Masalah Kesehatan Jiwa Indonesia Dalam Perspektif Multidisiplin
Pada 2007, saya menjadi salah seorang Panitia dalam sebuah Acara Nasional yang diselenggarakan oleh Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa Indonesia (JEJAK Jiwa, Ketua: dr. Pandu Setiawan, Sp.K.J.). Acara ini antara lain terdiri atas Round Table Discussion yang membahas persoalan kesehatan jiwa dari berbagai profesi terkait. Bersamaan dengan acara ini juga telah diluncurkan Indonesian Journal of Mental Health, “ATARAXIS”, dalam mana saya menjadi salah seorang anggota dewan penyuntingnya. Baru-baru ini (akhir Agustus 2011) saya menyadari bahwa sangat disayangkan apabila notula acara ini hanya tersimpan dalam folder maya saya begitu saja. Mengapa? Karena isi diskusi ini sangat menarik dan interdisiplin. Sejauh saya ketahui, sangat langka adanya sebuah momen perjumpaan di mana komunitas psikologi, psikiatri, pekerja sosial, dan lain-lain berkumpul dan berdiskusi semendalam ini dan memunculkan urgensi untuk memiliki sebuah jejaring interdisiplin yang berkesinambungan bahkan memiliki keinginan bersama yang kuat membuat aksi konkret dalam rangka kesehatan jiwa di Indonesia. Sayang, memang, bahwa belum ada tindak lanjut dari isi diskusi ini yang signifikan sampai dengan hari ini. Namun demikian, isi diskusi ini menurut hemat saya sangatlah inspiratif dan saya harapkan dapat berguna buat kawan-kawan pembaca blog ini.
Juneman Abraham
Social Psychologist
Round Table Discussion
“THE DEMAND ON SOCIAL LEARNING”
Jakarta, 26 Oktober 2007
Moderator:
Rule-nya hanya saling tenggang rasa dalam sesi ini. Ada 3 orang pembicara di depan yang akan berbagai pengalaman terlebih dahulu sebelum diskusi dimulai. Konteks RTD ini menantang semua peserta untuk ’membaca’ kembali citra dari kesehatan jiwa. Ketiga orang pembicara diminta untuk merepresentasikan wilayah-wilayah social distress, yang kelihatannya akan memegang peranan penting dalam dinamika diskusi ke depan. Sebetulnya pada perencanaan kita ingin ada wakil dari Aceh, Yogya, dan wilayah pasca konflik seperti NTB. Sayang waktunya sempit untuk mengadakan persiapan para pembicara itu.
Untuk saat ini, tiga pembicara yang telah siap membagi pengalamannya adalah:
Jadi, pertama-tama ketiga kawan ini akan menuturkan pengalamannya. Setelah itu kemudian akan dibuka RTD. Setengah jam sebelum kegiatan ini berakhir, ketiga kawan ini akan memberikan komentar balik terhadap diskusi kita.
Mama Aleta
Cerita pengalamannya selama ini Mama Aleta banyak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan. Selama ini Mama Aleta telah mendampingi masyarakat adat di 67 desa yang termasuk dalam empat kecamatan di Mulo, yang merupakan sebagian hulu NTT, jantungnya NTT. Bila dirusak Mulo ini, NTT akan mengalami kesulitan hebat.
Pembangunan memang baik, tapi bagi rakyat ini merupakan penderitaan. Bagi orang yang mau mencari keuntungan, pembangunan ini bagus, tapi bagi rakyat tidak. Pada tahun 1996, ada kegiatan penambangan satu gunung batu. Ini merugikan masyarakat yang berada di hulu maupun di hilir, karena sumber air keluar dari batu. Di atas batu itu ada hutan dan tanah-tanah rakyat. Jadi, rakyat menolak penambangan batu marmer.
Setiap gunung batu di sana menampung sumber mata air. Sehingga masyarakat menolak batu itu ditambang, karena sumber mata air akan kering, hutan akan habis, dan binatang musnah, dan akan terjadi erosi, karena tanahnya berpasir dan mudah longsor. Dilihat dari segi adat, sebenarnya nama orang Timor diambil dari batu. Jadi, batu, air, kayu tidak boleh dirusak.
Menurut tokoh adat, mereka selalu memberi simbol tanah, batu itu disimbolkan sebagai air susu ibu, yang digunakan untuk menyusui makhluk hidup. Air dikatakan seperti darah. Jika tidak ada air, semua akan mati. Hutan diumpamakan sebagai rambut. Istilah-istilah ini juga membuat masyarakat menolak tambang.
Pekerjaan ini tidak mudah diakui orang. Karena pemahaman masyarakat adat berbeda, bagi perempuan, lelaki, itu berbeda. Di titik inilah Mama Aleta bekerja, berusaha untuk menyamakan pemahaman, agar kemudian bisa bekerja bersama.
Kita tidak dapat mengandalkan LSM untuk mendapat uang. Sehingga untuk mengorganisir, Mama Aleta bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain dengan menggunakan kuda atau jalan kaki, di kondisi alam yang sulit.
Molo itu paling indah dan subur di Timor. Jadi, masyarakat berjuang melakukan aksi menolak tambang. Tanpa mempedulikan tidak memiliki uang untuk mendukung aksi. Namun dengan keberanian mereka melawan di hutan. Dan karena kurang dana aksinya dilakukan dengan cara menjaga batu, tidur di hutan bersama-sama menjaga batu. Bersamaan dengan itu, kaum perempuan mulai menerobos adat dengan keluar rumah karena merasa harus bekerja bersama untuk menjaga kelangsungan hidup.
Tahun 2000, investor harus keluar dari satu lokasi pertambangan. Tahun 2002, masyarakat mulai merebut tanah, karena penduduk bertambah, tanah sempit, sementara kehutanan mengklaim tanah sebagai tanah negara. Mulailah masyarakat berjuang untuk mengambil kembali tanah. Pada masa itu, Mama Aleta dijadikan tersangka penyerobot tanah kawasan hutan. Status tersangka ini masih melekat pada diri Mama Aleta sampai saat ini. Mama Aleta sempat diproses untuk diajukan ke pengadilan. Dia selalu diancam untuk dibunuh, namun masyarakat selalu datang untuk menjenguknya. Ini karena ikatan di antara Mama Aleta dengan masyarakatnya cukup kuat.
Tahun 2003 masyarakat berhasil mengelola tanah, meskipun belum ada pengakuan legal dari pemerintah. Beberapa lokasi penambangan batu marmer berhenti. Namun masih ada dua yang mulai melakukan kegiatan sekarang. Tahun 2006 mereka mengadakan aksi menolak tambang di Wai Tapan selama satu bulan. Namun pemerintah membangun konflik horizontal, antara masyarakat yang pro dan kontra tambang.
Mama Aleta dengan lima kawan perempuannya menjalani hukuman 5-20 hari tanpa alasan yang meyakinkan selain karena ada konflik yang terjadi tanpa melalui proses pengadilan yang baik. Perlakuan hukum yang tak adil seperti itu banyak diterima oleh masyarakat yang kontra tambang.
Masyarakat selalu protes dan menolak pertambangan, karena mereka tidak memiliki tempat tinggal lain. Kalaupun pindah, masyarakat harus mencari tanah lagi untuk pemukiman dan lahan garapan yang prosesnya memakan waktu yang sudah pasti sangat lama dan sulit.
Saat beberapa ditangkap pada tahun 2006, perempuan mulai mengambil alih melakukan aksi demo. Perempuan lebih banyak bergerak aksi, karena mereka merasa kesulitan, karena setiap hari mereka akan ke kebun 10-15 kali, untuk mengambil kayu, air, umbi, sayuran, merawat tanaman, sehingga mereka merasa kegiatan penambangan akan menimbulkan penderitaan pada mereka.
Selama perjuangan sejak Oktober 2006 sampai saat ini, mereka mengalami banyak penindasan. Ketika aksi di lokasi sendiri, pertahanan masyarakat sangat kuat, pihak luar, preman tidak dapat masuk. Namun ketika aksi di kantor DPR banyak, masyarakat banyak memperoleh perlawanan dari polisi dan preman. Di jalan di daerah hutan, polisi menjaga jalan sehingga mereka tidak dapat masuk ke kota, mereka tertahan satu hari di hutan tanpa makanan. Mama Aleta menghubungi banyak teman LSM, yang memberi bantuan makanan sekadarnya dan mengundang wartawan datang ke lokasi penahanan sehingga membuat polisi segan menjaga jalan, akhirnya masyarakat dapat lewat dan masuk ke kantor DPRD. Namun selama di kantor DPRD, polisi dan preman melempari, mencuri bahan makanan, mencuri peralatan, dan mengintimidasi mereka. Bila ada yang keluar dari lokasi di depan kantor bupati, resikonya dihajar preman.
Dua orang laki-laki dibacok kakinya, salah seorangnya kemudian dipenjara 8 bulan. Masyarakat menolak, namun mereka lah yang kemudian malah dianiaya. Kejaksaan yang hadir hanya nonton, begitu juga polisi. Banyak yang mengalami kekerasan, dilukai secara fisik, begitu juga dengan ancaman pembunuhan. Bahkan sampai saat ini, Mama Aleta masih diancam oleh Bupati sendiri, dan sulit untuk pulang kembali ke kampung sendiri.
Winston Neil Rondo
Bergerak di perkumpulan relawan CISIMA (dulu CIS). Banyak orang yang mengajukan satu pertanyaan untuk soal pengungsi yang masih belum selesai, padahal waktu sudah berjalan 8 tahun, dan banyak dana dari organisasi luar maupun dalam negeri yang sudah disalurkan pada para pengungsi ini. Sampai saat ini masih ada 35 ribu jiwa yang masih tinggal di kamp pengungsi, meskipun pada 31 Desember 2001 Indonesia telah mengumumkan mengakhiri pengungsian.
Ada dua contoh kasus yang memilukan dari para pengungsi ini. Lembaga yang mulai bekerja tahun 1999 ini bekerja dengan 30 orang relawan. Di salah satu kamp yang semula merupakan sebuah lapangan luas, selama bulan November-Desember yang merupakan musim hujan, dalam satu minggu terjadi 30-40 kasus kematian balita. Di salah satu tenda tinggal seorang janda yang memiliki lima anak. Namun, dua anaknya, satu per satu harus dilepas dalam masa perjalanan ke Kupang, sebelum menetap di kamp pengungsian. Pada musim hujan itu, dia harus kehilangan dua anaknya lagi akibat diare. Yang mengenaskan, ketika seorang anaknya meninggal, mayatnya tidak dapat langsung dikubur dan harus menunggu lebih dari dua hari, sementara anak yang lain sedang sekarat. Tak ada yang mampu menolong, karena keadaan saat itu membuat semua relawan juga mengalami stress luar biasa. Akses kemanusiaan sangat terbatas saat itu. Ketika itu milisi Indonesia menguasai kamp.
Pada tahun 2002, Winston tinggal di gereja bersama istri. Tepat di seberang jalan terdapat satu kamp pengungsian. Hampir setiap minggu di situ terjadi kecelakaan dengan korban anak-anak, saking semrawutnya keadaan di situ. Sekitar dua bulan yang lalu, terjadi satu kasus tabrakan dengan korban seorang anak. Sesungguhnya sewaktu tabrakan, si anak masih hidup. Namun, setelah terjadi kecelakaan, orang tua si anak sibuk tawar-menawar ganti rugi dengan pelaku. Ketika disepakati dan dibayar Rp300 ribu, si anak meninggal. Di sini terjadi persoalan psikologi yang membuat orang waras bertanya-tanya mengenai perilaku orang tua. Namun sesungguhnya, jika ditelaah kondisi orang tua yang tanpa pekerjaan dan tanpa harapan hidup, membuat hati menjadi keras dan tega menjadikan penderitaan sebagai ajang komersil.
Ada 3 hal pokok yang perlu disoroti untuk mengamati persoalan psikososial di Timor Barat ini:
Dalam kamp-kamp pengungsian, banyak terjadi kasus pemerkosaan terhadap perempuan secara berulang, baik di kamp masyarakat, maupun kamp pemerintah. Dan bagi kaum perempuan, setelah menjadi korban perkosaan, dia masih harus menjadi korban akibat selalu dicap dengan perkataan-perkataan negatif atau diperlakukan rendah oleh masyarakat. Berbeda jika laki-laki yang menjadi korban kekerasan. Misalnya, pemukulan terhadap satu laki-laki akan dianggap sebagai persoalan bersama, persoalan kolektif.
Ini berpengaruh besar pada rendahnya kualitas hidup masyarakat akibat hubungan strukturalis yang kental dengan patriarkis.
Tyas
Berbeda dengan panelis sebelumnya, Tyas akan menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian-penelitian Atma Jaya.
Sebetulnya perlu dilakukan pemetaan beberapa masalah sosial seperti panelis sebelumnya yang dihubungkan dengan diri kita, ini berkaitan dengan masalah kesehatan jiwa. Kebutuhan pelayanan masalah kesehatan jiwa ini muncul.
Di sini perlu diasah kepekaan kita pada masalah-masalah sosial. Root terkuat di sini adalah sosial power dan super power yang merasa berhak mendapat kekuasaan. Dari masalah perbedaan power itu tampak dalam penanganan bencana alam. Hampir seluruh bagian Indonesia rentan bencana alam. Dan ternyata penanganan yang umum terjadi, uang sudah banyak diberikan namun penanganan tercecer. Tidak merata dan tidak selesai.
Berkaitan dengan pengungsi, tarikannya sangat besar dengan kesehatan jiwa. Masalah yang muncul adalah soal secondary trauma, bukan cuma pada korban, namun juga pada orang-orang yang bekerja di wilayah bencana. Shock bisa menimpa para pekerja sosial. Ini sering terabaikan, karena kita sering merasa bahwa pekerja kesehatan terkuat dalam hal kesehatan jiwa.
Masalah lain yang serius adalah migrant workers. Para TKI, baik yang dari luar maupun dari rural ke urban, mengalami trauma juga. Beberapa TKI merupakan korban kekerasan, sehingga mengalami trauma berat. Permasalahan ini sangat luas, termasuk pada kebijakan pemerintah. PR kita sangat komplikasi.
Soal gantung diri sangat serius, karena semakin lama semakin tinggi intensitasnya. Belum ada pengelolaan secara komprehensif untuk melakukan deteksi dini terhadap persoalan ini. Belum ada inisiatif dari para psikolog untuk duduk bersama.
Soal urban issues, berkaitan homeless, street children, dll yang akhirnya bermuara pada kesehatan jiwa. Banyak orang di jalanan yang ketika kecil menjadi korban, saat dewasa akhirnya menjadi pelaku kekerasan.
Soal narkoba juga menjadi masalah lain.
Berkaitan dengan ekologi, ada stress yang luar biasa pada kelompok marjinal di daerah urban. Misalnya, masyarakat yang ada di pinggiran sungai, tidak tahu bagaimana cara menjalani hidup sehat. Kemudian akhirnya malah berkontribusi menjadi penyebab lingkungan tidak sehat.
Persoalan benturan budaya. Salah satu contohnya adalah yang namanya kesurupan massal. Menurut penelitian di Atma Jaya, persoalan psikis kesehatan mental yang sangat serius yang terjadi secara masal. Atau merupakan efek domino.
Secara nasional, ada semacam degradasi moral terhadap wawasan kebangsaan. Kita bersikap skeptis terhadap berbagai permasalahan sosial, misal korupsi dsb. Bila dibiarkan ini akan menjadi persoalan mental yang luar biasa. HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) memberi perhatian yang sangat serius berkaitan dengan wawasan kebangsaan yang sangat kritis, di mana egoisme semakin meninggi. Kasus dua orang panelis sebelumnya cukup baik untuk menjadi counter kasus.
Kita perlu banyak belajar dari kasus-kasus sosial dan bagaimana mengatasinya. Untuk itu, kita perlu duduk bersama secara setara tanpa klasifikasi. Tentunya, ini tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri. Karena masing-masing memiliki keterampilan khusus. Untuk masalah kesehatan jiwa dalam scope lebih besar ada kebijakan pemerintah. Posisi psikolog di mata pemerintah sangat bermasalah, tidak ada pengakuan dari pemerintah. Tidak ada tunjangan profesi untuk psikolog. Dalam peraturan pemerintah, posisi psikolog disetarakan dengan paranormal. Psikolog dihargai rendah oleh pemerintah.
Kasus-kasus sosial membutuhkan banyak pekerja sosial dalam penanganannya. Namun pendidikan untuk menjadi social worker tidak ada. Seolah-olah ini merupakan pekerjaan tidak tetap, sebagai batu loncatan. Dan bukan profesi. Tidak ada pembekalan yang cukup bagi pekerja sosial yang akan terjun dalam tugasnya. Kasus-kasus sosial butuh pembekalan yang tidak main-main untuk para pekerja sosial dari profesi psikolog dan psikiater.
Saya menantang teman-teman di sini untuk memikirkan apa yang harus kita lakukan.
Round Table Discussion
Diskusan 1:
Pernah mengikuti simposium pengajar, dokter dan psikolog, dan dalam pertemuan itu sempat datang Butet Manurung yang bekerja mengajari anak-anak orang rimba. Dia belajar 7 bulan untuk memahami apa yang sesungguhnya diinginkan oleh masyarakat lewat pendidikan.
Seperti inilah semestinya pemerintah bekerja, yaitu dengan memberi perhatian terlebih dahulu, dan mencermati serta mempelajari apa yang sesungguhnya diinginkan masyarakat melalui pendidikan.
Contoh lain seperti yang dikatakan Sartono Mukakdis mengenai satu fase pendidikan dan satu fase pengajaran. Dan sebagian besar anak yang seharusnya mendapat fase pendidikan malah mendapat fase pengajaran.
Jadi, perlu ditanyakan ulang, apakah yang dilakukan oleh layanan masyarakat apakah sudah benar-benar merupakan keinginan masyarakat? Seperti kejadian di NTT yang diceritakan Mama Aleta, itu menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah di sana bukan merupakan keinginan masyarakat.
Jadi sebagai service provider, kita harus empati terhadap apa yang sebenarnya dibutuhkan dan dikehendaki oleh masyarakat dari kita.
Dan sebagai tanggapan terhadap keluhan psikolog yang belum benar-benar diakui statusnya oleh pemerintah, dalam waktu yang tidak terlalu lama tenaga psikologi klinis akan menjadi tenaga kesehatan.
Diskusan 2:
Selama ini, para psikolog dan psikiater dalam menghadapi berbagai masalah bencana, trafficking, dll, dituntut untuk berbuat banyak. Namun, beberapa teman sudah merasa jenuh dengan kegiatan-kegiatan ini yang programnya hanya memberikan training atau asesmen, setelah itu selesai. Itu hanya membuang-buang uang dan tenaga serta waktu.
Menurut saya, perlu ada satu payung yang memiliki power dan uang, sehingga setiap kegiatan jelas dan hasilnya padu. Saya mengajak, apakah mungkin kita punya mental health institutional secara nasional di sini. Sehingga kemudian gerakan yang berkaitan dengan kesehatan jiwa ini, mulai dari political will hingga gerakan di lapangan akan menjadi gerakan yang padu.
Diskusan 3:
Saya seorang pekerja sosial, dan bagi saya penting adanya satu institusional untuk pekerja sosial. Saya pernah bekerja di Papua, dan saya banyak menemukan kekerasan rumah tangga di sana. Saya bertindak sebagai konselor untuk berbagai konflik rumah tangga. Setelah itu, saya masuk ke IOM, dengan menjalani training terlebih dulu. Di awal menjadi pekerja sosial, seperti banyak orang, saya merasa posisi pekerja sosial ini merupakan profesi terendah. Tapi setelah 7 tahun, lambat-laun saya merasa bangga dengan pekerjaan ini.
Di IOM, kami menampung berbagai masalah yang dialami para demonstran. Dan dalam pekerjaan-pekerjaan seperti itu, kami tidak memiliki psikiater khusus. Menurut saya, perlu diadakan rekrut bagi pekerja sosial untuk diinstitusikan.
Diskusan 4:
Saya merasa di negara ini psikolog seperti anak tiri.
Mengenai kondisi negara sekarang, beberapa tahun lalu ada pekerjaan membuat UU Otonomi Daerah, karena ada pemikiran bahwa desentralisasi akan membuat penanganan kesejahteraan rakyat akan lebih baik. Saat diberlakukan, ternyata tidak ada perubahan dari sebelumnya, bahkan suasananya makin ricuh. Apa yang terjadi sebetulnya di negara ini?
Lalu mengenai pekerjaan kita, sebaiknya kita cari pilot project di satu wilayah, yang ke depannya nanti akan berkembang ke wilayah-wilayah lain. Sebagai tambahan pemikiran, guru sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan konseling.
Diskusan 5:
IOM punya program selain tsunami, counter trafficking, dan irregular migrant. Irregular migrant ini adalah imigran dari negara lain yang mencari suaka politik. Pekerjaan-pekerjaan kami dekat sekali hubungannya dengan masalah kesehatan mental. Kami melakukan pendekatan individual secara holistik dari segi fisik dan mental. Kami menggunakan skala Hamington Scale. Dari sini bisa ditentukan siapa yang bisa mendampingi orang itu selanjutnya, apakah cukup dengan pekerja sosial, psikolog atau bahkan perlu psikiater. Setiap klien juga akan memperoleh inform concern setelah diberi penanganan pada satu masa tertentu. Untuk para migran, kami juga mengadakan kegiatan psiko-sosial. Jadi, menurut saya, bila berbicara mengenai kesehatan, termasuk di dalamnya adalah kesehatan jiwa, bukan melulu kesehatan fisik.
Moderator:
Setelah mendengar panelis dan lontaran-lontaran diskusi, saya pikir di sini masih ada gap antara pekerjaan-pekerjaan dalam kasus-kasus tertentu dengan profesi khususnya. Ada satu soal yang mungkin belum dipahami dari cerita pengalaman dua panelis tadi, yaitu antara bagaimana kenyataan pekerjaan mereka di lapangan berhubungan dengan profesi khusus kita. Mungkin ini salah tangkap, tapi tolong direspon.
Diskusan 6:
Berbicara soal kebangsaan. Sebagai refleksi diri, dalam beberapa hal kecil, seperti misalnya mengenalkan lagu daerah kepada anak, sekarang ini sudah jarang dilakukan orang tua. Dari hal-hal seperti ini dapat diindikasikan penurunan rasa kebangsaan dari masa ke masa. Kasus lain, saya pernah menemui sekelompok pemuda asing yang menyengaja datang ke Bandung hanya untuk masuk ke gedung Asia Afrika. Sementara yang biasanya menjadi perhatian saya di Bandung ini adalah pusat perbelanjaannya. Dan ini membuat saya tidak pernah mengenalkan anak saya sendiri pada berbagai informasi sejarah kemerdekaan bangsa.
Bila kita perhatikan, selama ini demo yang paling diperhatikan oleh pemerintah adalah demo yang dilakukan oleh PGRI. Karena tak lama setelah berdemo, kemudian diadakan peningkatan-peningkatan di bidang pendidikan.
Diskusan 7:
Saya sebenarnya bingung mengenai kaitan saya dengan Mental Health. Selama dua hari ini saya melihat bahwa ternyata mental health ini tidak menjadi prioritas di negara Filipina. Apakah ini juga persoalan di Indonesia?
Menurut saya, semua profesi seperti psikolog, guru, dan lain sebagainya ini harus bekerja secara seirama. Dan yang utama dilakukan adalah bagaimana bersama-sama memberi pemahaman kepada pemerintah bahwa soal mental health ini merupakan persoalan besar bagi keberlanjutan bangsa.
Berbicara tentang pekerja sosial, sebetulnya sudah ada beberapa pendidikan formal, misalnya STKS di Bandung. Dan sebetulnya pekerja sosial ini cukup diperhatikan oleh pemerintah, buktinya di Depsos ada banyak pekerja sosial yang merupakan PNS. Untuk ke depan sebetulnya diharapkan pekerja sosial ini tersebar di banyak lembaga, baik sekolah, RS, dll.
Diskusan 8:
Menanggapi Ibu Tyas, tentang beberapa bidang yang menjadi masalah mental health. Saya kuatir berbagai masalah ini menjadi tidak menarik isunya, baik bagi masyarakat maupun kalangan profesional. Sehingga tidak banyak yang mau menanggapi. Sebetulnya saya berharap, bahwa persoalan-persoalan ini tidak hanya dibicarakan, namun juga ditangani sebagai persoalan mental health.
Ada baiknya para profesional untuk terjun langsung dan melihat persoalan di masyarakat. Kita harus masuk ke dalam kelompok-kelompok marjinal yang rentan terhadap persoalan jiwa ini, sehingga dapat lebih mengenal kebutuhan mereka. Saya rasa, itu yang masih kurang dilakukan sampai saat ini.
Saya coba melihat, ada beberapa faktor yang menjadi fokus masalah mental health ini. Ada faktor kemiskinan, bukan hanya miskin secara ekonomi namun juga miskin terhadap berbagai akses kehidupan, seperti yang dialami oleh para pengungsi dan masyarakat pedalaman.
Kemudian persoalan kelompok-kelompok yang menyatakan diri sebagai kelompok yang punya kekuatan, seperti para pekerja sosial, psikolog, dan psikiater yang bekerja untuk menangani kesehatan jiwa, justru pada kenyataannya rentan terhadap masalah kesehatan jiwa. Menurut saya ini membuat persoalan menjadi semakin rumit.
Diskusan 9:
Saya tertarik pada cerita pengalaman dua panelis yang mengalami periode-periode sulit.
Dalam pengalaman saya, kata-kata jiwa sangat abstrak maknanya dan kurang dipahami masyarakat. Saya pernah bertanya pada 200 psikiater muda mengenai apa yang mereka ketahui tentang jiwa, dan jawabannya adalah kebingungan. Apalagi untuk masyarakat awam.
Jadi, kata jiwa ini perlu dijelaskan secara lebih mendalam. Ada kecenderungan bahwa saat berada di daerah konflik, akan terjebak penyakit, disorder. Padahal sesungguhnya sederhana saja untuk menjelaskan jiwa itu, bukankah untuk tersenyum itu dibutuhkan jiwa.
Persoalan pengungsi di Tim Tim tadi dikatakan tidak akan pernah selesai. Mungkin memang tidak akan selesai. Karena memang terdapat kerumitan di sini. Kemudian juga untuk Mama Aleta yang sebetulnya keinginannya sederhana saja, yaitu ingin mendapat rasa sayang, rasa aman dalam hidupnya. Namun ternyata di lapangan dengan berbagai aktor dan kepentingan serta kebiasaan, keinginan sederhana ini menjadi rumit.
Diskusan 9:
Menurut saya, kedua panelis ini merupakan pejuang, karena masing-masing memiliki kepedulian terhadap masyarakat di daerahnya. Mereka peduli untuk memikirkan masa depan generasinya. Rasa kepedulian seperti inilah sebetulnya yang semakin terkikis di mana-mana saat ini, terutama di kota-kota. Dan ini sebenarnya merupakan masalah bagi kesehatan jiwa.
Dalam hal profesi yang berkaitan dengan kesehatan jiwa, ada perawat kesehatan jiwa di sini yang perlu diperhatikan. Para perawat merupakan kelompok yang sebenarnya termarjinalkan. Walaupun secara pendidikan sudah tinggi, namun dari pemerintah tidak ada bantuan pembiayaan untuk pendidikan S1 dan selanjutnya bagi perawat.
Di masyarakat sekitar kita masih banyak penderita kesehatan jiwa yang penanganannya dengan cara dipasung, padahal domisilinya dekat dengan RSJ. Ini satu persoalan sesungguhnya. Dengan begitu banyak persoalan, kita perlu memikirkan bagaimana masalah kesehatan jiwa ini menjadi persoalan bersama, baik bagi dokter, petugas sosial, maupun psikolog dan psikiater.
Diskusan 10:
Bila diperhatikan kegiatan sehari ini, sesi pertama pagi tadi perbincangannya lebih di sisi psikologi, sementara sesi kedua lebih membicarakan dampak sosial yang menimbulkan masalah psikologi. Di sini ada keinginan antara pekerja sosial, psikolog dan psikiater untuk bekerja bersama. Sebenarnya, sejak dulu di RSJ ada kewajiban, ada peran psikososial. Sekarang ini RSJ tidak lagi custodial, tapi biomedikal-psikososial. Saya sendiri sebetulnya kebingungan, saya ingin berbuat, tapi bagaimana caranya.
Saya akui, saya masih custodial. Pada tahun 1999, terjadi masalah sosial yang berdampak psikologis, ada masalah kerusuhan etnis. Pada saat itu semua berharap RSJ bisa berbuat sesuatu. Saya sampai pada satu pencerahan, lewat buku Community Psychiatry. Menurut saya, Pak Kadir hebat sampai bisa menurunkan board dari RS. Lewat pengalaman ini, akhirnya saya mengenal assertive community treatment (ACT). Ini satu alat yang bisa membuat saya mampu bekerja di komunitas. Melalui kesempatan ini, saya ingin mengajak kawan-kawan RSJ untuk bekerja dengan pendekatan ACT ini.
Diskusan 11:
Semakin lama saya merasa bertambah bingung. Barangkali kita perlu menanggalkan semua seragam kita untuk berani bergerak bersama dan menghadapi tantangan di depan kita. Barangkali di sini tidak hanya sekedar wacana-wacana yang dibicarakan, namun juga harus menjadi realitas untuk bisa dikerjakan.
Diskusan 12:
Saya mengapresiasi dua panelis di depan tentang realita di daerah. Saya pikir sudah saatnya kita harus mulai membicarakan problem solving, dan cukup berbicara tentang berbagai masalah kita. Ada banyak masalah-masalah kesehatan jiwa di sekitar kita yang sebenarnya menakutkan dan harus diselesaikan. Kalau ada yang mau aksi, apa yang harus dilakukan secara konkrit. Namun, sebagai pekerja kesehatan yang sebetulnya seharusnya bersikap paling waras, sebaiknya jangan melakukan hal yang anarki. Jika aksinya kemudian kita ingin memunculkan ikon, siapa dan seperti apa ikonnya. Atau yang terakhir adalah memformulasikan, jangan sekedar mencatat dalam bentuk notulensi yang kemudian ujung-ujungnya malah disimpan. Kita harus membicarakan apa yang harus dilakukan bersama segera.
Diskusan 13:
Kita harus melebur bersama dan punya terminologi yang jelas dalam bidang kita. Seperti pengalaman penelitian kami, yang paling mendasar diputuskan kuesioner apa yang digunakan agar lebih mudah diterapkan pada masyarakat oleh para pekerja di lapangan. Sesungguhnya ada banyak kesulitan dalam penelitian di lapangan terhadap masyarakat yang malah mengurangi kualitas ilmiah penelitian. Yang paling ekstrim kemudian berpikiran untuk menghilangkan saja ilmu jiwa dan menggunakan biomolekul atau biomedis untuk mendiagnosa masyarakat berkaitan dengan mental health.
Kemudian, masukan untuk jurnal baru, supaya ada akreditasi dari satu lembaga, entah dari LIPI atau DIKTI untuk jurnal ini.
Diskusan 14:
Zaman dulu hidup susah dengan adanya perang, untuk makan mengalami kesulitan. Tapi dulu, support system-nya bagus, kekeluargaan bagus, hubungan sosial bagus, sehingga kesulitan hidup masih bisa ditanggulangi. Ini yang sulit pada masa sekarang. Dulu pemerintah punya slogan kesetiakawanan sosial. Jadi, menurut saya, sebaiknya kita pikirkan bagaimana cara mendorong kesetiakawanan antar manusia, misalnya dengan mengupayakan berbagai kegiatan dalam hal orientasi spiritual dan seni. Bila kesetiakawanan sudah terpupuk, tentunya masyarakat bisa saling mendukung dalam masa sulit.
Diskusan 15:
Mama Aleta membuat saya hampir menangis melihat kondisinya. Membuat kita bertanya, bagaimana cara membantu Mama Aleta ini? Apa dia akan dipulangkan saja ke Kupang dengan segala kondisinya yang sulit, dan kita pulang ke rumah dengan tanpa beban. Begitu juga dengan Winston. Apa yang harus diperbuat?
Mereka tidak membutuhkan sanjungan atau penghargaan. Yang mereka butuhkan adalah jejaring macam apa yang bisa diberikan pada mereka. Mereka membutuhkan kontribusi yang praksis. Kita tidak perlu berdebat soal terminologi lagi. Jangan karena alasan metodologis kita tidak bicara hal praksis. Saya minta, kita berbicara lebih mengerucut dan konkrit. Pak Pandu tadi meminta kita menjadi simpul dari berbagai jejaring. Jadi, sekarang masih ada waktu bagi kita untuk berbicara lebih mengerucut dan praksis tentang apa yang akan kita lakukan.
Moderator
Menyambung pembicaraan terakhir, dugaan saya, sekarang ini sebetulnya kita bisa sampai jadwal tentatif yang sederhana. Misalnya, saya bisa tahu telepon Mama Aleta dan di mana menemuinya, sehingga setiap orang kemudian akan dapat menentukan sendiri bantuan apa yang bisa diberikan pada Mama Aleta dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Namun saya mengusulkan dua wilayah kegiatan berdasarkan desain yang orang-orang yang diundang dan hadir, yaitu psikolog dan akademik. 99% sebetulnya berasal dari profesi psikolog dan psikiater.
Kalau dua wilayah ini bisa jadi wilayah contoh, risetnya kolaboratif. Misalnya, saya mengundang kawan-kawan di Atmajaya untuk membicarakan dua wilayah ini sebagai long term reasearch agenda di Indonesia, umpamanya selama 5 tahun.
Ini penawaran dari kita. Seandainya ada ide konkrit lain yang lebih sederhana, silahkan diungkapkan. Jejak Jiwa tidak sama dengan national institutional health, namun merupakan jejaring. Sehingga merupakan simpul dari berbagai lembaga dan profesi yang masing-masing punya power. Sepertinya kita ingin melakukan terlampau banyak, namun kapasitas kita tidak ada. Namun sebetulnya sederhana saja, pilih pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas kita.
Road map merupakan percobaan kita untuk membuat mapping mengenai apa yang bisa kita lakukan sesuai dengan kapasitas kita. Kemudian silakan untuk membicarakan secara konkrit tentang desain proposal penelitan kita.
Diskusan 16:
Sudah jelas sekarang, tidak perlu lagi kita bicara soal psikiater dsb. Namun sebagai manusia, kita bisa berbuat sesuatu. Kegiatan-kegiatan Jejak Jiwa ini adalah investasi untuk masa mendatang, bukan untuk kita.
Diskusan 17:
Sebetulnya ketika Pak Pandu, dkk menyusun kerangka acuan, tentunya sudah dengan pertimbangan. Mas Yoyok sudah mulai mengusulkan membuat satu riset. Kami sangat peduli soal ini. Bagaimana kalau kita mulai dari satu gugus kerja. Karena kita semua terdiri dari berbagai profesi, baik psikolog, social worker, psikiater, akademisi, dll.
Diskusan 18:
Dalam kondisi Mama Aleta, bayangan saya masyarakatnya penuh dengan depresi. Pada masa itu apakah ada orang yang membantu? Beranjak dari situ, mungkin Mama Aleta bisa memikirkan dan membawa oleh-oleh kira-kira apa yang bisa dilakukan mengenai persoalan ini. Masukan-masukan apa yang bisa dibawa Mama Aleta untuk membentuk kelompok-kelompok agar lepas dari masalah depresi itu di sana.
Diskusan 19:
Kita memasuki acara 2 hari ini sudah lebih terorganisir, dengan berhasil menerbitkan jurnal Ataraxis. Banyak sekali kekurangan dalam kegiatan yang sudah dilakukan, namun sudah ada buktinya. Kalau kita selesai kegiatan hari ini, tentu harus ada follow-up-nya. Ada beberapa alternatif action plan. Sebaiknya ada komitmen dari peserta untuk mengikatkan diri sebagai simpul jejaring. Ini menjadi saran kita untuk melangkah lebih jauh. Tak mungkin kita menyusun action plan tanpa terhubung terlebih dahulu. Setelah ada komitmen, kita bisa membuat electronic conference. Di situ kami akan melempar action plan untuk melangkah bersama, apa yang akan dilakukan untuk menghadapi persoalan-persoalan yang muncul. Konferensi itu akan menghasilkan tindakan-tindakan. Setiap tindakan itu akan kita olah dan menjadi isu dari jurnal-jurnal selanjutnya, untuk kemudian dilempar kembali dan memperoleh masukan, kemudian dievaluasi.
Diskusan 20:
Kemarin saya baca majalah dari WHO tentang Health Promoting School. Mungkin kita bisa melakukan Mental Health Promoting School. Saya merasa kita terlalu banyak bekerja di RS, dan saya senang diajak kemari sehingga bisa bekerja bukan hanya di klinik saja. Sehingga pekerjaan kita bisa lebih meluas, agar kemudian hari Indonesia Sehat bisa terwujud. Apapun yang bisa dilakukan oleh kita masing-masing kemudian disebar lewat e-mail, dan menjadi contoh buat yang lain-lain.
Diskusan 21:
Sangat luas pembahasan di sini. Kita semua setuju dan menghargai apa yang dilakukan Jejak Jiwa sampai saat ini. Saya rasa semua ini diperlukan selain berbagai kegiatan klinis di bangsal-bangsal RS.
Sebagai psikiater, saya merasa ada sedikit kecemburuan terhadap psikiater yang seolah menjadi profesi nomor satu di bidang ini. Padahal, masalahnya sebetulnya adalah soal birokrasi dan pandangan yang salah.
Cerita pengalaman yang dikemukakan oleh panelis sesungguhnya menggambarkan bahwa persoalan non klinis jauh lebih besar dari masalah klinis. Sebetulnya di sekitar kita banyak terjadi masalah non klinis juga. Penyelesaian masalah mental health seperti ini tidak bisa diselesaikan oleh satu profesi, namun perlu pemikiran bersama untuk menyelesaikan semua persoalan ini.
Gangguan kesehatan jiwa tidak dapat dideteksi secara fisik. Belum ada alat untuk itu sampai saat ini. Penelitian merupakan satu hal yang dapat kita lakukan untuk menciptakan instrumen tentang mental health ini. Kita butuh task force yang bekerja terus-menerus, secara suka rela. Di situ kekuatan kita, mewakili berbagai profesi dan institusi yang berbeda, dari representasi yang berbeda. Bukan aktivitas yang berbau penelitian, yang sebetulnya lebih kompleks.
Kalau berbicara soal kekuatan kita sebagai satu pressure group, sesungguhnya penerbitan jurnal ini sudah baik. Namun harus ada juga pengamatan-pengamatan dan kajian-kajian terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan mental health. Seperti halnya yang dilakukan LSM. Menurut saya, peniruan kegiatan seperti ini bagus juga dilakukan.
Konkritnya, kita membutuhkan satu working group yang bisa lebih praktis secara rutin membicarakan isu-isu dan mengundang peran aktif yang dinamikanya lebih hidup.
Diskusan 22:
Saya sekedar ingin bertanya, kalau seseorang melakukan persoalan yang berkaitan dengan kriminal, mereka akan mencari pengacara; Persoalan keamanan, mencari polisi; Kalau sakit, mencari dokter. Bagaimana kita menyikapi satu keadaan stress yang sangat tinggi, saya harus pergi ke mana?
Diskusan 23:
Kita sedang mereformasi sistem kesehatan jiwa. Kita melakukan reformasi pelayanan kesehatan jiwa. Kalau seseorang berbau mengalami gangguan kesehatan jiwa, ada leveling di situ. Penanganan penderita ini ada self care, family, komunitas, dst. Pelayanannya berjenjang.
Di Aceh, 40% pasien gangguan jiwa seharusnya sudah di-discharge, setelah dievaluasi. Kita harus melakukan realokasi berbagai resource untuk melakukan ini. Di negara maju, alokasi dukungan untuk kesehatan jiwa sebesar 60-90%. Hanya beberapa penderita tertentu yang ada di RS. Di Aceh alokasi SDM jadi masalah, psikiater tidak punya wewenang untuk menempatkan orang.
Moderator:
Ketiga panelis awal diberi kesempatan untuk memberi komentar. Kemudian saya mengusulkan untuk menjaring usulan-usulan yang tadi sudah dilontarkan kawan-kawan.
Mama Aleta:
Saya bingung aktivitas saya dikaitkan dengan sakit jiwa. Pada awalnya saya hanya diminta menyampaikan cerita. Namun, setelah beberapa usulan dari peserta, sudah mulai jelas. Selama ini kita selalu memisahkan kesehatan jiwa dengan lingkungan seperti yang kami alami. Tapi, saya tidak tahu, apakah kita harus terjun langsung seperti yang saya lakukan, atau membuat RSJ. Saya tidak tahu seperti apa yang harus dilakukan.
Pada akhirnya ada ide yang cukup menarik. Saya harap para dokter jangan hanya bekerja di Jakarta, karena di NTT belum ada dokter khusus menangani kesehatan jiwa. Di NTT banyak kasus yang dininabobokan. Kita harus masuk ke dalam NTT, baru bisa tahu. Bukan hanya di daerah bencana, namun juga di NTT. Karena di NTT persoalannya mungkin jauh lebih jahat dibanding bencana.
Winston:
Pertama, refleksi sebagai pekerja di daerah post-konflik, bahwa pendekatan pembangunan dan bantuan kemanusiaan masih belum adil, antara yang bersifat pemenuhan fisik maupun kesehatan jiwa. Ketidakadilan ini dilakukan secara bersama. Ini refleksi kami.
Kedua, kalau kita bertanya pada para janda tentang harapannya di masa depan, biasanya mereka menjawab, ’jangan lupakan kami, perlakukan kami sebagai manusia seutuhnya’.
Ketiga, di masyarakat Tim Tim tatkala menyambut teman, kami menerima dengan tangan terbuka. Jadi bapak ibu dari berbagai profesi di sini, panggung bantuan kemanusiaan ada banyak tersedia di sana. Silakan membantu dalam bentuk apapun.
Tyas:
Ada 4 hal yang betul-betul ingin dikerjakan:
Pertama, ada persoalan profesi di antara kita. Kita perlu memperhatikan hal ini, agar kita bisa benar-benar duduk setara dan bekerja sama.
Kedua, berkaitan dengan kegiatan sosial yang riil, kita turun gunung langsung ke lapangan. Masalahnya, apa sesuai dengan kapasitas masing-masing dan sesuai dengan prioritas pekerjaan.
Ketiga, membutuhkan riset. Perlu mengkomunikasikan topik-topik apa yang menjadi prioritas kita. Ada dua poin yang bisa kita pikirkan bersama berkaitan dengan usulan moderator.
Keempat, jejaring kita harus membangun milis untuk selalu meng-update apa yang dilakukan kelompok-kelompok simpul.
Moderator:
Ada praktek sosial dan institusional untuk mendorong para praktisi bekerja. Bukan hanya tiga profesi yang sebagian besar hadir di sini, tapi juga profesi lain. Misal urban planner, mungkin perlu kita ajak dalam prakteknya, untuk diingatkan.
Ada dua wilayah dalam profesi yang perlu diingat, harus ada demokrasi dan well being, supaya tidak ada yang merasa dianaktirikan.
Sisi lain, soal milis perlu didesain sedemikian rupa, jangan menambah tumpukan e-mail dari berbagai milis yang diikuti. Misalnya saja membuat electronic conference supaya lebih fokus perbincangannya.
Soal education dan research, masing-masing kita tentukan objektifnya. Yang perlu diingat, harus ada terobosan. Usul saya, kita membaca kemungkinan cross-listing antara riset agenda dari institusi, misalnya universitas, dengan jejaring.
Ketiga, harus ada terobosan dalam metode dan prakteknya. Kita memerlukan kerja sama. Harus ada cara-cara baru dalam mengakses satu wilayah misalnya, agar tidak terjadi blunder.
Saya pernah mengelola satu konferensi, dan di situ orang cepat patah arang, karena 70% waktu digunakan untuk berbicara lebih banyak di ruang maya. Menurut saya, kita harus mulai bekerja lebih riil, jadi dunia maya hanya digunakan untuk komunikasi.
Diskusan 24:
Kita punya insight baru soal profesi-profesi kita. Saya belajar banyak di sini. Banyak hal yang dibicarakan seperti benang ruwet, namun ada banyak hal yang bisa kita ambil rumusannya. Kita coba cari cara untuk berkomunikasi.
Tema yang kita pilih hari ini sepertinya agak mencapai sasarannya. Dalam membicarakan persoalan sosial ini, mungkin kita bisa mendapat pelajaran untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas kita dalam memberi pelayanan di bidang mental health, yang tidak bisa kita dapat di bangku pendidikan formal kita.
Diskusan 25:
Forum ini harus bisa mengambil tindakan untuk Mama Aleta, bila tidak saat ini mungkin dalam waktu dekat. Apapun tindakannya. Yang bisa meringankan penderitaan teman kita di daerah konflik ini. Kita harus masuk ke akar rumput, tidak melayang-layang di udara. Kita harus memikirkan tindakan riil dalam waktu dekat yang tidak sampai satu bulan.
Diskusan 26:
Mama Aleta ini satu orang. Ada banyak orang yang terlibat dalam kasus yang hampir serupa di Indonesia ini. Kita harus meningkatkan kapasitas dan keinginan untuk mendengarkan dan mencermati kondisi orang di lapangan. Pendekatannya bisa secara sistemik. Kita harus menjaga komitmen ini. Mudah-mudahan bisa diimplementasikan dalam berbagai cara dikemudian hari.
Notulensi
The 1st Seminar Lecture Series & Round Table Discussion
“THE DEMAND ON SOCIAL LEARNING”
Jakarta, 26 Oktober 2007
Pembicara pertama
Sri Palupi
“Kemiskinan, Solidaritas dan Gangguan Jiwa”
Selama beberapa tahun, ada tiga wabah yang menyebabkan kematian dalam jumlah besar. Ini berdasarkan berita setiap hari yang dicover oleh media. Ketiga wabah itu adalah:
Berbicara soal kemiskinan, bisa dikatakan bahwa orang miskin punya dua pilihan dalam hidupnya, yaitu bunuh diri atau kelaparan. Mungkin bisa ditambah satu pilihan yaitu gila. Karena itu busung lapar dan kemiskinan diangkat dalam presentasi ini sebagai wabah kematian.
Beberapa contoh kasus bunuh diri yang dilakukan kaum miskin adalah:
Kalau dilihat dari angka kasus bunuh diri yang dilaporkan pada polisi, di Jakarta tahun 2003 ada 62 kasus, tahun 2004 38 kasus, tahun 2005 68 kasus, tahun 2006 melonjak 101 kasus. Dilihat dari kasus bunuh diri ini, kita bisa lihat bahwa masyarakat sedang terganggu jiwanya. Ini terjadi karena ada problem di tingkat individu, keluarga, juga masyarakat. Kita bisa lihat sekarang ini kendornya hubungan sosial, benturan kebudayaan, meningkatnya nilai materialisme dan individualisme. Ini menyebabkan ketidakpedulian sebagian besar masyarakat terhadap penderitaan orang lain.
Di beberapa kabupaten yang terkena busung lapar cukup tinggi, saat diangkat ke permukaan malah timbul pertanyaan dari masyarakat kabupaten itu: “kenapa soal busung lapar diangkat? Padahal ‘kan sudah biasa”. Jadi, yang mengerikan bukan persoalan busung laparnya sendiri. Tetapi sikap komunitas bahkan pemerintah yang melihat bahwa ini merupakan hal biasa.
Selain problem di ketiga level individu, keluarga, dan masyarakat, yang mengindikasikan masyarakat sedang terganggu jiwanya, terjadi problem di tingkat keempat yang paling tinggi yaitu negara, dimana pemerintah gagal melaksanakan kewajibannya untuk mensejahterakan rakyat.
Kondisi masyarakatyang terganggu jiwanya juga dapat diukur dengan cara lain. Misalnya dengan melihat gambaran prioritas alokasi pendapatan secara global pada tahun 1998 (lihat file presentasi untuk angka pasti). Terdapat perbandingan yang sangat tidak seimbang antara kebutuhan primer dan sekunder bahkan tersier. Jadi, secara sosial dan secara struktural masyarakat kita sedang terganggu jiwanya, jika melihat perbandingan angka-angka alokasi pendapatan itu.
Sekarang pertanyaannya, di Indonesia sendiri bagaimana? Kenapa Indonesia gagal mengatasi kemiskinan. Kita bisa melihat juga data-data alokasi pendapatan di Indonesia:
Pada tataran global kita bisa melihat liberalisasi ekonomi yang menyebabkan kesenjangan kaya dan miskin yang begitu mencolok. 40% penduduk dunia hanya menguasai 5% pendapatan dunia. Sementara 10% orang terkaya dunia menguasai 54% pendapatan global. Ini akar struktural dari munculnya gangguan jiwa.
Kalau kita melihat di pedesaan dan perkotaan, ruang-ruang kehidupan itu banyak diwarnai oleh konflik antara pemodal dan kaum miskin. Di Jakarta saja tahun 2001-2005 terjadi 86 kasus penggusuran pemukiman miskin dan 74 PKL. Tahun 2006 meningkat menjadi 146 pemukiman miskin. Dari sini kita bisa memahami penyebab para PKL yang bunuh diri, karena memang setiap hari dikejar-kejar penggusuran.
Dulu orang miskin punya daya tahan yang sangat bagus. Bisa dikatakan begitu, karena pada masa konglomerat banyak yang stress, orang miskin punya kreativitas sendiri untuk bertahan hidup. Tapi sekarang, mekanisme survival untuk menghadapi kemiskinan itu sudah hancur. Dulu, dalam menghadapi penggusuran, ibu-ibu bisa menghadang dengan telanjang, anak-anak ditaruh di garis depan, sehingga penggusuran tidak terjadi. Namun sekarang strategi-strategi seperti itu sudah tidak mempan lagi. Perempuan atau anak-anak menghadang pasti tetap diterjang.
Perkembangan di Jakarta yang bisa kita lihat bersifat materialisme, di mana-mana pasar tradisional tergusur oleh pasar modern yang dibangun untuk memenuhi hasrat konsumerisme. Dampaknya, ruang pasar tradisional menurun, begitu juga ruang untuk pemukiman masyarakat marjinal. Banyak keluarga yang terpaksa tidur di tenda-tenda dan kolong-kolong jembatan akibat terjadinya penggusuran-penggusuran.
Itulah gambaran gangguan jiwa struktural yang terjadi baik lokal, regional, maupun nasional. Jadi bukan masyarakat miskin yang mengalami gangguan jiwa, namun semuanya.
Sesi Tanya Jawab
Pak Maman
Melihat dan mencermati penyampaian, pengambil kebijakan menderita gangguan jiwa. Lalu konsep apa yang dimunculkan supaya pengambil kebijakan tidak lagi mengalami gangguan jiwa?
Jawab:
Harus ada gerakan bersama untuk menyelesaikan gangguan jiwa itu. Karena bukan hanya pengambil kebijakan yang mengalami namun seluruh masyarakat juga mengalami persoalan itu. Harus ada gerakan bersama untuk menyatukan semua jiwa itu. Tak ada cara lain lagi. Harus ada kerja bersama untuk mengatasi gangguan jiwa bersama ini.
Gus Rosavarina
Sepertinya di sini masalah kemiskinan menjadi masalah pokok. Ini sulit diatasi. Orang miskin selalu diperlakukan sebagai objek yang marjinal. Upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk mengatasi ini. Upaya yang realistis apa harus dilakukan sehingga para pengambil keputusan ini bisa mengambil tindakan yang tepat.
Jawab:
Seperti yang sudah disampaikan, kita tidak bisa bergantung sepenuhnya pada hutang. Ketergantungan pada hutang sangat besar. Jadi, sesungguhnya jika kita ingin menghapus persoalan secara struktural kita harus berani menghapus hutang yang tidak sepenuhnya ditimbulkan oleh kita, sebagian besar di antaranya merupakan warisan sejarah. Itu persoalan struktural.
Kita tidak bisa sepenuhnya bertumpu pada pemerintah. Kembali pada persoalan gangguan jiwa, jika kita ingin menyelesaikannya berarti harus mulai dari yang waras. Kita harus mencoba melihat dan mencari terobosan mengatasi persoalan ini. Jika melihat tingkat gangguan jiwa mulai dari individu sampai pengambil kebijakan, artinya memang harus ada kerja bersama. Pada gerakan bersama, dengan berjejaring, di level manapun kita berada, ada satu titik di mana pasti ada sesuatu yang bisa dilakukan.
Misalnya saja, saat melakukan riset busung lapar di NTT, ternyata masyarakat memiliki potensi untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. Celakanya, potensi-potensi masyarakat itu seringkali dihancurkan oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat dengan tidak mengenali potensi-potensi yang ada dalam masyarakat itu.
Ada banyak gerakan yang peduli untuk mengatasi masalah ini. Kita hanya harus membuka mata. Yang harus dilakukan adalah bagaimana cara menyambungkan pulau-pulau gerakan yang tersebar untuk membangun kepedulian masyarakat. Itu satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan struktural ini.
Tedi (RSHS)
PBB mencanangkan pada tahun 2015 kemiskinan harus turun 50%. Pemerintah juga sudah mencanangkan berbagai program berkaitan dengan ini termasuk di RS kami. Apa betul antara kemiskinan dan gangguan jiwa ini ada hubungan? Siapa tahu yang miskin karena sudah terbiasa miskin jadi merasa tidak ada masalah dengan itu.
Jawab:
Ada program internasional, millenium development goal, sebuah komitmen internasional untuk mengurangi masalah kemiskinan menjadi separuhnya pada tahun 2015. Persoalannya, Indonesia ini merupakan salah satu negara yang paling gagal dalam mewujudkan tujuan menghapuskan kemiskinan. Karena, salah satunya program untuk mencapai MDG tadi lebih banyak ditujukan untuk charity, seperti BLT, raskin, dll. Tapi, pada titik kebijakan strukturalnya lebih banyak meningkatkan kemiskinan atau mempermiskin orang dan menambah jumlah miskin.
Mengapa pemerintah sudah banyak berbuat tapi kurang hasilnya. Kita lihat saja contohnya, kasus busung lapar, sekian milyar sudah dikeluarkan tapi hasilnya masih kurang. Tidak mencapai 25% saja. Untuk meningkatkan gizinya saja tidak mampu. Persoalan busung lapar ini persoalan struktural.
Satu contoh lain, misalnya satu program yang sangat strategis dari pemerintah adalah program revitalisasi pos yandu. Namun, program ini sekarang mati, sekarang ini pos yandu bukan milik masysrakat. Yang dilakukan dalam revitalisasi pos yandu yang dilakukan adalah memperbanyak timbangan, mencetak banyak Kartu Menuju Sehat, merekrut banyak kader. Namun, ketika menimbang anak misalnya, setelah selesai ditimbang, si anak kembali ke rumah, dan selesai sudah. Kalaupun ada masalah, misalnya si anak busung lapar, si anak kekurang gizi, paling jauh diberi saran, lalu kembali ke rumah. Tidak ada penanganan masalah secara komunal. Dulu di NTT, jika di satu kampung terdapat satu anak yang busung lapar, satu kampung akan merasa malu. Saat ini perubahannya luar biasa. Bukan lagi masyarakat tidak merasa malu, namun masyarakat merasa sudah biasa dengan masalah itu. Jadi, kita lihat, sekarang ini tidak dibangun satu kebersamaan masyarakat untuk menyelesaikan satu kasus kemiskinan.
Dulu daya tahan orang miskin dalam menghadapi tekanan sangat luar biasa. Namun sekarang pertanyaannya mengapa orang miskin banyak yang bunuh diri. Artinya tekanan terhadap orang miskin sekarang ini jauh lebih besar daripada dulu. Karena bahkan anak-anak sudah merasa tertekan karena kemiskinan sampai memutuskan untuk bunuh diri. Fenomena gangguan jiwa masyarakat kita ini sudah begitu dalam.
Pandu (moderator):
Cukup banyak studi yang mengkaitkan kemiskinan dengan gangguan kesehatan jiwa. Apa yang disampaikan barusan menjadi pemikiran kita apakah betul hipotesis Sri Palupi bahwa orang miskin ini makin lama makin mendapat tekanan yang berat dan ruang yang sempit, tidak mempunyai opsi, sehingga tidak mampu bertahan.
Sedikit penjelasan tentang pertemuan ini, bahwa sebetulnya pertemuan ini ingin memperlihatkan pada teman-teman dari profesi psikolog dan psikiater bahwa sesungguhnya persoalan kesehatan jiwa ini juga menjadi perhatian dari teman-teman profesi lain.
Pertemuan ini digagas oleh satu LSM yang namanya Jejak Jiwa. Sudah lama tapi mati suri. Sekarang mencoba bergerak lagi. Jejak Jiwa ini gerakan kesehatan jiwa. Gerakan ini bukan satu organisasi, namun sebagai suatu jejaring dari banyak simpul yang saling berkomunikasi dan berkolaborasi.
Beberapa hal yang mendasari gerakan Jejak Jiwa adalah: Pertama, ada kegelisahan dari kita semua, bahwa masalah kesehatan jiwa adalah masalah besar dan masalah kita bersama.
Kedua, ada kesadaran bersama untuk membicarakan modal kekuatan bangsa dan segala potensinya. Kita belum organisir ini secara sistematik. Hampir semua pejabat kesehatan menyatakan kesehatan jiwa penting.
Ketiga, kita lumayan lambat belajar dibanding teman-teman lain, bahwa kesehatan jiwa multi-dimensi dan mewajibkan kepedulian di semua profesi disiplin. Ini merupakan masalah professional dan non-profesional.
Jejak Jiwa berangkat dari sini. Jejak Jiwa sudah menyelenggarakan beberapa pertemuan nasional mengenai kesehatan jiwa. Pada pertemuan nasional yang kedua dibicarakan soal investasi dalam kesehatan jiwa berkaitan dengan keberlanjutan bangsa. Pada pertemuan ketiga tahun 2003, kajiannya menegaskan kesehatan jiwa sebagai hak asasi manusia. Pada tahun 2006, Jejak Jiwa mencoba merumuskan apa saja yang harus dikoreksi. Apakah telah melakukan hal-hal yang semestinya dilakukan? Jejak Jiwa mencoba memetakan dan melist semua hal tersebut. Kemudian membuat agenda pembelajaran bersama, dengan mencoba mencari di luar dinding rumah sakit, dengan membangun ruang-ruang diskusi dan komunikasi. Dan kemudian mencoba membuat empat kuadran. Setiap yang tergabung dalam Jejak Jiwa merenungkan kapasitas dan potensi serta apa yang bisa dilakukan masing-masing dalam masing-masing kuadran. Ini belum sesuatu yang final.
Program Jejak Jiwa sampai tahun 2009 yang ingin dilakukan adalah: Pertama, seperti yang sekarang sedang dilakukan adalah internasional lecture series tentang kesehatan jiwa. Kedua, publikasi. Kita sudah menerbitkan Journal of Mental Health. Ketiga, research. Riset tentang kesehatan jiwa sangat sedikit yang sudah dilakukan. Di Indonesia agak jarang yang datanya kuat. Kita perlu memikirkan agenda-agenda riset pada berbagai level. Keempat, menurut catatan terakhir gerakan jiwa ini tidak begitu berkembang, kita perlu digembleng dalam hal leadership dan mental health. Baik yang bergerak di bidang pelayanan maupun training.
Jurnal motonya adalah inviting and provoking, mengundang dan memprovok untuk mengkaji ulang asumsi-asumsi yang sebetulnya merupakan mitos tentang kesehatan jiwa.
Hari ini tema yang dipilih adalah ”The Demand on Social Learning”. Ini untuk memperkaya pemikiran kita dengan membuka ruang sebanyak-banyaknya, untuk membuka sekat-sekat profesional dan institusi. Pada pertemuan ini akan ditentukan agenda-agenda untuk tahun depan.
Notulensi
The 1st Seminar Lecture Series & Round Table Discussion
“THE DEMAND ON SOCIAL LEARNING”
Jakarta, 26 Oktober 2007
Lecture 1: Thailand
Mr. Sompong Kirdsaeng
“The Association for Mentally Ill”
Perkenalan dari moderator:
Di Thailand perhatian terhadap kesehatan jiwa sangat tinggi. Ada dirjen kesehatan jiwa di sana. Sementara di Indonesia hanya ada direktur bina kesehatan jiwa. Raja Thailand memiliki perhatian yang besar pada psikososial. Mr. Sompong Kirdsaeng akan memberikan lecture tentang kegiatan yang dilakukannya untuk kesehatan jiwa di Thailand, sebagai wakil dari perkumpulan keluarga yang memiliki anggota dengan kesehatan jiwa terganggu. Jejak Jiwa sudah kehilangan hubungan dengan empat perkumpulan keluarga kesehatan jiwa di Indonesia, di antaranya yang berasal dari kota Pontianak dan Ciamis. Mr. Sompong ini adalah wakil dari perkumpulan keluarga di Thailand. Kelompok keluarga ini juga bekerja sebagai pressure agar negara menganggarkan dana yang memadai untuk masalah kesehatan jiwa.
Mr. Sompong Kirdsaeng: “The Association for Mentally Ill”
The Association for Mentally Ill telah bekerja selama 40 tahun untuk kesehatan jiwa. Presentasi dimulai dari pembentukan asosiasi ini. Dari pengalaman rumah sakit jiwa menangani para pasien, setelah dirawat dan dinyatakan sehat dan kembali ke rumah, ternyata sebagian besar mereka kembali ke rumah sakit jiwa. Sehingga kemudian para profesional menyusun program untuk melatih anggota keluarga pasien bagaimana cara merawat pasien.
Topik pertama dalam pelatihan adalah membuat orang normal memahami tentang kesehatan jiwa.
Topik kedua adalah bagaimana cara merawat pasien di rumah. Misalnya soal memberi obat secara rutin. Biasanya pasien tidak suka obat. Mereka akan membuangnya atau menyembunyikannya. Di sinilah letak tanggung jawab kerabat terdekatnya, yaitu untuk memastikan konsumsi obat oleh pasien secara teratur.
Topik lain adalah kerabatnya harus membawa pasien ke dokter untuk konsultasi.
Topik selanjutnya adalah tentang komunikasi antara kerabat dan pasien. Biasanya kerabat akan berpikir bahwa setelah sembuh pasien akan dapat hidup normal kembali. Namun pada kenyataannya, dalam beberapa tahap ada kemungkinan mereka tidak ingin berhubungan dengan masa lalunya yang mereka anggap buruk. Para kerabat mungkin tidak melihat ini. Di sinilah terjadi jurang.
Dia biasa bertanya pada pasien mengenai apakah mereka ingin tinggal di rumah sakit untuk perawatan. Jawabannya selalu mereka tetap ingin pulang ke rumah, karena tak ada tempat lebih baik selain rumah.
Jika anggota keluarga akan merawat pasien, mereka harus melakukan beberapa tugas dari yang mudah sampai yang sulit. Dan mendorong pasien untuk berlatih, membawa mereka ke berbagai kegiatan sosial, mengajak mereka untuk berbincang dan bertetangga.
Topik lain adalah soal hidup pasien. Bagaimana caranya membuat pasien paham soal stigmatisasi yang diberikan padanya.
Hal lain dalam training yang diberikan adalah bagaimana menangani media. Karena media biasanya memberitakan hal-hal mengenai kegilaan secara negatif.
Dari training itu, anggota keluarga membuat ’family club’ di setiap rumah sakit seperti misalnya ‘Kalyanamitr Club of Psychiatric Patient’ dari Srithunya Psychiatric hospital dan ’Tawan Mai Club’ dari Somdetchoaoraya Institute of Psychiatry.
Kedua kelompok itu kemudian berhubungan dan membuat program yang sangat penting. Kedua klub keluarga itu memperluas program dan membentuk klub-klub serupa di seluruh negeri di setiap RSJ. Klub-klub itu kemudian berkembang menjadi unik, dan membentuk perhimpunan yang telah diluncurkan pada 27 Maret 2003.
Anggota seluruh klub keluarga itu berkumpul sebulan sekali. Pertemuan-pertemuan itu menyemangati dan memotivasi mereka dalam merawat pasien. Di situ mereka dapat bertukar pengalaman dalam hal merawat pasien dan memperingan beban mereka.
Pengalaman Mr. Sompong merawat pasien di rumah merupakan beban yang sangat dan merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Tapi pertemuan dengan keluarga lain sebulan sekalimemberinya motivasi untuk merawat istrinya yang adalah pasien sakit jiwa. Dalam pertemuan itu ada banyak keluarga yang harus merawat pasien sakit jiwa yang sangat parah sampai disebut psychotic. Bertukar pengalaman ini mendorong semangatnya untuk merawat istrinya di rumah.
Saat ini asosiasi ini punya jaringan 21 klub keluarga di seluruh negara. Bila ada pertanyaan tentang dukungan keuangan terhadap asosiasi ini, sesungguhnya asosiasi ini mengajukan proposal proyek kepada pemerintah. Ternyata pemerintah beranggapan bahwa proyek ini sangat berguna bagi keluarga dan pasien jiwa itu sendiri, sehingga pemerintah bersedia mendukung dana untuk pekerjaan klub ini.
Beberapa jaringan telah melakukan pekerjaan yang sangat bagus dan masyarakat mengetahui hal ini, sehingga kemudian mendapat donasi yang cukup besar dari masyarakat juga.
Masalahnya, beberapa jaringan tidak memiliki kemampuan untuk membuat proposal, sehingga kemudian asosiasi memberi bantuan kepada jaringan bagaimana cara membuat proposal untuk memperoleh dukungan dana.
Pengalaman Mr. Sompong setelah bergabung dengan klub ini, kondisi istrinya semakin membaik saat ini dalam perawatannya di rumah.
Beberapa tujuan asosiasi kesehatan jiwa ini selain yang telah diceritakan adalah:
Lecture 2: Malaysia
Dr. Abdul Kadir Abu Bakar
“Effective Community Treat”
Perkenalan dari moderator
Dr. Abdul Kadir adalah seorang psikiater dan menjabat sebagai ketua psikiater di RS. Aminah di Johor Baru. Dia telah berkerja sama dengan psikiater di Indonesia dalam beberapa program Mental Health. Dia menginovasi beberapa kegiatan di Kucing, yang situasinya sama dengan di Indonesia, bahwa seringkali kita menyalahkan segala sesuatu di luar lingkungan kita, padahal sesungguhnya the enemy is in here. Dia membuat sebuah terobosan di Kucing, untuk tidak selalu menyalahkan segala sesuatu di luar diri kita.
Dr. Abdul Kadir Abu Bakar: “Effective Community Treat”
Sebagai penjelasan terhadap istilah ‘perawatan komunitas yang efektif’ pada umumnya sebagian besar para pekerja yang bergelut di bidang kesehatan jiwa, termasuk para perawat di rumah sakit mempunyai pikiran bahwa perawatan bermula di RS. Padahal sebetulnya pasien itu memulai sakitnya di rumah atau di tempat lain semacam rumah. Sebagai orang yang diberi kelebihan dalam hal menangani pasien jiwa memang banyak yang berpikir dia dapat memberi perawatan terbaik. Namun sesungguhnya perawatan terbaik itu bisa diberikan di rumah.
Seluruh pendidikan kesehatan jiwa tidak dapat membuktikan bahwa perawatan yang diberikan di rumah sakit adalah perawatan terbaik. Bukti nyata yang ada malah memberitahu bahwa alternatif perawatan selain rumah sakit memberi perawatan terbaik bagi pasien, seperti misalnya perawatan pasien di pedesaan. Contoh lain yang nyata, di Aceh, dengan biaya yang sangat murah, seorang pasien jiwa memperoleh kemajuan yang baik hanya dengan berlayar menggunakan perahu nelayan.
Untuk menolong seseorang, yang paling penting dilakukan adalah melihat dan memahami orang tersebut, seperti apa kondisinya, sehingga kemudian akan dapat diketahui apa sesungguhnya yang dibutuhkannya.
Jadi, ketika ada orang yang datang untuk dirawat, orang tersebut membutuhkan pertolongan untuk kembali ke rumahnya, sehingga sesungguhnya perawatan untuk orang tersebut harus diberikan di rumahnya.
Dalam community care ini ada beberapa tahap perawatan, yaitu primary care, crisis care, dan continuing care. Dalam primary care, terdapat soal memperhatikan kondisi pasien, di mana dia musti dirawat, bagaimana cara merawat. Kemudian dalam crisis care diputuskan soal perlukah pasien dirawat di rumah sakit, karena sesungguhnya telah diyakini bahwa perawatan terbaik dapat diberikan di rumah. Kemudian dalam continuing care, ada persoalan evaluasi pasien yang telah dirawat, bagaimana cara perawatan lanjutannya, mengenai kesembuhan dan kemungkinan kambuh. Continuing care ini sangat penting untuk mengamati perkembangan pasien jiwa.
Primary care ini membutuhkan banyak dukungan dari puskesmas dan komunitas. Dr. Abdul Kadir, sebagai seorang yang memiliki wewenang penuh dalam bidang kesehatan jiwa di rumah sakitnya dapat mengembangkan model perawatan sendiri.
Ketika seorang pasien datang, dia akan memeriksa seberapa jauh gangguan kesehatan jiwa yang diderita pasiennya dan memutuskan apakah pasien tersebut perlu dirawat di rumah sakit atau di rumah. Dia juga akan memeriksa keluarga pasien, siapa yang dapat merawat di rumah dan berapa orang serta bagaimana kemampuan keuangan keluarganya.
Masalah utama yang sering muncul dalam soal perawatan gangguan kesehatan jiwa di rumah sakit adalah: pertama, kurangnya follow-up yang memadai. Banyak direktur RSJ yang tidak pernah memperhatikan data seperti jumlah pasien yang telah keluar dan jumlah yang kembali ke RSJ, serta kemungkinan kembalinya pasien ke RSJ. Semula di RS kurangnya kualitas penanganan terhadap pasien alasannya karena kurangnya staff di RS, kurangnya perlengkapan, keluarga yang kurang perhatian, dan mungkin dokternya yang kurang ahli.
Dengan berbagai keluhan seperti itu jalan keluar yang harus dilakukan adalah mengeluarkan seluruh pasien yang ada dari rumah sakit. Dan untuk ini harus dibuat satu sistem yang efektif, sehingga kemudian pasien tidak akan kembali ke rumah sakit setelah dikembalikan ke rumah. Diawali dengan cara mengelompokkan pasien, karena tidak setiap pasien membutuhkan perawatan secara penuh. Dengan mengelompokkan pasien, akan diketahui perawatan seperti apa yang dibutuhkan setiap pasien. Ada tiga level pengelompokan pasien. Level ketiga untuk pasien yang paling mudah dirawat karena didiagnosa paling stabil untuk jangka waktu tertentu. Level kedua untuk yang membutuhkan konsultasi intensif. Sementara level pertama untuk pasien yang memiliki kemungkinan kembali ke rumah sakit setelah dinyatakan sembuh dan tidak memiliki orang-orang terdekat untuk merawatnya.
Dengan pendekatan Assertive Community Treatment (ACT), terbukti melalui data-data (dalam file presentasi) bahwa kemajuan yang diperoleh pasien lebih baik. Setiap studi yang mempelajari ACT membuktikan bahwa pendekatan ini lebih baik hasilnya.
Dalam ACT yang dibutuhkan adalah tim, yang meskipun tidak banyak jumlahnya namun masing-masing anggota tim memiliki tanggung jawab dan mau menjalankannya. Di awal, Dr. Abdul Kadir menjalankan pendekatan ini sendirian untuk 110 pasien. Di rumah sakit yang dilakukan adalah mendiagnosa dan menentukan pengobatan medis yang dibutuhkan oleh pasien. Selanjutnya, pasien dirawat di rumah dan yang perlu dia lakukan adalah memastikan keberlanjutan perawatan, memberi bantuan secara praktis, membantu menangani dampak sampingannya, membantu menumbuhkan keterampilan komunitas dalam menangani. Pada umumnya, pengobatan medis yang dijalani pasien hanya diperlukan untuk waktu dua tahun, selanjutnya pengobatan medis pasien dapat diserahkan kepada Puskesmas.
Dalam pendekatan ACT ini yang menonjol adalah soal pelayanan yang proaktif terhadap pasien. Tim perawat selalu mengadakan asesmen dalam pelayanan proaktifnya, sehingga kebutuhan perawatan terhadap pasien akan selalu disesuaikan dengan hasil asesmen yang dilakukan. Yang termasuk ke dalam keputusan perawatan terhadap pasien ini adalah pengobatan medis yang diterima pasien, dukungan yang bisa didapat pasien, keikutsertaan komunitas yang dapat diperoleh pasien, kondisi ekonomi keluarga pasien, dan bagaimana cara bekerja dengan keluarga yang merawat pasien.
Hingga saat ini menurut data pasien yang parah jumlahnya berkurang hingga 60% di Malaysia. Sesungguhnya, secara medis, obat-obatan yang digunakan tidak berbeda dengan obat-obatan yang biasa diberikan di negara lain. Yang berbeda adalah cara perawatannya. Dari segi jumlah staff RSJ juga tidak bertambah, bahkan kenyataannya malah berkurang. Karena, terapi lebih banyak tidak dilakukan di RS, sehingga banyak staff yang ditransfer untuk bekerja di luar RS. RSJ juga membina para terapis yang dipekerjakan untuk merawat di rumah.
Lecture 3: Filipina
Brother Victor Manuel & Miss Violetta
“Congregation of the Brothers of Charity:
Holy Face Rehabilitation Center for Mental Health”
Brother Victor Manuel
Lembaga yang bekerja untuk kesehatan jiwa ini tidak berasal dari rumah sakit. Namun demikian, kegiatannya yang utama adalah rehabilitasi untuk pasien gangguan kesehatan jiwa dengan program berbasis komunitas.
Pusat lembaga ini berlokasi di bagian utara Filipina. Tim yang bekerja ke lapangan harus bepergian dari pulau ke pulau yang menghabiskan waktu dan tenaga yang luar biasa, karena sulitnya transportasi. Kehidupan orang-orang yang berdiam di pulau-pulau ini sangat sulit, dari segi ekonomi mereka sangat miskin, air sulit didapat, dan listrik pun tak ada.
Para penderita gangguan kesehatan jiwa di pulau-pulau ini diperlakukan sangat tidak manusiawi. Beberapa di antara mereka dikurung. Sehingga, sebagian besar dari para penderita ini bukan hanya sakit secara mental, namun mereka juga mengalami sakit secara fisik.
Pusat rehabilitasi ini bekerja dengan cara mengorganisir family support group, dan sebagian besar pekerjaan dilakukan dengan cara home visit. Pusat rehabilitasi ini selalu menegaskan kepada masyarakat yang dikunjunginya bahwa perawatan yang baik terhadap penderita bukan merupakan tanggung jawab pusat rehabilitasi, namun merupakan tanggung jawab keluarga dan komunitas sekitar penderita.
Dalam home visit, kegiatan yang dilakukan adalah mem-follow-up keluarga yang sangat jarang atau bahkan tidak melakukan konsultasi lagi. Karena berbagai alasan, termasuk kondisi kehidupan dan pendidikan yang kurang baik, keluarga tidak melakukan konsultasi mengenai perkembangan penderita. Selain itu, pusat rehabilitasi juga mengadakan berbagai program pencegahan yang mungkin terhadap masyarakat akan gangguan kesehatan jiwa, misalnya dengan pelayanan pendidikan mengenai kesehatan jiwa, dan juga memberikan konsultasi terhadap pengobatan dan perawatan kesehatan jiwa secara medis.
Dalam kegiatan pencegahan, pusat rehabilitas melakukan screening terhadap klien yang potensial mengalami gangguan kesehatan jiwa. Caranya adalah mengorientasi komunitas yang didatangi terhadap kemungkinan individu yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Selain itu, setiap hari Rabu, tim lapangan selalu meluangkan waktu untuk mengidentifikasi penderita gangguan mental yang terbuang dan mencari keluarganya.
Dalam merawat penderita gangguan jiwa, pusat rehabilitasi ini sebelumnya juga mengevaluasi kondisi sosial ekonomi masing-masing klien. Mereka memiliki tiga kelas klien, yaitu kelompok yang mampu membiayai perawatan medis, kelompok yang hanya mampu membayar setengah dari keseluruhan biaya, dan kelompok yang tak mampu sama sekali, sehingga harus pelayanan kemudian harus diberikan secara cuma-cuma.
Pusat rehabilitasi dalam aktivitasnya telah membentuk empat rehabilitasi berbasis komunitas, yaitu di: 1) Alcala, Daraga; 2) Clustered Barangay of Tobacco, Cluster 1 (Baranghawon, Cobo, Cabangan & Basud); 3) Salvacion, Sto. Domingo; 4) Bogñabong, Tabaco City.
Sementara untuk jaringan pemerintah dan stakeholder telah terjalin di beberapa wilayah, yaitu: Tabaco City, Malinao, Libon, District Hospital, dan Don Susano Memorial Mental Hospital.
Untuk membangun rehabilitasi berbasis komunitas yang dibutuhkan adalah kelompok kecil klien yang tinggal dalam komunitas yang sama, ada orang yang karena perhatiannya yang tinggi untuk menjadi pimpinan kelompok ini, dan ada dukungan dari pemerintahan lokal dan komitmen anggota keluarga.
Dalam komunitas pusat rehabilitasi melakukan pengorganisiran terhadap kelompok pendukung, yang terdiri dari keluarga dan tokoh komunitas untuk bertemu satu bulan sekali. Pertemuan bulanan ini dilakukan untuk memberi pendidikan tentang kesehatan jiwa, berdiskusi antar keluarga penderita dan memberi berbagai pelatihan untuk keterampilan hidup seperti kerajinan tangan atau pertanian.
Dalam bidang kampanye, pusat rehabilitasi menyebarkan berbagai brosur dan pamflet, serta melakukan berbagai pelatihan dan seminar bagi para pekerja kesehatan Barangay.
Miss Violetta D. Bayatto
Presentasinya berkisar mengenai pengalaman dari perspektif aktivitasnya yang memberi pendidikan publik mengenai kesehatan jiwa.
Bermula dari ulasan mengenai kerentanan bencana alam negara Filipina yang ternyata berdampak pada psikososial masyarakatnya. Sejarah masyarakatnya juga mencatat penurunan ekonomi masyarakatnya sampai saat ini.
Selama lebih dari 50 tahun pasien gangguan jiwa dirawat di RS. Dan tak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat umum telah ada stigmatisasi mengenai penderita gangguan jiwa yang negatif.
Selain pekerjaan-pekerjaan merawat penderita secara langsung, muncul kebutuhan lain untuk mendidik publik mengenai kesehatan mental yang sesungguhnya. Ini dimulai dengan melakukan pengamatan di lapangan secara langsung. Miss Violetta bekerja dengan menggunakan kendaraan berkeliling jalanan. Kendaraan itu memiliki tulisan ”Philipine Mental Health Institution”.
Kesempatan berkendaraan ini dipergunakan untuk melihat secara langsung efek kendaraan berlabel mental health instituion di jalanan. Dari dalam kendaraan dapat dilihat secara langsung bagaimana reaksi umum yang diperlihatkan masyarakat terhadap kendaraan dan para penumpangnya. Dan sebagian besar membuat joke dan tersenyum mentertawakan. Itu di perkotaan.
Sementara, di daerah hutan, ketika bekerja di sana tahun 2002, dengan kendaraan berlabel ”Pradet Psychosocial Rehabilitation” reaksi yang didapat dari masyarakat cukup berbeda. Orang-orang yang berpapasan akan melambaikan tangan dan senang melihat kendaraan itu.
Dari pengalaman itu, diambil asumsi mengenai istilah yang digunakan mengenai kesehatan jiwa. Entah karena perbedaan istilah mental health dan psychosocial, atau karena ada pergeseran paradigma dari istilah psychosocial. Atau kemungkinan penekanan yang berlebihan terhadap gangguan jiwa dari istilah mental yang digunakan. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa kata-kata dan gambaran-gambaran benar-benar berarti dalam memberi pemahaman, terutama terhadap publik.
Simpulan yang dapat diambil dari pengalaman dalam pendidikan kepada publik mengenai kesehatan jiwa ini bahwa ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam beraktivitas ke depannya, yaitu: a) agar tidak terfokus pada diagnosis dan pendekatan biomedis; b) harus berurusan dengan kerumitan penyebab psikososial dan bukan dengan sumber daya; c) belajar menggeser paradigma dan prasangka; d) merangkul kelompok yang terdiskriminasi; e) berhadapan langsung dengan pelanggaran terhadap HAM.
Pesannya di sini adalah: “Kita dapat bekerja bersama”.
Sesi Tanya Jawab
Tanya:
Bagi orang yang profesional dalam kesehatan bagaimana berubah dari biomedical ke psikososial. Kita perlu bekerja bersama sebagai partner yang setara. Model Abdul Kadir, adalah model psikiatris, bagaimana visualisasi interaksi keluarga?
Jawab:
Model biomedis telah mencapai batasnya, jadi institusi kesehatan jiwa ini telah melewatinya. Ada kebutuhan selanjutnya untuk mengikutkan keluarga dan komunitas. Di sini yang dibuka adalah manajemen oleh keluarga-keluarga itu. Mereka mengatur pertemuan rutinnya. Di sini juga dibuat jejaring dengan media elektronik untuk menyiarkan kegiatan-kegiatan para keluarga ini. Keluarga-keluarga ini berorganisasi di luar RS dengan mendapat dukungan secara profesional dari RS. Dengan cara berorganisasi seperti itu, orang-orang baru akan memperoleh pengalaman dari keluarga lama.
Berkaitan dengan pengobatan medis, begitu ada obat baru bisa digunakan secepatnya. Namun pengobatan ini juga bergantung pada kecocokan penderita. Pengalaman-pengalaman mengenai obat-obatan yang digunakan ini misalnya bisa saling dipertukarkan dalam kelompok keluarga. Jadi sesungguhnya pengobatan medis memiliki peran yang kecil dalam perawatan penderita ini.
Pelatihan-pelatihan diberikan pada orang-orang yang akan memberikan konseling pada keluarga-keluarga pasien. Pada umumnya pelatihan berkisar mengenai bagaimana mendengarkan orang, memberi nasehat, dan mengajukan alternatif penyelesaian masalah. Orang-orang yang memberi konseling ini bisa berasal dari berbagai profesi. Bisa guru, pendeta, dll. Mereka ini akan bebas bekerja sendiri.
Moderator:
Ada perubahan yang tidak terlampau drastis di kalangan medis dan psikiatri yang mulai mengkritisi perawatan biomedis. Di wilayah bencana perawatan ini dihindari. Dalam Jejak Jiwa, masing-masing individu diakomodir dan berdialog secara dinamis untuk mendapat wawasan yang lebih baik. Di sini dilakukan reformasi terhadap mindset agar mampu melihat masalah kesehatan jiwa dalam arti yang sangat luas. Di sini akan terus diciptakan ruang dalam forum apapun.
Jejak Jiwa melakukan updating pada konsep psikiatri. Bahwa perawatan tidak selalu harus dilakukan di RS, tapi juga di luar. Ini PR yang besar. Namun ke depan Jejak Jiwa akan bekerja dengan langkah-langkah kecil.
Ada kemungkinan untuk mengajukan Askeskin (asuransi kesehatan untuk orang miskin). Namun ini harus dicermati, karena skema Askeskin ini sangat generik, yang artinya hanya mencakup pengobatan medis saja. Sementara perawatan mencakup lebih banyak proses, seperti psikoterapi dan home visit, dan porsinya justru jauh lebih besar. Jadi, akan muncul pertanyaan apakah aksesibilitas dapat dicapai oleh skema ini, dan apakah memadai?
Dan dalam lecture juga dijelaskan soal mindset yang berkenaan dengan terminologi. Ada contoh kasus di Jepang yang berupaya mengganti schizophrenia dengan istilah lain, supaya lebih soft.
Pertemuan akan dilanjutkan dengan diskusi secara bebas, sehingga begitu selesai akan ada beberapa kesepakatan dan inisiatif agenda bersama.
Dr. Abdul Kadir:
Psikososial ini sangat penting dalam kesehatan jiwa. Kebanyakan service provider mental health bermarkas di RS. Dan para service provider ini kuasanya sangat mutlak. Menurut saya, ini perlu dikurangi. Kita perlu mengatakan bahwa RSJ tidak penting, dan sebaiknya dihilangkan saja. Dan kalaupun RSJ tetap ada, perlu dilakukan manajemen pekerjaan, sehingga tidak akan pernah ada istilah kekurangan pekerja kesehatan. Kalaupun seorang dokter kesehatan jiwa tidak punya asisten, semua pekerjaannya bisa dan harus bisa dikerjakan dan diselesaikan.
Moderator:
Terapi dapat dilakukan oleh siapapun dengan kapasitas apapun. Secara teoritis hal ini mungkin tidak akan nyambung dengan profesi kedokteran. Namun secara komunitas, hal ini bisa dilakukan sesuai dengan kondisi yang melingkupinya.
(Notulis: E.R./L.)
Mental Health as the Capital of Nation’s Strength
Having sense of belonging as the part of Indonesia nation, the originators of National Mental Health Convention (KNKJ) desire to always awaken people’s awareness about the importance of taking care of national mental health as a social capital for the sustainability of a mentally healthy nation. The organizing of KNKJ-I in 2001 in Malang and KNKJ-II in 2003 in Jakarta had created a dialogical arena for cross-professional and cross-disciplinal agents who care about mental health problem in this country. The Convention systematically has been doing discussions, initialized by the exposition about the real condition of Indonesia, the diagnosis from a variety of point of views, and together finds out the solutions. Furthermore it is understood that the mental health problems have a wide range spectrum begin from of children, adults, and families to societies as well as nation problems.
KNKJ-II in 2003, with the topic of “Our Nation at Risk”, had a backdrop of an exposition of national situations that concerns us greatly for those tend to significantly risk the survival and sustainability of the Indonesia we love. Analogue with the critical periods in the developmental stage of every human life, our nation is now in a critical phase of becoming Indonesia. It turned out that the its histories present us with conflicts and violence. The social cost was not calculated, and the nation and character building was ignored.
Living as a nation in its essence is a learning and dialogical process in a we-ness atmosphere focused on building the bio-psycho-social-cultural-spiritually healthy folks. From the exposition of the speakers, the organizing of KNKJ-II had given us enlightenments about the national collective consciousness and its role in understanding what we have done to ourselves also with a variety of symptoms, consequences, and implications.
In the social level of national life, cultural crises caused by coercion from the strong to the weak, both globally and locally, and the lack of leading figure or cultural exemplar to be consumed by the folks’ soul, are parts of symptoms which influences our integration process as a nation and makes the process of becoming Indonesia so complicated. Nevertheless, in the local level, it is observable that there are alternatives of solutions which is even though still in explorative level, they needs to be given opportunities to grow further. These local elements’ roles are worth appreciating and developing.
Conflicts and violent faces performed in a horrible escalation, and endless disasters striking this nation, in one side destructs the substructure of societal life, but in another side waking up the awareness about the essence of living as a nation and also building the strong social solidarities.
In economical aspect, KNKJ-II contributed to us by giving awareness that the economic damages resulted from loss of productivity times caused by mental health disorders in 1997 is equal to 31.9 trillion rupiahs. This number indicates that mental health disorder problems is factually containing very significant economical problems. This burden can be continuously heavier particularly if there are no immediate adequate investment to cope with the mental health problems.
Because of that, even though “our nation at risk” has been an affirmative statement, but the Convention believes that the nation spirit can revive. This belief has to be acknowledged with an awareness that to revive a nation spirit is a big work which can not be well done by only one groups/people or one expertise. KNKJ-I and KNKJ-II had started by systematically reforming the ways of thinking and acting with the participation of a variety of people who care about societal mental health through dialogue and communication network which have to be always constructed and developed. All of these ideas should make a “movement” which can significantly contribute to nation building. The leading thread of ideas rolled by “Indonesia Mental Health Network” needs continuing.
The next step is to realize some acts and programs emerged from the constructed network in accordance with local and social needs. Inventorying what have been designed and done by KNKJ-I, KNKJ-II and the network, can be mapped into four alternative areas. These four quadrants will be the guidance to ensure the sustainability of this “movement”.
In this concept of “movement” realized into networks, every people can proactively play his/her/their roles chosen by himself/herself/themselves in those four quadrants. All nodes in this our network will develop activities for himself/herself/themselves according to his/her/their competence. Communication system will be built in this network, initialized by simply providing “JejakJiwa” (Mental Health Network) site <http://www.jejakjiwa.org> which temporary functions as pooling and clearing-house facility from a wide range of information and communication needed.
KNKJ-III is held in the midst of the natural disaster suffered by the Yogyakarta and Central Java. Once more we are reminded by God to reflect the essence of life, humanity, and nationality. Once more we are exposed by the suffering of our brothers and sisters, by the messed-up disaster management, by the narrow-minded behaviour of the opportunists, but also we are exposed by heroic stories, solidarity building which is still pure based on love that gives us optimisme that we as nation still exist and will keep on exist. Those disasters should also remind us to continue “JejakJiwa” (Mental Health Network), and also re-affirm our commitment to keep going.
Mental health problems and public services designed to cope with them can be compared to the peak of an iceberg. There is a need of good intention, seriousness, and sustainable energy driving to understand the connections between the fulfillment or lack of mental health conditions with the social and institutional practices as well as the other environmental factors. For the large scale and complexity of social process of Indonesia society, suffice it to say that the handling of mental health is on of the big challenges of the management of people’s safety, welfare and wellbeingness.
Following-up the KNKJ-I and KNKJ-II initiatives in grabbing public attention to those urgent problems, it is important to take initiation of creating a long term mental health campaign model. Principally, this campaign is based on a circle of activities consisting of for areas of intervention which organically connect one another.
THE 1ST ANNUAL INTERNATIONAL SEMINAR & LECTURE SERIES
AND
LAUNCHING – INDONESIAN JOURNAL OF MENTAL HEALTH
TEMA
DEMAND ON SOCIAL LEARNING
Agenda advokasi Jejak Jiwa untuk kemajuan intervensi urusan kesehatan jiwa mensyaratkan kebutuhan para pemilik kepentingan utama untuk memahami dengan lebih baik duduk-perkara masalah kesehatan jiwa, sebagai bagian dari gagasan tentang “kualitas hidup” pada skala diri dan masyarakat, Rintisan awal gerakan juga menunjukkan beroperasinya dua asumsi lainnya:
Pertama, bahwa syarat kesepakatan belajar dalam proses social learning berskala makro terpenuhi. Artinya, institusi yang berkepentingan — kantor-kantor pengurus negara, universitas, rumah sakit jiwa, industri farmakoterapi, praktisi pelayanan kesehatan jiwa, dan konsumen pelayanan perawatan kesehatan jiwa — terbuka untuk perubahan dan mampu berubah.
Kedua, tersedia cukup sumber tenaga (a.l. pelajar, peneliti, dana, organisasi, jaringan kerja, sumber informasi) untuk menjaga kelangsungan proses belajar. Seperti kita tahu dengan baik, kedua asumsi di atas layak didiskusikan dengan tajam.
Salah satu sumber pengubah faktor-resiko di Indonesia adalah proses-proses sosial yang jauh lebih rumit daripada mekanisme dan bangunan institusi-institusi pengelolaannya. Tingginya keragaman representasi sosial di kepulauan telah terbukti rentan terhadap konflik sosial. Sumber-sumber pemicu lainnya a.l. adalah meluasnya wilayah distress yang berkaitan dengan ekonomi (seperti lapangan kerja luar-negeri), situasi lokal (upah rendah, pengangguran terselubung, rendahnya nilai-tukar produksi pedesaan), serta ruang hidup tanpa jaminan keselamatan dan perlindungan bagi para pengungsi ekonomik dari desa. Program-program dan riset macam apakah yang responsif terhadap keadaan tersebut?
Pertimbangan Tentang Garis Depan Kemajuan Profesi Serta Wilayah-Wilayah Temu Antar Disiplin
Pertama, terbaca dengan cukup jelas pengaruh dari dan hubungan pendek dengan tradisi-tradisi keilmuan lain baik dalam ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu “keras” di dalam agenda, thema dan soal-soal riset yang mengemuka dalam setengah abad ini. Sebagai salah satu konsekuensinya, telah berkembang pengayaan wacana, metodologi, aksiologi. Sebagai ilustrasi, obyek telaah di kedua disiplin (psikiatri dan psikologi) telah mulai menggeser garis depan perbedaan prinsipil di antara keduanya, dari dikotomi epistemologis yang bersifat discrete menjadi sebuah polaritas. Judul-judul jurnal yang berkembang subur, misalnya, menunjukkan polaritas baru tersebut: “psikiatri sosial” v.a.v. “psikologi sosial”; “culture, medicine and psychiatry”; “mental health policy and economics”; “theory of social behaviour”; “psychological anthropology”. Pada tataran thema, juga teramati gejala internasionalisasi riset serta respons cepat dari kedua disiplin pada masalah-masalah sosial genting yang mengemuka baik di metropol negara-negara industri maupun negara-negara dunia ketiga di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Dengan kata lain, kedua disiplin tengah “membarui diri” dengan memberikan perhatian penuh pada rentang rantai kausalitas dari gejala kejiwaan serta resiprokalitasnya.
Kedua, mengingat proses “pendewasaan” intelektual yang tengah berlangsung tersebut, perlu dicoba diadakan pemetaan wilayah-wilayah potensial dalam kolaborasi keilmuan, yang paling relevan dengan segenap setting sosial dan kelembagaan tersebut di atas, dengan sebuah heuristics yang tidak deterministis, serta menciptakan ruang bagi kemungkinan kolaborasi dan pengayaan pada tingkat keilmuan.
Ketiga, pada tataran praktek sosial dan institusional, juga berkembang perhatian lebih serius pada kedudukan etis dari rantai intervensi di kedua profesi kunci tersebut. Hal ini a.l. terlihat dalam implikasi etis penerapan profesional system pengetahuan tentang perilaku, serta dari tradisi penanganan gejala gangguan kejiwaan sejak deteksi dan diagnosis sampai dengan psikoterapi dan farmakoterapi, mencakup Konsensus subyek konsumen pelayanan kesehatan jiwa atas seluruh rantai tindakan terhadap dirinya, perbedaan definisi dan penerimaan terhadap kondisi gangguan psikososial/kejiwaan.
Keempat dan terakhir, pemahaman baru tentang sirkuit-sirkuit pengaruh di antara diri/pribadi dengan masyarakat, seperti dalam tradisi pemikiran Moscovici tentang representasi sosial, telah mendudukkan persoalan “kesehatan jiwa” dalam peta-peta proses sosial yang jauh lebih luas dari domain intervensi ilmu-ilmu perilaku atau psikiatri.
GERAKAN KESEHATAN JIWA
JEJARING KOMUNIKASI KESEHATAN JIWA
Latar belakang
Kegelisahan kita karena mengetahui adanya masalah besar tentang kesehatan jiwa di masyarakat kita
Kesadaran bersama dari berbagai pihak mengenai pentingnya keswa sebagai modal kekuatan bangsa
Kesadaran bahwa masalah keswa adalah masalah multidimensi yang seharusnya menjadi kepedulian berbagai kalangan profesi dan disiplin – bukan hanya urusan psikiater & psikolog saja
Penyelenggaraan konvensi nasional kesehatan jiwa (KNKJ) sebagai ajang dialog
KONVENSI NASIONAL KESEHATAN JIWA
KNKJ – I (Malang, 2001): Merupakan ajang dialog antar pelaku lintas profesi & disiplin yang menegaskan pendekatan dan pandangan luas tentang kesehatan jiwa. Disepakati untuk meletakkan dasar-dasar program aksi bersama.
KNKJ – II (Jakarta, 2003): Dengan tema besar “OUR NATION AT RISK” berbicara tentang ‘jiwa bangsa’, mengidentifikasi, mendiagnose dan mencari serta menyusun kesepakatan pembuatan ‘road map’ penanganan masalah kesehatan jiwa bangsa.
KNKJ – III (Jakarta, 2006): Menegaskan tentang Kesehatan Jiwa sebagai hak azasi manusia serta me “launch” road map dalam bentuk 4 Kuadran Intervensi kesehatan Jiwa
MELIHAT KE DEPAN
KNKJ-I, KNKJ-II dan KNKJ-III telah memulai dengan mengubah cara berpikir dan bertindak secara sistemik oleh berbagai kalangan yang peduli pada kesehatan jiwa masyarakat melalui dialog dan jejaring komunikasi yang harus selalu dibangun dan dikembangkan.
Segenap pemikiran ini seharusnya menjadi ‘gerakan’ yang dapat secara nyata memberikan sumbangan bagi pembangunan bangsa ini
Jejak Jiwa Mengintroduksi 4 Kuadran Intervensi Keswa Jangka Panjang
Wilayah intervensi 1 (Kuadran 1)
Pengembangan Pengetahuan Kritis tentang Kesehatan Jiwa
Wilayah intervensi 2 (Kuadran 2)
Pemetaan dan Penilaian Berkala dari Kondisi-Kondisi Yang Berpengaruh pada Persoalan Kesehatan Jiwa
Wilayah intervensi 3 (Kuadran 3)
Tindakan Kolaboratif Strategis
Wilayah intervensi 4 (Kuadran 4)
Pengembangan Sistem Dukungan Publik Untuk Penanganan Persoalan Kesehatan Jiwa
KUADRAN 1
WILAYAH INTERVENSI 1
Pengembangan Pengetahuan Kritis tentang Kesehatan Jiwa, terdiri dari:
KUADRAN 2
WILAYAH INTERVENSI 2
Pemetaan dan Penilaian Berkala dari Kondisi-Kondisi Yang Berpengaruh pada Persoalan Kesehatan Jiwa
KUADRAN 3
WILAYAH INTERVENSI 3
Tindakan Kolaboratif Strategis
KUADRAN 4
WILAYAH INTERVENSI 4
Pengembangan Sistem Dukungan Publik Untuk Penanganan Persoalan Kesehatan Jiwa
BERITA BINUS : Mahasiswa School of Information Systems BINUS UNIVERSITY Berhasil Menjadi Digital Changemaker di AIS Software Innovation Challenge 2024
Copy and paste this URL into your WordPress site to embed
Copy and paste this code into your site to embed