Psikologi kematian jelas bukan Teologi kematian. Banyak penulis mencampuradukkan kedua hal tersebut. Oleh karena itu, perlu kajian dan studi empiris mendalam terhadap Psikologi Kematian.
Dalam perjalanan hidup, atas perhatian saya terhadap tema kematian yang diangkat ke tingkat psikologis, saya menghasilkan sejumlah karya di bidang psikologi ini:
Pertama, adalah tulisan saya mengenai Teori Manajemen Teror (Psikologi Kematian) dalam Rubrik Sains Majalah MerPsy. Tulisan ini lebih merupakan terjemahan dan saduran dari berbagai sumber untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai: Apakah ada psikologi kematian? Apa implikasi penelitian psikologi kematian? Apa implikasi praktisnya? Apa sajakah salah-paham tentang psikologi kematian? Mengapa perlu bergairah terhadap psikologi kematian?
Kedua, adalah sebuah hasil wawancara mengenai Korupsi dipandang dari Sisi Psikologi Sosial. Dalam interviu ini, saya mengupas kaitan antara cara pandang terhadap kematian dengan peluang berpikir dan berbuat korup, justru karena ketakutan akan kematian itu.
Ketiga, adalah artikel penelitian mengenai Online Impulse Buying. Dalam artikel ini, saya dkk membahas tentang kaitan antara takut mati dengan pembelian impulsif secara daring. Kendati demikian, “kaitan” tersebut lebih bersifat deskriptif, dan memicu penelitian korelasional atau eksperimental lebih lanjut. Dalam artikel tersebut, saya dkk menemukan bahwa:
“Analisis deskriptif tambahan yang menerapkan Teori Manajemen Teror menunjukkan bahwa peserta penelitian dengan saliensi kematian yang lebih tinggi cenderung memiliki lebih banyak pengalaman membeli secara daring, dan mereka cenderung membeli barang-barang yang lebih mewah seperti perhiasan dan jam tangan mahal daripada partisipan penelitian dengan saliensi kematian yang lebih rendah.”
“An additional descriptive analysis applying the Terror Management Theory showed that participants with higher mortality salience tend to have more online buying experience, and they are inclined to purchase more luxurious items such as jewelry and expensive watch than participants with lower mortality salience.”
Keempat, artikel saya mengenai Pendidikan Karakter, bertajuk “Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan (LPTK) Dalam Tantangan: Konvergensi Ilmu Pendidikan dengan Psikologi SosialSerta Hikmah Pembelajaran Lintas BudayaDalam Merajut Proses Pendidikan Berkarakter dan Berbudaya”. Dalam tulisan tersebut, saya menyampaikan pokok pikiran, sebagai berikut:
“Kematian, atau setidak-tidaknya pemikiran tentang kematian, merupakan etos filosofis pertumbuhan karakter seseorang.” Dengan demikian, aktivitas terkait dengan kematian,seperti upacara kematian kultural, baik dialami maupun dipelajari, mampu memfasilitasi pesertadidik mengalami nilai-nilai luhur yang pantas dikejar manusia dan menempatkannya secara integraldalam keseluruhan hidup bersama orang lain (esensi pendidikan karakter).
Kelima, endorsement saya terhadap buku yang ditulis oleh mahasiswa saya, Bayu Jatmiko, mengenai MORTIDO. Endorsement tersebut dapat dibaca di sini:
Kendati demikian, bunyi aslinya adalah sebagai berikut (sebelum mengalami penyesuaian oleh Penerbit):
Saya telah membaca tema Psikologi Kematian yang termuat dalam berbagai karya, mulai dari psikologi rasionalnya (a.l. Louis Leahy) sampai dengan psikologi empirisnya – yang diwakili teori manajemen teror (Greenberg, Solomon, dan Pyszczynski). Bayu Jatmiko, Sarjana Psikologi dari Universitas Mercu Buana Jakarta, memberikan kontribusi khas terhadap Psikologi ini dengan meletakkan landasan bahwa ada sebuah prinsip paradoksikal dalam ketidaksadaran (lokusnya insting kematian dalam Psikoanalisis Klasik), yaitu Keawasan. Prinsip ini sungguh memiliki kapasitas untuk bertumbuh, beradaptasi, dan menguat, memihaki kehidupan, walau rentan untuk diganggu dan ditekan oleh hasrat rakus berbagai sistem politik, ekonomi, pendidikan, dan kepercayaan. Kerentanan sekaligus kekuatan dari Keawasan, yang dianalisis Bayu dengan pendekatan bio-psikoanalitik-spiritual, menunjukkan bahwa dinamika psikologis kematian justru merupakan dinamika yang – sebagaimana spekulasi sebagian pihak – asyik, kreatif, produktif, metamorfostis, serta memberadabkan kehidupan. Hanya saja, selamat kepada Bayu atas upayanya: Spekulasi itu kini semakin berkurang beberapa kabutnya. Bayu menegaskan kembali sebuah ajakan sufistis – yang kini psikologis: Marilah kita mati sebelum mati. Kita ditantang untuk mengembangkan kemauan personal sampai dengan politik untuk menyambut ajakan ini!
Dr. Juneman Abraham, S.Psi.
Psikolog sosial, Universitas Bina Nusantara
Keenam, Psikologi (Pendampingan) Kematian.
Semoga menambah khasanah kita semua mengenai #PsikologiKematian.
BERITA BINUS : BINUS UNIVERSITY Naik Peringkat di UI Greenmetric 2024