Pada 17 Oktober 2014, Kelas Psikologi Forensik, Jurusan Psikologi BINUS, di bawah asuhan dosen Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. menyelenggarakan kuliah tamu sebagai bagian dari program Global Learning System (GLS), dengan narasumber Drs. Arif Nurcahyo, M.A., Psikolog. Beliau merupakan mantan Kepala Bagian Psikolog Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Polda Metro Jaya, yang saat ini menjabat sebagai Asesor Utama SDM Mabes Polri dan pengurus Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) Himpunan Psikologi Indonesia. Topik kuliah tersebut adalah “From Dangerousness to Risk Assessment”.
Dalam paparannya, Arif Nurcahyo menyampaikan poin-poin sebagai berikut:
The Committee on Ethical Guidelines for Forensic Psychology mendefinisikan psikologi forensik sebagai semua bentuk layanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum.
Tugas psikolog Polri dalam pemeriksaan kasus merupakan bagian kecil dari praktik Psikologi Forensik.
Terdapat gejala meningkatnya kriminalitas secara kuantitas dan kualitas yang bermuatan Psikologis.
Belum sepenuhnya psikologi memberi sumbangsih ilmu/profesi dan diterima di dalam sistem hukum. Kompetensi psikolog belum dipahami dan dimanfaatkan.
Psikolognya juga tidak selalu tahu harus melakukan apa.
Perbedaan antara psikolog klinis dengan psikolog forensik (mengutip R. J. Craigh): (1) Interview psikologi klinis menggunakan pendekatan empatik, sedangkan psikologi forensik dengan pendekatan investigatif, (2) Tujuan psikologi klinis adalah membantu klien, sementara psikologi forensik bertujuan membantu sistem/proses, (3) Sesi pertemuan psikologi klinis panjang dan berapa kali, psikologi forensik lebih terbatas (1-2 kali pertemuan dan sesuai standar yang dipersyaratkan), (4) Psikologi forensik secara etika harus menjelaskan bahwa semua informasi yang didapat bisa digunakan proses peradilan; psikologi klinis tidak perlu, (5) Psikologi klinis hanya fokus pada masalah klien, sementara psikologi forensik harus mempertimbangkan aspek hukum dari masalah yang ditanganinya (berhadapan dengan sistem PERADILAN), dan (5) Hasil pemeriksaan psikologi forensik memiliki risiko dan konsekuensi yang jelas, misal: kehilangan hak asuh, seseorang bisa masuk penjara, dll.
Asesmen risiko merupakan metode sistimatis untuk menentukan apakah suatu kegiatan memiliki risiko yang dapat diterima atau tidak. Ada penilaian risiko, proses analisis, dan menafsirkan risiko dengan kegiatan dasar tertentu.
Asesmen risiko meliputi: (1) Risk Identification, mengidentifikasi risiko yang mungkin terjadi (kategorisasi), (2) Risk Analysis, menganalisis risiko yang mungkin terjadi (efek samping/kerugian, upaya penanggulangan, dlsb), dan (3) Risk Evaluation, pembentukan hubungan risiko dan manfaat dari potensi bahaya atau dampak yang ditimbulkan.
Fungsi asesmen risiko adalah: (1) Menilai berbagai jenis bencana yang mungkin terjadi dan akibat yang bakal ditimbulkan (penyimpangan-penyimpangan proses hukum), (2) Mencari tahu bagaimana cara organisasi untuk mengetahuinya (menegakkan hukum), dan (3) Menyusun/menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman (proses hukum yang adil).
Bentuk kegiatan asesmen risiko (mengidentifikasi Kebahayaan dan kemungkinan efek dari Kebahayaan): (1) Menentukan Ruang Lingkup dan Metodologi Penilaian, (2) Mengumpulkan dan Menganalisis Data, dan (3) Menafsirkan Hasil Analisis Risiko.
Menentukan Ruang Lingkup dan Metodologi Penilaian, mencakup: (1) Identifikasi sistem yang dipertimbangkan, bagian sistem yang akan dianalisis, dan metode analisis yang akan digunakan, (2) Fokus Asesmen pada area tertentu, termasuk memperhitungkan risiko, dan (3) Pertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi: fase dalam siklus sistem, kepentingan relatif, besar dan jenis.
Mengumpulkan dan Menganalisis Data (menghindari penumpukan data tapi tidak dapat dianalisis, dlsb), mencakup: (1) Penilaian Aset (informasi-dampak, dlsb), (2) Penilaian Konsekuensi (tingkat kesukaran-bahaya-penolakan, dlsb), (3) Identifikasi Ancaman (potensi kebahayaan), (4) Analisis Perlindungan (efektivitas tujuan, dlsb), (5) Analisis Kerentanan (kontrol terhadap eksploitasi), dan (6) Penilaian Kemungkinan (risiko secara komprehensif).
Menafsirkan Hasil Analisis Resiko mencakup: (1) Memperhitungkan hasil yang diperoleh (kegunaan) dan biaya yang dikeluarkan (keseimbangan input-output), (2) Membatasi interpretasi yang tidak didukung data/perencanaan.
Tugas psikolog forensik dalam penyelidikan: (1) Terkait dengan pelaku adalah melakukan criminal profiling. Psikolog memberikan gambaran tentang profil pelaku kejahatan (the most probable suspect) yang belum terungkap dan sedang dalam penyelidikan Kepolisian, sehingga Kepolisian dapat lebih memfokuskan usaha pencarian pelaku tindak kejahatan tersebut; (2) Terkait dengan tersangka pelaku adalah melakukan Asesmen Psikologi kepada tersangka pelaku untuk memberikan gambaran tentang profil pelaku kejahatan berkaitan dengan dinamika motif dan pertanggung jawaban terhadap kasus yang disangkakan, serta mempersiapkan diri sebagai saksi ahli (apabila hasil asesmen psikologi belum sepenuhnya dimengerti perangkat hukum).
Contoh Langkah Asesmen: (1) Diskusi dengan penyidik tentang Anatomi Kasus, mendalami profil korban dan lingkungan tempat tinggal, dlsb, (2) Merencanakan Asesmen Psikologis terhadap orang-orang di dekat korban, (3) Mendeteksi potensi dan kondisi psikologi secara umum, ada/tidaknya keterbatasan aspek psikologis tertentu (mendeteksi kondisi intelektualitas, kepribadian serta kondisi psikologis lainnya terutama indikasi psikopatologis), (4) Melakukan asesmen psikologi berkaitan kondisi berisiko dan kekhasan masing-masing subyek berkaitan dengan kasus (kehidupan sehari-hari, perilaku seksual, pola asuh masa lalu, dlsb), (5) Memfokuskan kepada sejauh mana kualitas relasi subyek dengan korban, (6) Dikoordinasikan dan dikomunikasikan dengan penyidik tentang langkah-langkah yang telah, sedang dan akan dilakukan serta saran-saran terdahulu yang kita berikan, dan (7) Berani mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan dan saat diskusi, mengaitkan dengan teori, dlsb.
Psikolog forensik hendaknya sanggup melakukan pemeriksaan psikologi di tempat yang terbatas (di tahanan/lapas), TKP (tempat kejadian perkara), atau lokasi lain yang masih relevan, terkadang di bawah tekanan. Dalam persidangan, psikolog hendaknya memiliki ketahanan mental yang kuat/tidak goyah (sesuai dengan kaidah profesi) saat mendapat pertanyaan yang kadang menyerang, menyakitkan.
Psikolog forensik hendaknya mampu menjaga kerahasiaan terkait dengan kasus yang ditanganinya (mengingat saat ini media seringkali melakukan investigasi terkait kasus). Perlu juga dicek Kode etik Himpunan Psikologi Indonesia khususnya terkait dengan psikologi forensik.
Arif Nurcahyo selanjutnya memberikan sharing tentang aplikasi pengetahuan di atas dalam kasus-kasus yang pernah ditanganinya, dan disusuli dengan diskusi bersama mahasiswa. Mahasiswa merespons sangat positif kuliah tamu yang sangat menarik dan membuka wawasan ini. Pertanyaan kepada narasumber terus diajukan oleh mahasiswa sampai waktu perkuliahan berakhir.
Global Learning System merupakan kesinambungan dari sistem pembelajaran berbagai kanal (multi-channel) yang selama ini telah diterapkan di BINUS. Kegiatan ini sejalan dengan amanat Rektor BINUS University, Prof Harjanto Prabowo, bahwa dengan sistem inilah mahasiswa berada di dunia yang diibaratkan dengan “kampus global”, yaitu tempat belajar sepanjang waktu.
Pada 17 Oktober 2014, Kelas Psikologi Forensik, Jurusan Psikologi BINUS, di bawah asuhan dosen Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. menyelenggarakan kuliah tamu sebagai bagian dari program Global Learning System (GLS), dengan narasumber Drs. Arif Nurcahyo, M.A., Psikolog. Beliau merupakan mantan Kepala Bagian Psikolog Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Polda Metro Jaya, yang saat ini menjabat sebagai Asesor Utama SDM Mabes Polri dan pengurus Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) Himpunan Psikologi Indonesia. Topik kuliah tersebut adalah “From Dangerousness to Risk Assessment”.
Dalam paparannya, Arif Nurcahyo menyampaikan poin-poin sebagai berikut:
The Committee on Ethical Guidelines for Forensic Psychology mendefinisikan psikologi forensik sebagai semua bentuk layanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum.
Tugas psikolog Polri dalam pemeriksaan kasus merupakan bagian kecil dari praktik Psikologi Forensik.
Terdapat gejala meningkatnya kriminalitas secara kuantitas dan kualitas yang bermuatan Psikologis.
Belum sepenuhnya psikologi memberi sumbangsih ilmu/profesi dan diterima di dalam sistem hukum. Kompetensi psikolog belum dipahami dan dimanfaatkan.
Psikolognya juga tidak selalu tahu harus melakukan apa.
Perbedaan antara psikolog klinis dengan psikolog forensik (mengutip R. J. Craigh): (1) Interview psikologi klinis menggunakan pendekatan empatik, sedangkan psikologi forensik dengan pendekatan investigatif, (2) Tujuan psikologi klinis adalah membantu klien, sementara psikologi forensik bertujuan membantu sistem/proses, (3) Sesi pertemuan psikologi klinis panjang dan berapa kali, psikologi forensik lebih terbatas (1-2 kali pertemuan dan sesuai standar yang dipersyaratkan), (4) Psikologi forensik secara etika harus menjelaskan bahwa semua informasi yang didapat bisa digunakan proses peradilan; psikologi klinis tidak perlu, (5) Psikologi klinis hanya fokus pada masalah klien, sementara psikologi forensik harus mempertimbangkan aspek hukum dari masalah yang ditanganinya (berhadapan dengan sistem PERADILAN), dan (5) Hasil pemeriksaan psikologi forensik memiliki risiko dan konsekuensi yang jelas, misal: kehilangan hak asuh, seseorang bisa masuk penjara, dll.
Asesmen risiko merupakan metode sistimatis untuk menentukan apakah suatu kegiatan memiliki risiko yang dapat diterima atau tidak. Ada penilaian risiko, proses analisis, dan menafsirkan risiko dengan kegiatan dasar tertentu.
Asesmen risiko meliputi: (1) Risk Identification, mengidentifikasi risiko yang mungkin terjadi (kategorisasi), (2) Risk Analysis, menganalisis risiko yang mungkin terjadi (efek samping/kerugian, upaya penanggulangan, dlsb), dan (3) Risk Evaluation, pembentukan hubungan risiko dan manfaat dari potensi bahaya atau dampak yang ditimbulkan.
Fungsi asesmen risiko adalah: (1) Menilai berbagai jenis bencana yang mungkin terjadi dan akibat yang bakal ditimbulkan (penyimpangan-penyimpangan proses hukum), (2) Mencari tahu bagaimana cara organisasi untuk mengetahuinya (menegakkan hukum), dan (3) Menyusun/menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman (proses hukum yang adil).
Bentuk kegiatan asesmen risiko (mengidentifikasi Kebahayaan dan kemungkinan efek dari Kebahayaan): (1) Menentukan Ruang Lingkup dan Metodologi Penilaian, (2) Mengumpulkan dan Menganalisis Data, dan (3) Menafsirkan Hasil Analisis Risiko.
Menentukan Ruang Lingkup dan Metodologi Penilaian, mencakup: (1) Identifikasi sistem yang dipertimbangkan, bagian sistem yang akan dianalisis, dan metode analisis yang akan digunakan, (2) Fokus Asesmen pada area tertentu, termasuk memperhitungkan risiko, dan (3) Pertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi: fase dalam siklus sistem, kepentingan relatif, besar dan jenis.
Mengumpulkan dan Menganalisis Data (menghindari penumpukan data tapi tidak dapat dianalisis, dlsb), mencakup: (1) Penilaian Aset (informasi-dampak, dlsb), (2) Penilaian Konsekuensi (tingkat kesukaran-bahaya-penolakan, dlsb), (3) Identifikasi Ancaman (potensi kebahayaan), (4) Analisis Perlindungan (efektivitas tujuan, dlsb), (5) Analisis Kerentanan (kontrol terhadap eksploitasi), dan (6) Penilaian Kemungkinan (risiko secara komprehensif).
Menafsirkan Hasil Analisis Resiko mencakup: (1) Memperhitungkan hasil yang diperoleh (kegunaan) dan biaya yang dikeluarkan (keseimbangan input-output), (2) Membatasi interpretasi yang tidak didukung data/perencanaan.
Tugas psikolog forensik dalam penyelidikan: (1) Terkait dengan pelaku adalah melakukan criminal profiling. Psikolog memberikan gambaran tentang profil pelaku kejahatan (the most probable suspect) yang belum terungkap dan sedang dalam penyelidikan Kepolisian, sehingga Kepolisian dapat lebih memfokuskan usaha pencarian pelaku tindak kejahatan tersebut; (2) Terkait dengan tersangka pelaku adalah melakukan Asesmen Psikologi kepada tersangka pelaku untuk memberikan gambaran tentang profil pelaku kejahatan berkaitan dengan dinamika motif dan pertanggung jawaban terhadap kasus yang disangkakan, serta mempersiapkan diri sebagai saksi ahli (apabila hasil asesmen psikologi belum sepenuhnya dimengerti perangkat hukum).
Contoh Langkah Asesmen: (1) Diskusi dengan penyidik tentang Anatomi Kasus, mendalami profil korban dan lingkungan tempat tinggal, dlsb, (2) Merencanakan Asesmen Psikologis terhadap orang-orang di dekat korban, (3) Mendeteksi potensi dan kondisi psikologi secara umum, ada/tidaknya keterbatasan aspek psikologis tertentu (mendeteksi kondisi intelektualitas, kepribadian serta kondisi psikologis lainnya terutama indikasi psikopatologis), (4) Melakukan asesmen psikologi berkaitan kondisi berisiko dan kekhasan masing-masing subyek berkaitan dengan kasus (kehidupan sehari-hari, perilaku seksual, pola asuh masa lalu, dlsb), (5) Memfokuskan kepada sejauh mana kualitas relasi subyek dengan korban, (6) Dikoordinasikan dan dikomunikasikan dengan penyidik tentang langkah-langkah yang telah, sedang dan akan dilakukan serta saran-saran terdahulu yang kita berikan, dan (7) Berani mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan dan saat diskusi, mengaitkan dengan teori, dlsb.
Psikolog forensik hendaknya sanggup melakukan pemeriksaan psikologi di tempat yang terbatas (di tahanan/lapas), TKP (tempat kejadian perkara), atau lokasi lain yang masih relevan, terkadang di bawah tekanan. Dalam persidangan, psikolog hendaknya memiliki ketahanan mental yang kuat/tidak goyah (sesuai dengan kaidah profesi) saat mendapat pertanyaan yang kadang menyerang, menyakitkan.
Psikolog forensik hendaknya mampu menjaga kerahasiaan terkait dengan kasus yang ditanganinya (mengingat saat ini media seringkali melakukan investigasi terkait kasus). Perlu juga dicek Kode etik Himpunan Psikologi Indonesia khususnya terkait dengan psikologi forensik.
Arif Nurcahyo selanjutnya memberikan sharing tentang aplikasi pengetahuan di atas dalam kasus-kasus yang pernah ditanganinya, dan disusuli dengan diskusi bersama mahasiswa. Mahasiswa merespons sangat positif kuliah tamu yang sangat menarik dan membuka wawasan ini. Pertanyaan kepada narasumber terus diajukan oleh mahasiswa sampai waktu perkuliahan berakhir.
Global Learning System merupakan kesinambungan dari sistem pembelajaran berbagai kanal (multi-channel) yang selama ini telah diterapkan di BINUS. Kegiatan ini sejalan dengan amanat Rektor BINUS University, Prof Harjanto Prabowo, bahwa dengan sistem inilah mahasiswa berada di dunia yang diibaratkan dengan “kampus global”, yaitu tempat belajar sepanjang waktu.
[ Refresh/Reload atau CTRL & F5 untuk memperoleh isi terbaru. Kunjungi juga http://juneman.medium.com dan http://junemanblog.wixsite.com/blog ]
Mahasiswa Psikologi Binus Belajar dari Psikolog Forensik Mabes Polri
Pada 17 Oktober 2014, Kelas Psikologi Forensik, Jurusan Psikologi BINUS, di bawah asuhan dosen Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. menyelenggarakan kuliah tamu sebagai bagian dari program Global Learning System (GLS), dengan narasumber Drs. Arif Nurcahyo, M.A., Psikolog. Beliau merupakan mantan Kepala Bagian Psikolog Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Polda Metro Jaya, yang saat ini menjabat sebagai Asesor Utama SDM Mabes Polri dan pengurus Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) Himpunan Psikologi Indonesia. Topik kuliah tersebut adalah “From Dangerousness to Risk Assessment”.
[caption id="attachment_64" align="aligncenter" width="300" class=" "] Suasana Kuliah Global Learning System Psikologi BINUS dengan Psikolog Forensik Mabes POLRI[/caption]
Dalam paparannya, Arif Nurcahyo menyampaikan poin-poin sebagai berikut:
The Committee on Ethical Guidelines for Forensic Psychology mendefinisikan psikologi forensik sebagai semua bentuk layanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum.
Tugas psikolog Polri dalam pemeriksaan kasus merupakan bagian kecil dari praktik Psikologi Forensik.
Terdapat gejala meningkatnya kriminalitas secara kuantitas dan kualitas yang bermuatan Psikologis.
Belum sepenuhnya psikologi memberi sumbangsih ilmu/profesi dan diterima di dalam sistem hukum. Kompetensi psikolog belum dipahami dan dimanfaatkan.
Psikolognya juga tidak selalu tahu harus melakukan apa.
Perbedaan antara psikolog klinis dengan psikolog forensik (mengutip R. J. Craigh): (1) Interview psikologi klinis menggunakan pendekatan empatik, sedangkan psikologi forensik dengan pendekatan investigatif, (2) Tujuan psikologi klinis adalah membantu klien, sementara psikologi forensik bertujuan membantu sistem/proses, (3) Sesi pertemuan psikologi klinis panjang dan berapa kali, psikologi forensik lebih terbatas (1-2 kali pertemuan dan sesuai standar yang dipersyaratkan), (4) Psikologi forensik secara etika harus menjelaskan bahwa semua informasi yang didapat bisa digunakan proses peradilan; psikologi klinis tidak perlu, (5) Psikologi klinis hanya fokus pada masalah klien, sementara psikologi forensik harus mempertimbangkan aspek hukum dari masalah yang ditanganinya (berhadapan dengan sistem PERADILAN), dan (5) Hasil pemeriksaan psikologi forensik memiliki risiko dan konsekuensi yang jelas, misal: kehilangan hak asuh, seseorang bisa masuk penjara, dll.
Asesmen risiko merupakan metode sistimatis untuk menentukan apakah suatu kegiatan memiliki risiko yang dapat diterima atau tidak. Ada penilaian risiko, proses analisis, dan menafsirkan risiko dengan kegiatan dasar tertentu.
Asesmen risiko meliputi: (1) Risk Identification, mengidentifikasi risiko yang mungkin terjadi (kategorisasi), (2) Risk Analysis, menganalisis risiko yang mungkin terjadi (efek samping/kerugian, upaya penanggulangan, dlsb), dan (3) Risk Evaluation, pembentukan hubungan risiko dan manfaat dari potensi bahaya atau dampak yang ditimbulkan.
Fungsi asesmen risiko adalah: (1) Menilai berbagai jenis bencana yang mungkin terjadi dan akibat yang bakal ditimbulkan (penyimpangan-penyimpangan proses hukum), (2) Mencari tahu bagaimana cara organisasi untuk mengetahuinya (menegakkan hukum), dan (3) Menyusun/menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman (proses hukum yang adil).
Bentuk kegiatan asesmen risiko (mengidentifikasi Kebahayaan dan kemungkinan efek dari Kebahayaan): (1) Menentukan Ruang Lingkup dan Metodologi Penilaian, (2) Mengumpulkan dan Menganalisis Data, dan (3) Menafsirkan Hasil Analisis Risiko.
Menentukan Ruang Lingkup dan Metodologi Penilaian, mencakup: (1) Identifikasi sistem yang dipertimbangkan, bagian sistem yang akan dianalisis, dan metode analisis yang akan digunakan, (2) Fokus Asesmen pada area tertentu, termasuk memperhitungkan risiko, dan (3) Pertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi: fase dalam siklus sistem, kepentingan relatif, besar dan jenis.
Mengumpulkan dan Menganalisis Data (menghindari penumpukan data tapi tidak dapat dianalisis, dlsb), mencakup: (1) Penilaian Aset (informasi-dampak, dlsb), (2) Penilaian Konsekuensi (tingkat kesukaran-bahaya-penolakan, dlsb), (3) Identifikasi Ancaman (potensi kebahayaan), (4) Analisis Perlindungan (efektivitas tujuan, dlsb), (5) Analisis Kerentanan (kontrol terhadap eksploitasi), dan (6) Penilaian Kemungkinan (risiko secara komprehensif).
Menafsirkan Hasil Analisis Resiko mencakup: (1) Memperhitungkan hasil yang diperoleh (kegunaan) dan biaya yang dikeluarkan (keseimbangan input-output), (2) Membatasi interpretasi yang tidak didukung data/perencanaan.
Tugas psikolog forensik dalam penyelidikan: (1) Terkait dengan pelaku adalah melakukan criminal profiling. Psikolog memberikan gambaran tentang profil pelaku kejahatan (the most probable suspect) yang belum terungkap dan sedang dalam penyelidikan Kepolisian, sehingga Kepolisian dapat lebih memfokuskan usaha pencarian pelaku tindak kejahatan tersebut; (2) Terkait dengan tersangka pelaku adalah melakukan Asesmen Psikologi kepada tersangka pelaku untuk memberikan gambaran tentang profil pelaku kejahatan berkaitan dengan dinamika motif dan pertanggung jawaban terhadap kasus yang disangkakan, serta mempersiapkan diri sebagai saksi ahli (apabila hasil asesmen psikologi belum sepenuhnya dimengerti perangkat hukum).
Contoh Langkah Asesmen: (1) Diskusi dengan penyidik tentang Anatomi Kasus, mendalami profil korban dan lingkungan tempat tinggal, dlsb, (2) Merencanakan Asesmen Psikologis terhadap orang-orang di dekat korban, (3) Mendeteksi potensi dan kondisi psikologi secara umum, ada/tidaknya keterbatasan aspek psikologis tertentu (mendeteksi kondisi intelektualitas, kepribadian serta kondisi psikologis lainnya terutama indikasi psikopatologis), (4) Melakukan asesmen psikologi berkaitan kondisi berisiko dan kekhasan masing-masing subyek berkaitan dengan kasus (kehidupan sehari-hari, perilaku seksual, pola asuh masa lalu, dlsb), (5) Memfokuskan kepada sejauh mana kualitas relasi subyek dengan korban, (6) Dikoordinasikan dan dikomunikasikan dengan penyidik tentang langkah-langkah yang telah, sedang dan akan dilakukan serta saran-saran terdahulu yang kita berikan, dan (7) Berani mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan dan saat diskusi, mengaitkan dengan teori, dlsb.
Psikolog forensik hendaknya sanggup melakukan pemeriksaan psikologi di tempat yang terbatas (di tahanan/lapas), TKP (tempat kejadian perkara), atau lokasi lain yang masih relevan, terkadang di bawah tekanan. Dalam persidangan, psikolog hendaknya memiliki ketahanan mental yang kuat/tidak goyah (sesuai dengan kaidah profesi) saat mendapat pertanyaan yang kadang menyerang, menyakitkan.
Psikolog forensik hendaknya mampu menjaga kerahasiaan terkait dengan kasus yang ditanganinya (mengingat saat ini media seringkali melakukan investigasi terkait kasus). Perlu juga dicek Kode etik Himpunan Psikologi Indonesia khususnya terkait dengan psikologi forensik.
Arif Nurcahyo selanjutnya memberikan sharing tentang aplikasi pengetahuan di atas dalam kasus-kasus yang pernah ditanganinya, dan disusuli dengan diskusi bersama mahasiswa. Mahasiswa merespons sangat positif kuliah tamu yang sangat menarik dan membuka wawasan ini. Pertanyaan kepada narasumber terus diajukan oleh mahasiswa sampai waktu perkuliahan berakhir.
Global Learning System merupakan kesinambungan dari sistem pembelajaran berbagai kanal (multi-channel) yang selama ini telah diterapkan di BINUS. Kegiatan ini sejalan dengan amanat Rektor BINUS University, Prof Harjanto Prabowo, bahwa dengan sistem inilah mahasiswa berada di dunia yang diibaratkan dengan “kampus global”, yaitu tempat belajar sepanjang waktu.
Memang
sudah waktunya, di era Sains Terbuka (Open Science) ini, hal-hal yang
tidak perlu “ditutup”, ya, dibuka saja, seperti misalnya nama Penyunting
Penelaah / Mitra Bestari / Reviewer untuk tiap-tiap artikel yang di-review.
Hal ini sudah diterapkan pada Jurnal Frontiers in Psychology.
Berikut ini adalah contoh penampakannya:
Lebih
bagus lagi jika menerapkan Open Peer Review (Penelaahan
Terbuka).
Panduan
Layanan Psychological First Aids (PFA)/Pertolongan Psikologis
Pertama — Jarak Jauh
*Adaptasi
berbahasa Indonesia untuk konteks Indonesia oleh Himpunan Psikologi Indonesia
(HIMPSI) atas dokumen, sbb: Copyrighted material with permission of IFRC (2020): IFRC (International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies) Reference Centre for
Psychosocial resources. Remote Psychological First Aid during the COVID-19
outbreak. Interim guidance — March 2020. Retrieved from: https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/IFRC-PS-Centre-Remote-Psychological-First-Aid-during-a-COVID-19-outbreak-Interim-guidance.pdf .
Penerjemah/Translator (31 Mar. 2020): Dr. Seger Handoyo (Ketua Umum
Himpunan Psikologi Indonesia) dan Dr. Juneman Abraham (Ketua Kompartemen Riset
dan Publikasi, Himpunan Psikologi Indonesia).
Tim
Sains Terbuka Indonesia turut berpartisipasi dalam Jon Tenants Memorial
Day, pada 9 April 2021.
Sumber
presentasi Set Them Free: http://bit.do/SetThemFree
Saya
menyampaikan pandangan tentang warisan Jon Tennant, sebagai berikut:
Thank
you, Erwin.
Hi
friends! I am Juneman Abraham.
I am
the Head of Research & Publication Division of the Indonesian Psychological
Association,
I am
also an Associate Professor of Social Psychology at Bina Nusantara University
in Jakarta, Indonesia
Jon was
an advocate of open science who, paradoxically and interestingly, constantly
did self-criticism of the concept and movement of open science.
The
open science that he formed, developed, and socialized is a true open
science, which is beautifully protected from the “counterfeit open
science”-deriving from current practices of neoliberalism.
Let us
reflect on one of his last articles entitled Fixing the Crisis State of
Scientific Evaluation. One of his most important legacy is his political
insistence that we need to “police the police”, we need to “police the metric
vendors” by imposing our own regulation to them — based on
what we value most about science and society.
He also
strongly reminds us to approach the knowledge economy differently by
fostering a more compassionate, dialogical, catch-all, and
bullying-free research culture.
Materi
berikut ini saya terima dari Prof. Sundani Nurono pada Jumat, 2 April 2021,
dalam acara penyampaian filosofi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
Eksposur
Prof. Sundani mengenai posisi seharusnya Pengabdian kepada Masyarakat (PkM)
dalam Perguruan Tinggi sangat saya apresiasi, hingga saya unggah di YouTube
berupa Video di bawah ini.
Prof.
Sundani dari Institut Teknologi Bandung merupakan Pembina PKM yang sangat saya
segani sejak saya mengikuti BIMTEK PKM tahun 2018 di Universitas Bina Darma, Palembang.
Paparan
Prof. Sundani tampaknya senada dengan paparan Prof. Enoch Markum dari
Universitas Indonesia, dalam Twitter berikut ini; hanya saja, perspektif kedua
Guru Besar ini memiliki kekhasan masing-masing. Yang menarik, Prof. Sundani
menggunakan dimensi spiritualitas dalam menjelaskan gejala
yang beliau prihatinkan — yang beliau sebut sebagai “Demam Sangkar
Tridarma Perguruan Tinggi”.
Di
samping itu, beliau menggunakan perspektif antar/inter (between) bidang
Tridarma untuk “menekan” riset masuk ke Pengabdian kepada Masyarakat (Beliau
mensugesti agar Darma Pengabdian kepada Masyarakat — Mercusuar-nya
Perguruan Tinggi — diperbesar menjadi minimal 30%).
Hal ini
dapat melengkapi masukan-masukan Tim Sains Terbuka Indonesia selama ini yang
terfokus pada intra (within)
darma Riset dan Publikasi.
Aksi-aksi between dan within bidang-bidang
Tridarma ini patut menjadi sebuah gerakan bersama, tidak lain untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia melalui lembaga pendidikan
tinggi. By the way, pendekatan berbasis antar/inter-Tridarma
sebenarnya juga sudah saya ungkapkan dalam acara Rock The Talk: Sejalan
dengan “hukum kekekalan energi”, jika satu darma menyusut, ia pasti
menggelembung di darma yang lain. Sebaliknya bisa terjadi, bila
seorang dosen sedang kurang performed dalam riset, boleh
jadi — biasanya — ia performed dalam
Pengembangan Masyarakat atau “ComDev” (community development), yang di
Universitas Bina Nusantara terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu (1)
Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) yang tak berbayar, dan (2) Pelayanan
Profesional kepada Masyarakat (Professional service)
yang berbayar.
Materi
kedua dan ketiga berikut ini saya peroleh dari seorang rekan di WhatsApp
Group Neuronesia, pada 4 April 2021. Apakah Anda dapat
menemukan benang merah dari ketiga materi ini?
Bagaimana
jika resonansi semakin kuat, karena pada 30 Maret 2021, kami juga telah
menerbitkan sebuah tulisan, yang menekankan hal senada?
Mengenai
kepengaran karya ilmiah/karil, saya bicarakan pada 20 Januari 2021. Saya
menyampaikan tentang perbedaan (dan juga irisan) antara Authorship dan Contributorship. Bahwa
belum adanya kesepakatan akan hal ini akan menimbulkan “kekacauan” dalam dunia
akademik kita; sampai-sampai seorang kolaborator dapat bertukar
posisi dengan seorang plagiator.
Pada 23
Desember 2020, saya berbicara dalam sebuah forum bertajuk Darurat
Plagiat. Saya berbicara khusus mengenai apa dan bagaimana ANJANI (Anjungan
Integritas Akademik).
Berikut
adalah tautan materinya:
Ini
adalah flyer dari kegiatan ini:
Mengenai Integritas
Akademik, sebenarnya sudah saya bicarakan juga jauh hari sebelumnya,
sepanjang 2019, ketika mendapat penugasan dari Kementerian RistekDikti.
Berikut
ini adalah tautan materinya:
Di
samping itu, pada 3 Juli 2020, saya berbicara hal yang lebih luas lagi,
yakni Isu Etika dalam Penelitian, di mana saya menekankan
tentang pentingnya penyelesaian dilema etis secara rasional sebagai bagian dari
Pendidikan Etika.
Meeting Tim International Scientific CommitteeAssociation
of Behavioural Researchers on Asians/Africans (ABRA) atau
Persatuan Penyelidik-Penyelidik Perilaku Orang Asia/Africa, 16
Desember 2020.
The government’s rhetoric of Indonesian resurgence is one of economic and health recovery from the current disruptive pandemic. However, this rhetoric has not been matched in reality, as the recovery focus and fulfillment have been heavily slanted towards the economic sphere. There is a need for a policy which could sustainably alleviate both economic and […]
Sejarah Psikologi IndonesiaBelakangan ini, saya bereksperimen sederhana untuk menghasilkan sebuah narasi tentang sejarah Psikologi di Indonesia. Saya meminta Gemini AI untuk membuat narasi tersebut dengan melandaskan diri pada sumber-sumber terbuka di internet.Hasilnya adalah sebagai berikut: Psikologi di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah [Sebuah Eksperimen dengan Generative AI]. Setidaknya ada tiga bagian tulisan mulai dari Perkembangan Psikologi […]
Sebagai dosen tidak tetap (adjunct lecturer) di School of Government and Public Policy — Indonesia (Sekolah Tinggi Kepemerintahan dan Kebijakan Publik), pada 4 Februari 2025, saya menguji (sekaligus membimbing) sebuah penelitian bertajuk Human-Centric Policy Evaluation of Jakarta Smart City Initiatives: Enhancing Citizen Engagement to Create Sustainable Public Service yang dilakukan oleh Muhammad Fibiyan Aflah.Semoga berkontribusi pada kebijakan kota […]
Sesuai dengan ketentuan Pemerintah bahwa Penilai Kinerja Dosen wajib memiliki Sertifikat/Sertifikasi (lulus ujian), pada 2024 yang lalu, saya telah menerima Sertifikat yang memuat NIRA (Nomor Induk Registrasi Asesor).Proses sertifikasinya sendiri berlangsung pada 2023; sertifikat terbit pada 3 September 2024.
Halo… Sudah lama saya tidak memutakhirkan isi blog di Medium ini.Perkenankan saya untuk menyampaikan sejumlah update kegiatan, di samping yang saya sampaikan di http://juneman.blog.binusian.org dan http://juneman.mePada 30 April 2024, saya menerima kunjungan Prof. Xu Baofeng dari Beijing Language Culture University, yang juga merupakan Ketua World Council of Sinologists (Chinese Studies).Pada 3 April 2024 (pagi), saya dan […]
Pada 28 Agustus 2023, saya melaksanakan aktivitas sebagai Asesor Kompetensi Lembaga Sertifikasi Profesi Psikologi Indonesia/Badan Nasional Seertifikasi Profesi (LSP/BNSP).Kali ini saya meng-assess kompetensi asesi untuk skema Perancang dan Fasilitator Pengembangan Komunitas (PFPK).Asesmen diselenggarakan di Kantor Pusat LSP Psikologi Indonesia di Puri Bintaro, Tangerang Selatan.
Membahas diantaranya ethical clearance dan etika penggunaan kecerdasan buatan (OpenAI, seperti ChatGPT) dalam penulisan artikel ilmiah internasional. Diselenggarakan pada 21–22 Juli 2023 di Bogor oleh Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat, Ditjen Diktiristek, Kemdikbudristek, bekerjas ama dengan Universitas Pakuan.
“Pentingnya Standar Pendidikan dan Layanan Psikologi yang sesuai dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi sebagaimana juga diamanatkan oleh Hasil Kongres XIV HIMPSI Tahun 2022 tentang Isu-isu Strategis HIMPSI periode 2022–2026, maka dipandang penting membentuk Tim Ad Hoc yang bertugas untuk menyusun dan pengembangan standar tersebut.”
Sehubungan dengan upaya pencegahan bunuh diri di kalangan polisi, yang sudah menjadi akses pemberitaan publik, saya diperbantukan oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) kepada Kepolisian Negara RI dalam rangka penelitian pada tahun 2023.
Matching Fund — Manajemen KeuangannyaWorkshop Pengelolaan Keuangan untuk Program Matching Fund Kedaireka dari Kemendikbudristek, berlangsung pada 26 hingga 29 Januari 2023.
Coba bayangkan situasi ini : Anda ingin menilai kemampuan seorang koki. Mana yang lebih masuk akal : Langsung mencicipi hasil masakannya untuk merasakan sendiri kualitasnya, ataukah hanya melihat-lihat seberapa mewah dan terkenal restoran tempatnya bekerja? Tentu saja pilihan pertama yang lebih logis, bukan? Tapi anehnya, dunia akademik kita, yang disinyalir sebagian pihak sebagai “menara gading” […]
Dalam podcast di BINUS TV kali ini, saya membahas sisi-sisi psikologis dari pinjaman online khususnya Pinjol Ilegal. Apa saja yang perlu diantisipasi? Apa ciri-ciri orang yang lebih rentan? Apa peran komunitas? Ringkas saya bahas di podcast ini – The post Psikologi PINJOL : Sisi gelap, kalah mental; bagaimana kita keluar? appeared first on Juneman Abraham […]
Tak dapat dipungkiri, penggunaan AI untuk menulis dalam dunia apapun (dunia ilmiah, dunia copywriting marketing/bisnis, dunia jurnalis) semakin memarak. Apa potensinya? Apa yang harus kita jaga bersama? Saya membicarakannya di Lembaga Layanan DIKTI Wilayah III, khususnya penulisan ilmiah. Salah satunya, saya menekankan arti penting mengakui (acknowledging) secara transparan penggunaan AI – Sesuatu yang masih sangat […]
Bagaimana fenomena “Fantasi Sedarah” dilihat dari sudut pandang multidisiplin informatika dan psikologi? Apa hubungannya dengan self-censorship, chilling effect, culturally-sensitive Artificial Intelligence, responsible AI, serta etika dan hukum digital, juga Pendiri Facebook yang sempat meminta maaf? Simak bincang santai saya di sini! Salam PsikoInformatika! The post Fantasi Sedarah: Lensa PsikoInformatika appeared first on Juneman Abraham ~ […]
Sebagian dari kegiatan saya dapat disimak melalui situs web BINUS Research. Beberapa dari kegiatan tersebut adalah: Hadir sebagai Profesor Tamu dalam pengukuhan Prof. Dr. Bagus Takwin (Universitas Indonesia) – 8 Mei 2024. Testimoni saya untuk Prof. Dr. Bagus Takwin: Memperkuat Ekosistem Hilirisasi Riset Memperkuat Integritas Akademik dan Antikorupsi Membangun dan Menjaga Portofolio Riset Dosen BINUS […]
Siniar Binus Fostering and Empowering Society melalui Melawan Korupsi Ilmu. The post Prof Juneman: Berkarya Melalui Keilmuan & Moralitas Perjalanan Melawan Korupsi Ilmu appeared first on Juneman Abraham ~ psikolog sosial.
Pada 28 Mei 2024, saya membicarakan 4 poin tentang Kesehatan Jiwa/Kesehatan Mental di acara Berkas Kompas TV: Pada 3 Juni 2024, saya diundang DAAI TV untuk berbicara tentang Hari Lahir Pancasila, khususnya tentang kebijakan pembangunan: Apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila? Saya menyampaikan beberapa hasil riset tentang Psikologi Pancasila. Bahwa penting untuk menjadi teladan konkret […]
Perbincangan bersama Bivitri Susanti, dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, di Podcast BINUS TV, menyambut Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2024. The post Korupsi Ilmu dan Generasi yang Tersesat appeared first on Juneman Abraham ~ psikolog sosial.
Sejak 2019, saya membantu Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) sebagai Reviewer Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS. Pada 27 Februari 2024, KPK mengadakan pertemuan dengan sejumlah mitra bestari di Surakarta untuk pengembangan jurnal ini. Jurnal ini memberikan basis ilmiah bagi pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Dari KPK hadir Wakil Ketua KPK, Dr. Nurul Ghufron, S.H., […]
Pada 7 Februari 2024, Juneman Abraham selaku Wakil Rektor – Riset dan Teknologi Transfer, BINUS University, menyampaikan eksposur tentang Kolaborasi dan Transformasi menuju E-Government pada Forum Konsultasi Publik Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Tangerang Tahun 2025. Kegiatan berlangsung di Gedung Pusat Pemerintahan Kota Tangerang. Secara khusus, Dr. Abraham menyampaikan seluk-beluk e-government berbasis […]