Kehidupan

Suicide Prevention (Pencegahan Bunuh Diri)

Baru saja saya membaca sebuah berita, Dapat Nilai E dan IPK Tak Sesuai Harapan, Mahasiswa Gantung Diri. Bunuh diri masih merupakan persoalan psikososial di Indonesia. Untuk itu, saya juga turut berpartisipasi dalam upaya pencegahan hal ini di komunitas saya. Beberapa upaya misalnya:

Pertama, berpartisipasi dalam berbagai diskursus (wacana) dan praktik terkait dengan peningkatan kesehatan jiwa/mental, termasuk menerbitkan Panduan Layanan Pertolongan Psikologis Pertama Jarak Jauh.

Kedua, mengikuti pelatihan spesifik (khusus) tentang pencegahan bunuh diri (keterangan di bawah ini, saya mengikuti pelatihan selama 10 jam lebih, mulai dari suicidologi hingga konseling dan intervensi krisis dengan turut mempertimbangkan realitas masyarakat Indonesia yang religius), maupun psikologi kematian.

Ketiga, terlibat dalam riset atau penelitian terkini tentang Suicide Prevention yang dipelopori oleh Sandersan Onie, Ph.D., yang melibatkan Badan Kesehatan Sedunia (World Health Organization).

Psikologi Pancasila

Sumber gambar: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:GARUDA_PANCASILA.jpg

Psikologi Pancasila, atau lebih tepatnya Psikologi Keber-Pancasila-an, merupakan aplikasi perspektif dan teori psikologi dalam menggambarkan, menjelaskan, dan memprediksikan sikap dan perilaku ber-Pancasila (memuat nilai-nilai Pancasila).

Dalam hal ini, saya bersama tim peneliti, telah menerbitkan sejumlah studi yang mengindikasikan bahwa Pancasila dapat digali, dibahas, dan diekspos pada taraf ilmiah. Dengan demikian, mistifikasi dan sakralisasi Pancasila tidak perlu terjadi, karena Pancasila memang merupakan “ideologi” terbuka, yang senantiasa mempertahankan relevansinya dalam hidup sehari-hari dengan membuka diri terhadap segenap reinterpretasi (penafsiran ulang), justru guna menjawab perkembangan zaman.

Berikut ini adalah sejumlah daftar studi dan penelitian kami tentang Psikologi Pancasila atau Psikologi Keber-Pancasila-an itu:

Review of ‘“Public Religion” and the Pancasila-Based State of Indonesia. An Ethical and Sociological Analysis.

Semakin Kental Identitas Religius Semakin Lunturkah Identitas Nasional? Peran Keberpancasilaan Pada Remaja Indonesia

Kompatibilitas Keutamaan Karakter Dengan Nilai-Nilai Pancasila: Perspektif Kontrak Psikologis dan Kontrak Sosial

Symbolic meaning of money, self-esteem, and identification with Pancasila values

Validasi Konkuren Skala Keber-Pancasila-an Pada Remaja Mahasiswa di Jakarta

Di samping itu, ada berbagai penelitian yang bernuansakan Psikologi Pancasila, atau Psikologi Keber-Pancasila-an, walau tidak secara eksplisit menyebut kata Pancasila; yang dapat dilihat melalui Google Scholar saya.

Belakangan, saya juga terlibat dalam sebuah forum yang kami namai Amerta Pancasila. Forum ini melakukan berbagai diskusi tentang Pancasila dan Keber-Pancasila-an dalam hidup sehari-hari dan dalam lingkungan akademik (karena sebagian dari kami adalah dosen).

Ngobrol santai di Hari Buruh, 1 Mei 2020.

Bincang dengan Redaksi KOMPAS.

Bincang dengan Pusat Studi Pancasila, Universitas Pancasila.

Bincang di ruang Yayasan PPM.

Bincang dengan eks-Kepala BP7.

Bincang di Beranda PPM dengan Mantan Deputi BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).

Nantikan juga penelitian saya bersama tim tentang studi lanjut Psikologi Pancasila, insya Allah akan kami rilis di antara Juni 2021 sampai Juni 2022!

Salam Pancasila!

Membicarakan Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi

Setelah pada awal 2020, saya memberikan pendapat mengenai RUU Ketahanan Keluarga, pada akhir 2020, tepatnya 5 Desember, saya bersama rekan-rekan di Pusat Penelitian DPR RI membahas pada tingkat yang lebih mikro, yakni ketahanan keluarga Muslim Indonesia di masa pandemi Covid-19.

Kita sepakat bahwa ketahanan keluarga (family resilience) dan kepuasan pernikahan (marital wellbeing) perlu diperkuat, namun syarat-syarat psikososialnya perlu kita perhatikan secara seksama.

Kemalasan itu Tidak Ada

Diterjemahkan dari Laziness Does Not Exist (Devon Price, 2018) pada Maret 2020 oleh Felicia Christine Tardy (Binusian, Kelas MK PSYC6122-Social Psychology yang saya ampu)

Devon Price: Saya telah menjadi profesor psikologi sejak 2012. Dalam 6 tahun terakhir, saya telah menyaksikan siswa dari segala usia menunda pada dokumen-dokumen, melewati hari-hari presentasi, melewatkan tugas, dan membiarkan jadwal tenggat terlewati begitu saja. Saya telah melihat calon mahasiswa pascasarjana gagal mendapatkan lamaran tepat waktu; saya telah melihat kandidat PhD memerlukan berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk merevisi satu konsep disertasi; saya dulu pernah memiliki siswa yang terdaftar di kelas yang sama dengan saya selama 2 semester berturut-turut, dan tidak pernah menyerahkan apapun saat itu.

Saya tidak pernah berpikir bahwa kemalasan adalah suatu kesalahan.

Tidak pernah.

Faktanya, saya tidak percaya bahwa kemalasan itu ada.

∙ ∙ ∙

Saya adalah psikolog sosial, jadi saya tertarik terutama pada faktor situasional dan kontekstual yang mendorong perilaku manusia. Ketika kamu berusaha untuk memprediksi atau menjelaskan suatu tindakan seseorang, melihat kepada norma sosial, dan konteks dari orang tersebut, biasanya cukup pasti. Kendala situasional biasanya memprediksi perilaku jauh lebih baik daripada kepribadian, kecerdasan, atau sifat-sifat individu.

Jadi ketika saya melihat seorang siswa gagal untuk menyelesaikan tugas, melewatkan tenggat waktu, atau tidak memberikan hasil dalam aspek kehidupan mereka, saya tergerak untuk bertanya: faktor situasional apa yang menahan siswa ini? Kebutuhan apa yang tidak dipenuhi? Dan, ketika datang ke perilaku “kemalasan,” saya secara khusus tergerak untuk bertanya: apa hambatan untuk tindakan yang saya tidak bisa lihat?

Hambatan itu selalu ada. Mengenali hambatan-hambatan tersebut – dan melihat mereka sebagai hal yang sah, diakui – seringkali merupakan langkah pertama untuk memecahkan pola perilaku “malas”.

∙ ∙ ∙

Merupakan hal yang sangat membantu untuk merespon kepada perilaku seseorang yang tidak efektif dengan rasa penasaran daripada suatu anggapan. Saya mempelajari ini dari seorang teman saya, Kimberly Longhofer, seorang penulis dan aktivis (yang menerbitkan dengan nama Mik Everett). Kim bersemangat tentang penerimaan dan akomodasi pada orang-orang disabilitas dan para tunawisma. Tulisan mereka tentang kedua hal tersebut merupakan beberapa karya yang paling mencerahkan dan bias yang pernah saya temui. Sebagian dari itu adalah karena Kim brilian, tetapi juga karena berbagai poin pada hidup mereka, Kim telah menjadi cacat dan tunawisma.

Kim adalah orang yang mengajariku bahwa menilai atau memberi suatu anggapan kepada seorang tunawisma karena ingin membeli alkohol atau rokok merupakan suatu kebodohan. Ketika Anda tidak memiliki rumah, malam itu dingin, dunia menjadi tidak bersahabat, dan semuanya menjadi sangat tidak nyaman. Baik Anda tidur di bawah jembatan, di dalam tenda, atau di sebuah penampungan, sulit untuk beristirahat dengan mudah. Anda mungkin memiliki cedera atau kondisi kronis yang terus-menerus mengganggu Anda, dan memiliki akses yang kecil untuk bisa ke perawatan medis untuk menghadapinya. Anda mungkin tidak memiliki banyak makanan sehat.

Dalam konteks yang tidak nyaman dan terlalu menstimulasi, kebutuhan untuk minum atau beberapa rokok merupakan hal yang masuk akal. Seperti yang Kim jelaskan pada saya, jika Anda berbaring di rasa dingin yang membeku, meminum beberapa alcohol mungkin merupakan satu-satunya cara untuk menghangatkan dan tidur. Ketika Anda kurang gizi, beberapa rokok mungkin merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan rasa lapar. Dan ketika Anda berurusan dengan semua hal ini sembari dengan melawan rasa adiksi, maka ya, terkadang Anda hanya membutuhkan apapun yang akan membuat gejala withdrawal (yang merupakan reaksi negatif yang akan dialami individu ketika ia tidak mengonsumsi obat) hilang, sehingga Anda bisa bertahan hidup.

Beberapa orang yang bukan tunawisma berpikir seperti ini. Mereka ingin memoralisasikan keputusan dari orang miskin, mungkin untuk menghibur diri mereka sendiri mengenai ketidakadilan dunia. Bagi banyak orang, lebih mudah untuk berpikir bahwa tunawisma bertanggung jawab atas penderitaan mereka sendiri daripada mengakui faktor-faktor situasional.

Dan ketika Anda tidak memahami konteks seseorang sepenuhnya – bagaimana rasanya seperti mereka setiap hari, semua kejengkelan atau gangguan kecil dan trauma besar yang mendefinisikan kehidupan mereka – hal yang mudah untuk menanamkan ekspektasi abstrak dan keras pada perilaku seseorang. Semua tunawisma sebaiknya meletakkan botol dan bekerja. Lupakan bahwa sebagian besar dari mereka memiliki gejala kesehatan mental dan penyakit fisik, dan secara terus-menerus berjuang untuk diakui sebagai manusia. Lupakan bahwa mereka tidak dapat istirahat dengan baik atau makanan yang bergizi untuk berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Lupakan bahwa bahkan dalam kehidupan saya yang nyaman dan mudah, saya tidak bisa menjalani beberapa hari tanpa berkeinginan minum atau melakukan pembelian yang tidak bertanggung jawab. Mereka harus melakukan yang lebih baik.

Tetapi mereka telah melakukan yang terbaik dari mereka. Saya kenal orang tunawisma yang bekerja pekerjaan penuh waktu, dan orang yang mengabdikan diri mereka untuk merawat orang lain di komunitas mereka. Banyak orang tunawisma perlu menavigasi birokrasi secara terus menerus, berinteraksi dengan pekerja sosial, pekerja kasus, petugas polisi, staf penampungan (atau tempat tinggal), staf medis, dan banyak kegiatan amal yang bermaksud baik maupun merendahkan. Banyak pekerjaan untuk menjadi seorang tunawisma. Dan ketika seorang tunawisma atau orang miskin kehilangan antusiasme dan membuat “keputusan buruk”, ada alasan yang bagus untuk itu.

Ketika perilaku seseorang tidak masuk akal untuk Anda, hal itu dikarenakan Anda kehilangan satu bagian dari konteks mereka. Sesederhana itu. Saya sangat berterimakasih kepada Kim dan tulisan mereka untuk membuat saya sadar akan fakta ini. Tidak ada kelas psikologi, pada tingkat apapun, mengajarkan saya itu. Tetapi sekarang yang merupakan ‘lensa’ yang saya miliki, saya menemukan diri saya mengaplikasikan kepada semua perilaku yang dikelirukan karena tanda dari kegagalan moral – dan saya belum menemukan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dan berempati dengan.

∙ ∙ ∙

Mari kita lihat pertanda “kemalasan” akademis yang saya yakini tidak lain adalah: penundaan.

Orang suka untuk menyalahkan orang yang penunda karena perilaku mereka. Melepaskan pekerjaan tentu terlihat malas, ke mata yang ‘tidak terlatih’. Bahkan orang yang aktif melakukan penundaan bisa membuat kekeliruan pada perilaku mereka ke kemalasan. Anda seharusnya melakukan sesuatu, dan Anda tidak melakukannya – itu merupakan suatu kegagalan moral bukan? Hal itu berarti Anda berkeinginan lemah, tidak termotivasi, dan malas, benar?

Selama beberapa dekade, penelitian psikologis telah mampu menjelaskan penundaan sebagai masalah fungsi, bukan konsekuensi dari kemalasan. Ketika seseorang gagal untuk memulai proyek yang mereka pedulikan, biasanya dikarenakan antara a) kecemasan mengenai upaya mereka tidak “cukup baik” atau b) bingung mengenai apa langkah pertama dari tugas tersebut. Bukan kemalasan. Faktanya, penundaan lebih seperti ketika tugas itu bermakna dan individu tersebut peduli melakukannya dengan baik.

Ketika Anda ‘lumpuh’ karena takut gagal, atau Anda bahkan tidak tahu bagaimana memulai usaha yang besar, rumit, dan merupakan hal yang sangat sulit untuk menyelesaikannya. Itu tidak ada hubungannya dengan keinginan, motivasi, atau moral yang baik. Penunda bisa bekerja sendiri selama berjam-jam; mereka bisa duduk di depan dokumen yang kosong, tidak melakukan apa-apa, dan menyiksa diri mereka sendiri; mereka bisa menumpuk rasa bersalah lagi dan lagi – tidak ada di antara hal tersebut membuat tugas menjadi lebih mudah. Faktanya, keinginan mereka untuk menyelesaikan tugas dapat memperburuk stress mereka dan membuat memulai dari tugas tersebut menjadi lebih sulit.

Solusinya, sebagai gantinya, adalah untuk melihat apa yang menahan si penunda. Jika kecemasan adalah hambatan terbesar, si penunda sebenarnya perlu pergi dari komputer/buku/dokumen dan ikut dengan aktivitas yang menenangkan. Untuk dicap sebagai “malas” oleh orang lain kemungkinan akan mengarah pada perilaku sebaliknya.

Namun, sering, hambatannya adalah si penunda memiliki tantangan fungsi eksekutif – mereka kesulitan untuk membagi tanggung jawab yang besar menjadi serangkaian diskrit, spesifik, dan tugas yang dipesan. Ini merupakan contoh dari fungsi eksekutif dalam tindakan: Saya telah menyelesaikan disertasi saya (dari proposal ke pengumpulan data ke pertahanan terakhir) dalam sedikit lebih dari setahun. Saya mampu menulis disertasi saya dengan cukup gampang dan cepat karena saya tahu saya perlu a) menyusun penelitian tentang topik tersebut, b) garis besar dokumen, c) menjadwalkan periode penulisan dengan teratur, dan d) membagi dokumen, bagian demi bagian, hari demi hari, sesuai dengan jadwal yang telah saya tentukan sebelumnya.

Tidak ada yang mengajari saya untuk membagi tugas seperti itu. Dan tidak ada yang memaksa saya untuk mengikuti jadwal saya. Menyelesaikan tugas seperti ini konsisten dengan cara kerja otak yang analitis, autistik, dan fokus saya. Kebanyakan orang tidak memiliki kemudahan itu. Mereka membutuhkan struktur eksternal untuk menjaga mereka tetap menulis – pertemuan teratur antara kelompok menulis dengan teman, misalnya – dan jadwal tenggat waktu yang ditentukan oleh orang lain. Ketika berhadapan dengan proyek yang besar, kebanyakan orang menginginkan saran untuk bagaimana cara membagi tugas tersebut menjadi tugas yang lebih kecil, dan linimasa untuk penyelesaiannya. Untuk melihat kemajuannya, kebanyakan orang memerlukan peralatan organisasi, seperti “to-do list”, kalender, buku data, atau silabus.

Membutuhkan atau memanfaatkan dari hal-hal tersebut tidak membuat seseorang malas. Itu hanya berarti bahwa mereka memiliki kebutuhan. Semakin kitra rangkul hal tersebut, semakin kita bisa membantu orang berkembang.

∙ ∙ ∙

Saya memiliki seorang siswa yang melewatkan kelas. Terkadang saya akan melihat ia berlama-lama dekat bangunan, tepat sebelum kelas akan dimulai, ia terlihat lelah. Kelas akan segera dimulai, dan ia tidak muncul. Ketika ia hadir di dalam kelas, ia sedikit menyendiri; ia duduk di belakang kelas, matanya tertunduk, energi yang rendah. Ia memberikan kontribusi kecil dalam kerja kelompok, tetapi tidak pernah berbicara ketika dalam diskusi kelas yang lebih besar.

Banyak dari kolega saya akan melihat siswa ini dan berpikir ia malas, berantakan, atau apatis. Saya tahu ini karena saya pernah mendengar bagaimana mereka bicara mengenai siswa yang berkinerja buruk. Sering ada rasa kemarahan dan kebencian dalam kata-kata mereka dan nada bicaranya – kenapa siswa ini tidak serius dalam kelas saya? Kenapa mereka tidak membuat saya merasa penting, menarik, pintar?

Tetapi kelas saya memiliki unit pada stigma kesehatan mental. Hal ini merupakan gairah saya, karena saya psikolog neuroatypical. Saya tahu betapa tidak adilnya bidang saya bagi orang-orang seperti diri saya. Kelas dan saya membicarakan tentang penilaian yang tidak adil yang diberi terhadap orang-orang dengan penyakit mental; bagaimana depresi diinterpretasikan sebagai kemalasan, bagaimana perubahan suasana hati dijebak sebagai manipulatif, bagaimana orang dengan penyakit mental yang “parah” diasumsikan sebagai tidak kompeten atau berbahaya.

Siswa yang pendiam, yang kadang-kadang melewatkan kelas menonton diskusi ini dengan rasa tertarik yang kuat. Setelah kelas, ketika orang-orang keluar dari ruangan, ia kembali dan diminta untuk berbicara dengan saya. Kemudian ia mengungkapkan bahwa ia memiliki penyakit mental dan secara aktif mengobatinya. Ia sibuk dengan terapi dan pengobatan yang berganti, dan semua efek samping yang menyertainya. Terkadang, ia tidak bisa meninggalkan rumah atau duduk diam di dalam kelas selama berjam-jam. Ia tidak berani memberitahu profesor-profesornya yang lain karena hal inilah ia melewatkan kelas dan terlambat, kadang-kadang, pada tugas; mereka akan berpikir bahwa ia menggunakan penyakitnya sebagai alasan. Tetapi ia percaya bahwa saya akan mengerti.

Dan saya mengerti. Dan saya sangat, sangat marah karena siswa ini dibuat merasa bertanggung jawab atas gejala yang ia alami. Ia menyeimbangkan kursus penuh, pekerjaan paruh waktu, dan yang sedang ia jalani, pengobatan kesehatan mental yang serius. Dan ia mampu memenuhi kebutuhannya dan berkomunikasi dengan orang lain. Ia bukanlah seorang pemalas. Saya mengatakan hal itu.

Setelah itu ia mengambil lebih banyak kelas bersama saya , dan perlahan saya melihatnya keluar dari cangkangnya dengan pelan-pelan. Menjelang tahun junior dan seniornya, ia aktif, kontributor jujur kepada kelas – ia bahkan memutuskan untuk berbicara terbuka dengan teman-temannya mengenai penyakit mentalnya. Ketika diskusi kelas, ia menantang saya dan menanyakan pertanyaan menyelidik yang luar biasa. Ia membagikan banyak sekali contoh-contoh media dan peristiwa terkini mengenai fenomena psikologis dengan kami. Ketika ia sedang memiliki hari yang buruk, ia mengatakan kepada saya, dan saya membiarkan ia melewatkan kelas. Profesor-profesor lainnya – termasuk yang di departemen psikologi – tetap menghakiminya, tetapi di lingkungan dimana hambatannya diakui, ia berkembang.

∙ ∙ ∙

Selama bertahun-tahun, di sekolah yang sama, saya bertemu banyak sekali siswa yang direndahkan karena hambatan-hambatan di kehidupan mereka tidak diakui. Ada seorang pemuda dengan OCD yang selalu datang terlambat ke kelas, karena adanya kompulsi yang terkadang membuat ia terjebak dalam suatu tempat dalam beberapa saat. Ada seorang penyintas dari hubungan abusif, yang sedang memproses traumanya dalam janji terapi tepat sebelum kelas saya setiap minggu. Ada seorang wanita muda yang telah diperkosa oleh temannya – dan harus terus menghadiri kelas dengan temannya itu, ketika sekolah sedang menginvestigasi kasus tersebut.

Para siswa ini semuanya dating kepada saya dengan sukarela, dan berbagi cerita apa yang membosankan mereka. Karena saya mendisuksikan penyakit mental, trauma, dan stigma di dalam kelas saya, mereka tahu saya akan mengerti. Dan dengan beberapa akomodasi, akademis mereka berkembang. Mereka memperoleh rasa percaya diri, melakukan upaya pada tugas yang mengintimidasi mereka, menaikkan nilai mereka, mulai mempertimbangkan kelulusan sekolah dan magang. Saya selalu menemukan diri saya mengagumi mereka. Ketika saya kuliah, saya sama sekali tidak sadar akan diri saya sendiri. Saya bahkan belum memulai proyek belajar seumur hidup untuk meminta bantuan.

∙ ∙ ∙

Siswa dengan hambatan tidak selalu diperlakukan dengan kebaikan seperti itu oleh sesama profesor psikologi saya. Satu kolega, khususnya, terkenal buruk karena tidak menyediakan ujian ulang dan tidak mengizinkan keterlambatan. Tidak peduli situasi siswa, ia begitu kukuh dengan persyaratannya. Tidak ada penghalang yang tidak dapat diatasi, dalam pikirannya; tidak ada batasan yang dapat diterima. Orang-orang berusaha keras di kelasnya. Mereka merasa malu dengan riwayat serangan seksual mereka, gejala kecemasan mereka, episode depresi mereka. Ketika seorang siswa yang berperforma buruk di kelasnya dan berperforma baik di kelas saya, ia curiga.

Secara moral sangat menjijikkan bagi saya bahwa setiap pendidik akan begitu memusuhi orang-orang yang seharusnya mereka layani. Sangat menyebalkan, bahwa orang yang melakukan teror ini adalah seorang psikolog. Ketidakadilan dan pengabaian hal ini membuat saya berkaca-kaca setiap kali saya mendiskusikannya. Ini adalah sikap umum di banyak kalangan pendidikan, tetapi tidak ada siswa yang pantas untuk menjumpainya.

∙ ∙ ∙

Saya tahu, tentunya, bahwa pendidik tidak diajari untuk merefleksikan pada apa hambatan siswa yang tidak terlihat. Beberapa universitas bangga karena menolak menampung mahasiswa penyandang disabilitas atau sakit mental – mereka mengelirukan kekejaman untuk ketegasan intelektual. Dan, karena sebagian besar profesor-profesor adalah orang-orang yang berhasil secara akademis dengan mudah, mereka memiliki kesulitan mengambil perspektif seseorang dengan memperjuangkan fungsi eksekutif, kelebihan sensorik, depresi, riwayat melukai diri sendiri, kecanduan, atau gangguan makan. Saya dapat melihat faktor eksternal yang menyebabkan masalah-masalah ini. Seperti yang saya tahu bahwa perilaku “malas” bukanlah pilihan yang aktif, saya tahu bahwa sikap menghakimi, elitis biasanya muncul dari ketidakpedulian situasional.

Dan karena itulah saya menulis ini. Saya berharap untuk menyadarkan rekan-rekan pendidik saya – pada semua tingkat – kepada fakta bahwa jika seorang siswa sedang berjuang, mereka mungkin tidak memilih untuk melakukannya. Mereka mungkin ingin melakukannya dengan baik. Mereka mungkin sedang berusaha. Lebih luasnya, saya ingin semua orang untuk mengambil pendekatan yang penuh rasa ingin tahu dan empatik kepada individu yang ingin mereka hakimi sebagai “malas” atau tidak bertanggung jawab.

Ketika seseorang tidak bisa lepas dari Kasur, ada sesuatu yang membuat mereka merasa lelah. Jika seorang siswa tidak menulis dokumen, ada beberapa aspek dari tugas tersebut yang mereka tidak bisa lakukan tanpa bantuan. Jika seorang karyawan melewatkan tenggat waktu secara terus-menerus, ada sesuatu yang membuat organisasi dan tenggat waktu pertemuan menjadi sulit. Bahkan ketika seseorang aktif memilih untuk sabotase diri, ada alasan untuk itu – rasa takut yang sedang mereka hadapi , beberapa kebutuhan tidak ditemui, kurangnya ekspresi harga diri.

Orang-orang tidak memilih untuk gagal atau mengecewakan. Tidak ada yang ingin merasa tidak mampu, apatis, atau tidak efektif. Jika Anda melihat ke tindakan seseorang (atau kelambanan) dan hanya melihat kemalasan, Anda melewatkan detail utama. Selalu ada penjelasan. Selalu ada hambatan. Hanya karena Anda tidak bisa melihatnya, atau tidak melihat mereka sebagai sesuatu yang diakui, tidak berarti bahwa mereka tidak ada. Lihatlah lebih jelas.

Mungkin Anda tidak selalu dapat melihat perilaku manusia dengan cara ini. Tidak apa-apa. Sekarang kamu bisa. Cobalah.

Hukuman Mati Ditinjau dari Sisi Psikologis

Pada Minggu pagi, 7 Maret 2015, Juneman Abraham tampil dalam acara Indonesia Pagi di Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang membahas Hukuman Mati Ditilik dari Aspek Psikologi.

Juneman menjelaskan bahwa Hukum perlu memperoleh masukan dari Psikologi dan ilmu-ilmu sosial lain dalam hal hukuman mati. Riset-riset empiris dalam ilmu-ilmu tersebut telah menunjukkan bahwa tidak ada efek jera dari hukuman mati. Dengan demikian argumen yang mengatakan bahwa hukuman mati memiliki kegunaan dalam memulihkan disharmoni sosial tidak memiliki dasar. Sedikitnya ada tiga sebab mengapa hukuman mati tidak memiliki efek deteren. Pertama, bahwa pada saat melakukan kejahatan, diri orang sedemikian terlibatnya sehingga pertimbangan tentang konsekuensi seperti hukuman mati tidak mendapat tempat. Kedua, bahwa persepsi subjektif seseorang mengenai peluang bahwa dirinya akan tertangkap atau dihukum lebih memainkan peran dalam menimbulkan efek jera ketimbang jenis hukuman (seperti hukuman mati). Ketiga, berdasarkan prinsip kontiguitas dalam psikologi pemberian hukuman, hukuman yang efektif adalah hukuman yang diberikan segera setelah perbuatan jahat dilakukan; padahal dalam hukuman mati mustahil ada jarak waktu sesingkat itu.

 

Juneman Abraham @ TVRI - Indonesia Pagi

Juneman Abraham @ TVRI – Indonesia Pagi

Di samping itu, Juneman mencermati bahwa dukungan publik yang meluas terhadap hukuman mati lebih disebabkan karena adanya misinformasi di kalangan masyarakat mengenai proses dan konsekuensi dari hukuman mati itu sendiri. Sebagai contoh, masyarakat berjarak dari proses-proses yang menghantar pada hukuman mati. Apakah masyarakat mengetahui secara persis bahwa proses pengambilan keputusan hukuman mati sudah benar-benar bersih dari korupsi, sudah sungguh-sungguh bebas dari motif dan kepentingan politik, dan kepentingan-kepentingan lainnya? Kasus-kasus salah vonis menunjukkan bahwa hukum di negara kita belum mencapai keadilan paripurna, sehingga hukuman mati belum tepat diterapkan dalam konteks situasi yang demikian. Dari sisi konsekuensi hukuman mati yang bersifat retributif (ganti rugi) atas kerugian yang diderita korban dan masyarakat; apakah masyarakat mengetahui bahwa ada hukuman yang jauh lebih “setimpal” daripada hukuman mati? Hukuman penjara seumur hidup, tanpa remisi, dan disertai kewajiban bagi si terhukum untuk menunjukkan itikad baik kepada keluarga korban jauh lebih berat ketimbang hukuman mati. Pencitraan dalam media massa seperti film juga menunjukkan bahwa solusi yang adil atas suatu kejahatan adalah bahwa si penjahat mati ditembak. Kita diajarkan bahwa kita boleh mengalahkan kekerasan dengan kekerasan. Ini adalah kesalahan berpikir yang tidak menguntungkan bagi penghargaan terhadap hak hidup siapapun.

Ada satu lagi keberatan terhadap dijatuhinya hukuman mati. Perilaku, termasuk perilaku jahat, tidaklah dapat dilepaskan dari konteks sosial dari pelaku kejahatan. Kejahatan seringkali bukan semata-mata merupakan akibat dari individualitas seseorang (kepribadian, sifat, genetik), melainkan akibat interaksi juga dengan  rentannya seseorang mengalami pengaruh-pengaruh sosial. Negara yang mewakili masyarakat tidak dapat menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang yang melakukan kejahatan di mana masyarakat selalu memiliki kemungkinan berkontribusi terhadap kejahatan tersebut. Juneman mengambil padanan contoh dengan kemiskinan struktural, di mana kemiskinan ini disebabkan bukan karena individu malas, tidak gigih bekerja, melainkan karena struktur sosial itu sendiri membatasi dan memiskinkan masyarakat. Terdapat pula bukti-bukti, misalnya, bahwa pelaku pembulian dari suatu segi merupakan “korban” dari sistem sosial. Untuk itu, sebelum struktur dan sistem sosial itu benar-benar dibenahi, hukuman mati tidaklah layak dijatuhkan.

Juneman Abraham @ Indonesia Pagi - TVRI, 7 Maret 2015

Juneman Abraham @ Indonesia Pagi – TVRI, 7 Maret 2015

 

Menumbuhkan dan Merawat Asa Perubahan Perilaku Pada Laki-laki Pelaku Kekerasan Melalui Konseling

Pada 14-16 dan 21-23 November 2014, dosen Jurusan Psikologi BINUS, Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. berpartisipasi dalam pelatihan konseling terhadap klien laki-laki (male counseling) di Hotel Cipta, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pelatihan ini merupakan hasil kerjasama antara Yayasan PULIH dan RutgersWPF.

Selama enam hari ia menjalani pelatihan dan mengikuti case conference (sesi pembelajaran dari kasus) untuk kasus-kasus yang sesuai dengan topik konseling laki-laki (konseling pelaku kekerasan). Pelatihan ini diikuti oleh 24 peserta (psikolog, ilmuwan psikologi, mitra PULIH, fasilitator serta aktivis Laki-laki Peduli) yang memenuhi persyaratan, antara lain pernah mengikuti seminar/pelatihan tentang jender dan maskulinitas, bersedia hadir setiap hari secara penuh (pukul 08.30 s/d 17.30 WIB), dan bersedia menerapkan ilmunya untuk membantu PULIH manakala membutuhkan konselor untuk melakukan konseling pelaku kekerasan/ konseling laki-laki.

Latar belakang pelatihan ini adalah sebagai berikut: Di berbagai bagian di dunia, muncul kesadaran bahwa untuk dapat memutus siklus kekerasan, laki-laki juga perlu menjadi target dalam intervensi berbasis jender. Banyak perempuan, baik penyintas (survivor) KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) maupun yang memberikan layanan, menyadari bahwa KDRT tidak akan dapat dihapuskan bila intervensi hanya difokuskan pada perempuan. Program Konseling bagi Laki-laki adalah bagian dari program Laki-Laki Peduli (MenCare+) yang secara khusus mempromosikan keterlibatan laki-laki dalam mempromosikan kesetaraan jender.

Dalam pelatihan ini, materi yang dibelajarkan antara lain (1) pemahaman tentang seks dan jender, (2) pemahaman mengenai maskulinitas, (3) menjawab pertanyaan mengapa laki-laki ‘pelaku’ melakukan kekerasan, (4) Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis gender (KTPBG) dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); karakteristik pelaku kekerasan, pasangan dan anaknya, (5) strategi intervensi berbasiskan model ekologi, (6) model perubahan perilaku, (7) diskusi kasus dan hasil penelitian tentang laki-laki pelaku kekerasan, (8) teknik-teknik intervensi, (9) bermain peran (praktik memberikan konseling), dan (10) debriefing.

Juneman, SCC Community Psychology, BINUS University (kedua dari kanan) mengikuti salah satu sesi dalam Pelatihan Male Counseling

Juneman, SCC Community Psychology, BINUS University (kedua dari kanan) mengikuti salah satu sesi dalam Pelatihan Male Counseling

 

Di samping prinsip-prinsip dan teknik-teknik umum konseling yang dipelajari dalam pelatihan ini, pelatihan ini juga memberikan wawasan mengenai perilaku kekerasan yang menjadi target intervensi pengubahan. Diingatkan bahwa kekerasan itu berwajah banyak dan seringkali berpangkal pada relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam budaya patriarki (budaya yang mengistimewakan laki-laki; perempuan = ‘second class’). Dengan demikian, ada hal yang spesial dari konseling ini. Program MenCare (Male Counseling) ini memandang kekerasan dalam relasi bukan hanya merupakan persoalan miskomunikasi antar pasangan (sehingga hanya perlu diberikan keterampilan berkomunikasi), bukan hanya persoalan mengatasi rasa marah secara lebih asertif (sehingga hanya perlu diberikan keterampilan mengelola emosi), bukan pula hanya persoalan bagaimana memperlakukan pasangan. Yang sering luput dari perhatian umum, dan ditantang untuk didefinisikan ulang adalah hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya inilah yang dibedah dalam teori-teori feminis, yakni mendudukkan persoalan ketidakadilan jender pada tempatnya dan membongkar relasi yang tidak setara itu.

Pelatihan ini juga memberikan wawasan mengenai siklus kekerasan, serta mengapa korban banyak yang ‘memilih’ tinggal/bertahan di dalam siklus tersebut. Di samping itu, pelatihan ini membekali konselor agar memiliki keyakinan dan sikap yang optimistis mengenai perubahan perilaku dan prosesnya (walau disadari: tidak bisa serta-merta) pada sasaran intervensi, yakni laki-laki pelaku kekerasan, serta tidak lupa berjejaring dengan support systems yang sejalan dengan maksud dan tujuan intervensi. Konselor juga diajak untuk memahami kondisi sosial-kultural masyarakat yang cenderung ‘membela’ hegemoni maskulinitas dan menunjukkan tingkat ‘permisivitas’ terhadap kekerasan. Banyak pula proses legal-formal yang sebaiknya dipahami dan dipertimbangkan oleh konselor, dan oleh karena itu konselor dalam pelatihan ini dipapar dengan peraturan yang berlaku di negeri ini yang relevan dengan kekerasan dalam relasi dan konsekuensinya.

Model ekologis yang lebih komprehensif dalam memetakan sebab-sebab kekerasan memberikan bekal kepada para konselor mengenai kelebihan dan kelemahan dari berbagai penjelasan tentang kekerasan Oleh karenanya, muncul insight bahwa intervensi pun hendaknya diberikan dalam berbagai lapisan ekologi manusia. Di sinilah satu lagi letak kespesialan dari konseling ini, yakni konseling berperspektif ekologis yang menantang dominasi budaya patriarki serta memotivasi ‘power sharing antara laki-laki dan perempuan.

 

Foto Bersama Fasilitator dan Peserta Pelatihan Male Counseling

Foto Bersama Fasilitator dan Peserta Pelatihan Male Counseling

 

Konselor juga diberikan pemahaman mengenai multi-perannya, menegakkan prinsip-prinsip utama konseling, serta bagaimana mengelola dirinya. Semua ini turut dikembangkan melalui bermain peran dan simulasi, yang kemudian dievaluasi melalui sesi-sesi sharing. Yang perlu disadari adalah bahwa dinamika konseling pelaku kekerasan itu jauh lebih fluktuatif dibandingkan dengan dinamika konseling umum, sehingga persiapan dan kapasitas konselor perlu terus ditingkatkan.

Masih banyak rincian pelatihan yang dipelajari dalam konseling ini, yang tidak dapat dijabarkan satu persatu dalam kesempatan ini. Yang jelas, di akhir sesi konseling, seluruh peserta, termasuk Juneman, secara sukarela menandatangani Deklarasi Kepatuhan Pada Prinsip Kesetaraan dan Hubungan Tanpa Kekerasan. Inti dari deklarasi ini adalah pernyataan untuk mempromosikan nilai-nilai keterbukaan, tanpa kekerasan, dan masyarakat demokratis, yang didasarkan pada martabat manusia, pencapaian kesetaraan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia dan kebebasan.

 

Pelatihan yang diikuti merupakan kerjasama antara RutgersWPF dengan Yayasan PULIH

Pelatihan yang diikuti merupakan kerjasama antara RutgersWPF dengan Yayasan PULIH

 

Partisipasi dalam kegiatan ini sejalan dengan amanat Rektor BINUS University, Prof Harjanto Prabowo, bahwa BINUS University tidak hanya akan mencapai visinya menjadi World Class University, namun juga betul-betul memberikan kontribusi yang dapat dirasakan manfaatnya, baik secara nasional maupun global, yang dalam pelatihan ini diwujudkan dengan komitmen memfasilitasi perubahan perilaku laki-laki pelaku kekerasan dalam rangka menyejahterakan masyarakat.

 

Partisipasi ini juga merupakan salah satu rangkaian dari Kegiatan Akademik Jurusan Psikologi BINUS University, yakni Kuliah-kuliah Tamu sebagai bagian dari Program Global Learning System (GLS) Mata Kuliah Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi hasil kerjasama antara Jurusan Psikologi dan Yayasan PULIH pada tanggal 10 Oktober 2014 (narasumber: Dr. Rocky Gerung – “Mereview konstruksi sosial yang dilekatkan pada laki-laki“), 24 Oktober 2014 (narasumber: Eko Bambang Subiantoro – “Mengajak laki-laki untuk terlibat pada isu stop kekerasan terhadap perempuan”), 1 November 2014 (narasumber: Dr. Nur Imam Subono – “Melibatkan laki-laki dalam mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan”) dan 8 November 2014 (Irma S Martam – “Social Marketing”), serta Seminar Gender in Justice yang diadakan oleh Mahasiswa Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi (LA64) pada 17 Januari 2015. (JA)