkan oleh perbedaan konteks antara prediktor (di ranah perusahaan) dan kriterion (emosi moral dalam berbagai ranah kehidupan); namun identitas moral yang membentuk moral self mampu memprediksikan emosi moral itu. Kedua, semakin seseorang berhasrat membandingkan dirinya dengan orang lain, dan semakin ingin orang selalu menjadi orang yang berada di atasnya, menggambarkan ia tidak mampu menjalani kehidupan yang otentik, dan sebagai akibatnya, emosi moral (rasa bersalah dan rasa malu)-nya mengalami erosi/degradasi jika melakukan perbuatan yang tidak etis dan mengarah pada korupsi. Ketiga, perilaku yang sepintas baik-baik saja namun sebenarnya tidak etis bagi sebagian orang (no harm no foul behavior) dapat diramalkan oleh motivasi konsumsi seseorang yakni motivasi utilitarian. Keempat, pekerjaan yang tidak dimaknai akan berimplikasi pada melemahnya emosi moral. Kelima, pelanggaran kontrak psikologis yang dialami pekerja membuat karyawan berpikir untuk memulihkan rasa keadilannya, justru dengan meningkatnya tendensi untuk berbuat koruptif. Akan halnya dengan representasi sosial tentang korupsi, hal yang paling diingat orang tentang makna korupsi adalah (lima teratas): (1) Berhubungan dengan orang lain, (2) Mencuri, (3) Kepentingan pribadi, (4) Tindakan, dan (5) Negara.

Manfaat penelitian: Berbagai persepsi masyarakat mengenai arti korupsi sangat penting untuk diketahui karena dengan persepsi lah manusia membentuk pengertian dan memberikan penjelasan tentang dunia secara koheren, masuk akal, dan bermakna, serta merencanakan perilaku yang dianggap tepat sesuai dengan persepsi yang terbangun. Berdasarkan hasil penelitian, nyata benar bahwa pesan kampanye anti korupsi yang paling efektif bagi orang Indonesia adalah pesan dengan karakteristik menekankan pengaruh destruktif (merusak) dari korupsi terhadap orang lain. Sebagai contoh, “With Corruption Everyone Pays” lebih efektif daripada pesan-pesan seperti “Berani Jujur Itu Hebat”, “You can stop corruption”, “Corruption is deadly”, “Penyakit terburuk di dunia ini adalah Korupsi”. Di samping itu, setelah mengetahui bahwa organizational charlatan behavior mungkin mempengaruhi tendensi koruptif (khususnya dalam konteks perusahaan, bukan dalam konteks kehidupan umum), pengetahuan ini dapat digunakan untuk menyusun teknologi keperilakuan untuk mengubah kognisi, afeksi, dan konasi pegawai/karyawan perusahaan agar tidak terjebak pada perilaku “pura-pura”, melainkan mengembangkan sikap dan perilaku yang asli dan tulus. Perusahaan juga dapat mengambil manfaat dengan menyusun metode guna mendeteksi perilaku-perilaku palsu yang seringkali “halus dan tak terlihat” ini, untuk mencegah korupsi di perusahaan mereka. Namun demikian, hal ini ternyata perlu diteliti lebih lanjut karena kekuatan prediktifnya diduga dimoderasi oleh konteks. Orang bukan bermoral selamanya, juga bukan tidak bermoral selamanya. Setelah mengetahui bahwa perilaku membanding-bandingkan diri dengan orang lain dapat mempengaruhi tendensi korupsi, perlu diciptakan mekanisme pengingat dalam diri bahwa perbandingan dengan yang lebih baik seyogianya menghasilkan motivasi untuk menjadi lebih baik asalkan tidak menempuh jalan pintas. Di samping itu diingatkan kembali kebijaksanaan hidup sehari-hari bahwa pembandingan diri dengan orang lain hanya akan menghasilkan perasaan tidak puas, bahkan menjadi akar kejahatan, dan mengarah pada ketidakbahagiaan. Motivasi utilitarian yang sehat dalam bidang konsumsi perlu ditanamkan dan diteguhkan dalam diri apabila kita ingin melakukan prevensi perilaku tan-mudarat tan-buruk (no harm no foul behavior/NHNF) yang dapat mendorong perilaku tidak etis lebih lanjut. Dalam dunia konsumsi, motivasi utilitarian akan membuat konsumen melakukan perhitungan yang masak sebelum melakukan sebuah tindakan, serta tidak akan mengedepankan instanisme dan impulsivitas, termasuk NHNF.

Setelah mengetahui bahwa defisit makna kerja dapat membawa pada tendensi untuk berperilaku korupsi, maka perusahaan dapat menyusun program untuk menyelidiki makna kerja calon karyawan sejak mulai dari proses rekrutmen, sekaligus memelihara dan meningkatkan makna kerja itu sepanjang periode kerja karyawan. Demikian pula, setelah mengetahui bahwa pelanggaran kontrak psikologis ternyata membuat karyawan merasa berhak untuk berbuat korupsi, maka atasan perlu senantiasa memperhatikan harapan tidak tertulis dari para karyawannya, dan mengelola aspirasi-aspirasi mereka agar mereka tidak merasa diperlakukan tidak adil dan mencari “keadilannya sendiri” dengan korupsi. Setelah diketahui bahwa faktor-faktor penyusun diri yang palsu ternyata termasuk: mengalienasikan diri (terpisah dari diri yang asli), dan kehidupan yang tidak otentik, maka untuk mencegah korupsi, orang perlu selalu senantiasa untuk diingatkan mengenai nilai-nilai fundamental dari dirinya, untuk berjalan searah dengan nilai-nilai tersebut, bukannya melebih-lebihkan keadaan hanya untuk menjaga citra atau presentasi diri dalam pandangan sosial. Banyak tindakan korupsi ternyata berasal dari keinginan untuk dihargai oleh orang lain, sehingga melupakan nilai-nilai moral diri. Namun demikian penelitian ini juga menunjukkan bahwa, dalam psike orang Timur (Indonesia, dalam hal ini), penemuan diri (atau, kultivasi diri) juga dapat memperoleh masukan dari orang lain. Orang lain tidak selalu “mencemari” diri kita sehingga diri kita menjadi tidak asli. Masukan dari orang lain mengalami seleksi dan penyaringan untuk membangun diri yang asli, dalam pengertian: otentik, sehingga tercegah dari tendensi berbuat korupsi.

 

OUTPUT

PUBLICATION

Publikasi tentang Psikologi Korupsi, baik sebagai riwayat atau track-record publikasi terkait sebagai anteseden hibah, maupun sebagai hasil hibah.

JURNAL ILMIAH INTERNASIONAL BEREPUTASI  
1 2018 Counterfeit self: A Confirmatory Factor Analysis among Indonesians  Kasetsart Journal of Social Sciences Vol. 39 No. 3, Page 518-525, September–December 2018  
2 2018 The Psychology of Corruption: The Role of the Counterfeit Self, Entity Self-theory, and Outcome-based Ethical Mindset  Journal of Psychological and Educational Research Vol. 26 No. 2, Page 7-32, November 2018  
3 2020 Can proneness to moral emotions detect corruption? The mediating role of ethical judgment based on unified ethics Kasetsart Journal of Social Sciences Vol. 41 No. 1, Page 152-159, January-April 2020  
4 2017 Guilt and Shame Proneness: The Role of Work Meaning and Perceived Unethicality of No Harm No Foul Behavior among Private Sector Employees Journal of Psychological and Educational Research Vol. 25 No. 2, Page 90-114, November 2017  
JURNAL ILMIAH INTERNASIONAL  
5 2015 An Investigation on Organizational Charlatan Behavior and Moral Identity as Predictors of Shame: Importance for Education Journal of Education and Learning (EduLearn) Vol. 9 No. 2, Page 135-144, May 2015  
6 2018 Psychological Mechanism of Corruption: A Comprehensive Review Asian Journal of Scientific Research Vol 11 No. 4, Page 587-604, September 2018  
JURNAL ILMIAH NASIONAL  
7 2015 Social Comparison as a Predictor of Shame Proneness Dimensions Sosiohumanika Vol. 8 No. 2, Page 231-240, November 2015  
8 2015 No Harm No Foul Behavior and Consumption Motivation Among Indonesian Students Anima Indonesian Psychological Journal Vol. 31 No. 1, Page 1-13, July 2015  
PROSIDING ILMIAH INTERNASIONAL  
9 2016 Corruption: Its Representations and Psychology in Indonesia ACP/ACERP 2016 Official Conference Proceedings Page 357-369, Kobe, Japan, 2016  
10 2014 Corruptive Tendencies, Conscientiousness, and Collectivism Procedia – Social and Behavioral Sciences (AMER International Conference on Quality of Life 2014) 2014, Vol. 153, Page 132–147, Malaysia  
11 2014 Moral Emotions, Income Sufficiency, Family Self-Sufficiency, and Selflessness SGEM 2014 International Multidisciplinary Scientific Conferences on Social Sciences and Arts 2014, Vol. 1, Page 241-248, Bulgaria