1) Bab 1.1.: Kebutuhan terhadap Psikologi sudah dipetakan. Akan tetapi, KIPRAH Profesi Psikologi DI INDONESIA yang berlangsung selama ini untuk menjawab kebutuhan tersebut tidak tampak.
Pada Bab 1 hendaknya jauh lebih ditekankan: Apa sajakah yang sudah diperbuat Psikologi di Indonesia sehingga perlu penguatan dengan Undang Undang Psikologi? Sebaiknya mencantumkan referensi dari laporan2 riset dan praktik komunitas psikologi Indonesia selama ini.
2) Tidak tercantumnya data-data riset pada Latar Belakang membuat kajian ini menjadi semacam Opini bahkan Tuduhan, bukan untuk sebuah Naskah Akademik. Misalnya, apakah ada data tentang (?):
– Malpraktik yang ditemukan pada praktik psikologi pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kualifikasi dalam pendidikan psikologi.
– Jasa psikologi pun kadang disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti mem-PHK atau memutasikan seseorang karena alasan politis, dengan menggunakan tes psikologi sebagai alasan.
3) Bab 2.1.1.: Lahirnya Profesi Psikologi DI INDONESIA masih sangat kurang. Jauh lebih banyak referensi dari luar. Dengan demikian, konteks sosial-historis Indonesia tidak tampak.
Saran: Mengintegrasikan informasi dari Buku DIALOG PSIKOLOGI INDONESIA (yang pernah diterbitkan oleh Himpsi Jaya).
Menurut saya, pada bagian ini tidak begitu urgen untuk merincikan mazhab-mazhab psikologi di DUNIA (sebagaimana sudah tertulis saat ini). Mengapa? Karena perkembangan psikologi di setiap negara senantiasa bersifat kontekstual (konteks sejarah, konteks sosiologis, konteks antropologis).
4) KepMenristekdikti No. 257/M/KPT/2017 tentang NAMA PROGRAM STUDI PADA PERGURUAN TINGGI sebagai acuan yang termutakhir dalam bidang pendidikan tinggi psikologi belum dimasukkan.
5) Landasan Filosofis tidak tajam. Penting untuk memasukkan landasan filosofis tentang PROFESI PSIKOLOGI itu sendiri (ontologi, epistemologi, aksiologi) sehingga memunculkan urgensi butuhnya RUU Psikologi.
Dalam Landasan Sosiologis dipaparkan hanya sepintas permasalahan sosial, tetapi tidak muncul dengan kuat mengenai peran psikologi secara sosiologis. Yang lebih terungkap adalah goal psikologi dari sudut pandang administratif, yaitu butir (a) sampai (e). Tampaknya, justru perlu dibedakan antara Administratif dan Sosiologis.
Rujukan dari Indonesia menjadi penting: Misalnya https://catalogue.nla.gov.au/Record/455000
Disertasi Suwarsih Warnaen (Ethnic stereotype attitude and the perception of cross-cultural differences among the ethnic groups in Indonesia), dan banyak penelitian penting psikologi di Indonesia tidak tampak, sehingga membuat Naskah Akademik ini “kekeringan” dari konteks Indonesia. Padahal UU Psikologi adalah untuk masyarakat Indonesia.
6) Adapun jangkauan pengaturan RUU Psikologi –> Nomor 6) Alat tes psikologi; sebaiknya ALAT TES diganti menjadi ALAT UKUR Psikologi (agar lebih luas).
7) Beberapa kalimat belum sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar; misalnya kalimat-kalimat berikut sukar dipahami:
– Halaman 6: Peran psikologi sebagai ilmuwan dan praktik profesi …..
—-> Apa yang dimaksud ‘psikologi sebagai ilmuwan dan praktik’? (Menyalahi kaidah bahasa)
– Halaman 9: Kondisi saat ini yang berlaku di Indonesia terkait dengan aktivitas mal praktik lebih berlandaskan pada apa yang berlaku di organisasi profesi psikologi Indonesia, yang mana apa yang ditetapkan oleh organisasi profesi psikologi hanya mampu mengikat anggotanya saja.
—–> Kalimat terlalu kompleks.
– Halaman 9: Oleh karenanya, perangkat keilmuan dan etika yang dimiliki seorang Psikolog mempunyai karakteristik yang khas yang harus mengutamakan kesejahteraan manusia.
—> Apa yang dimaksud ‘perangkat keilmuan dan etika’?
– Surat Ijin Praktek Psikolog
—> Yang benar adalah Praktik, bukan Praktek.
– Halaman 72: pengaturan praktik tenaga profesi psikolog (psikolog Indonesia dan psikolog Asing)
Istilah “Psikolog Indonesia” dan “Psikolog Asing” tidak tepat.
Psikolog Indonesia —> Artinya Psikolog UNTUK Indonesia.
Psikolog Asing —> Artinya Psikolog UNTUK Asing.
Bandingkan:
Psikolog Perusahaan —> Psikolog UNTUK Perusahaan (Psikologi YANG BERKARYA BAGI Perusahaan), bukan Psikolog DARI Perusahaan. Tidak harus berasal dari Perusahaan.
Psikologi Perempuan —> Psikolog TENTANG (YANG MEMPELAJARI) Perempuan. Psikolog perempuan tidak harus seorang perempuan, bisa seorang laki-laki. Bedakan dengan: Perempuan Psikolog.
Saran, diganti menjadi: WNI Psikolog dan WNA Psikolog.
Dalam Latar Belakang ada kalimat, “Dalam sektor jasa psikologi di luar tes……”.
Apakah istilah ‘sektor jasa psikologi’ merupakan istilah yang tepat?
8) Dalam 2.1.2 Definisi Profesi Psikologi dan Cakupan Praktik serta 2.1.4 Prinsip Etik Profesi Psikologi ; Mengapa tidak ada rujukan terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia?
9) Dewan Psikolog Indonesia (Halaman 62)
—> Mengapa bukan Dewan PSIKOLOGI Indonesia? Serupa dengan Himpunan PSIKOLOGI Indonesia, Majelis PSIKOLOGI Indonesia.
10) Perlu koherensi antara ‘Tenaga Profesi Psikologi’ dan ‘Psikolog’.
Disebutkan:
Tenaga profesi psikologi adalah setiap orang yang melakukan jasa dan/atau praktik Psikologi serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang Psikologi yang terdiri dari sarjana psikologi, psikolog dan lulusan magister profesi psikologi dengan peminatan tertentu.
Psikolog adalah seseorang yang mempunyai gelar profesi di bidang Psikologi, memiliki Surat Sebutan Psikolog dan mempunyai Surat Ijin Praktek Psikolog.
Seharusnya: Psikolog adalah tenaga profesi psikologi yang …….
Karena Psikolog merupakan bagian dari tenaga profesi psikologi.
11) Naskah Akademik merupakan peluang yang bagus untuk menyatakan dengan tegas perbedaan antara Psikolog, Psikiater, Perawat Jiwa, Pekerja Sosial. Tetapi tampaknya ‘peluang emas’ ini belum digunakan dengan baik. Padahal klarifikasi ini yang sangat dibutuhkan para pembuat kebijakan baik di bidang pendidikan maupun politik kebijakan. Seyogianya distinction (pembedaan) muncul dalam: BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS & BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT.
1) Bab 1.1.: Kebutuhan terhadap Psikologi sudah dipetakan. Akan tetapi, KIPRAH Profesi Psikologi DI INDONESIA yang berlangsung selama ini untuk menjawab kebutuhan tersebut tidak tampak.
Pada Bab 1 hendaknya jauh lebih ditekankan: Apa sajakah yang sudah diperbuat Psikologi di Indonesia sehingga perlu penguatan dengan Undang Undang Psikologi? Sebaiknya mencantumkan referensi dari laporan2 riset dan praktik komunitas psikologi Indonesia selama ini.
2) Tidak tercantumnya data-data riset pada Latar Belakang membuat kajian ini menjadi semacam Opini bahkan Tuduhan, bukan untuk sebuah Naskah Akademik. Misalnya, apakah ada data tentang (?):
– Malpraktik yang ditemukan pada praktik psikologi pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kualifikasi dalam pendidikan psikologi.
– Jasa psikologi pun kadang disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti mem-PHK atau memutasikan seseorang karena alasan politis, dengan menggunakan tes psikologi sebagai alasan.
3) Bab 2.1.1.: Lahirnya Profesi Psikologi DI INDONESIA masih sangat kurang. Jauh lebih banyak referensi dari luar. Dengan demikian, konteks sosial-historis Indonesia tidak tampak.
Saran: Mengintegrasikan informasi dari Buku DIALOG PSIKOLOGI INDONESIA (yang pernah diterbitkan oleh Himpsi Jaya).
Menurut saya, pada bagian ini tidak begitu urgen untuk merincikan mazhab-mazhab psikologi di DUNIA (sebagaimana sudah tertulis saat ini). Mengapa? Karena perkembangan psikologi di setiap negara senantiasa bersifat kontekstual (konteks sejarah, konteks sosiologis, konteks antropologis).
4) KepMenristekdikti No. 257/M/KPT/2017 tentang NAMA PROGRAM STUDI PADA PERGURUAN TINGGI sebagai acuan yang termutakhir dalam bidang pendidikan tinggi psikologi belum dimasukkan.
5) Landasan Filosofis tidak tajam. Penting untuk memasukkan landasan filosofis tentang PROFESI PSIKOLOGI itu sendiri (ontologi, epistemologi, aksiologi) sehingga memunculkan urgensi butuhnya RUU Psikologi.
Dalam Landasan Sosiologis dipaparkan hanya sepintas permasalahan sosial, tetapi tidak muncul dengan kuat mengenai peran psikologi secara sosiologis. Yang lebih terungkap adalah goal psikologi dari sudut pandang administratif, yaitu butir (a) sampai (e). Tampaknya, justru perlu dibedakan antara Administratif dan Sosiologis.
Rujukan dari Indonesia menjadi penting: Misalnya https://catalogue.nla.gov.au/Record/455000
Disertasi Suwarsih Warnaen (Ethnic stereotype attitude and the perception of cross-cultural differences among the ethnic groups in Indonesia), dan banyak penelitian penting psikologi di Indonesia tidak tampak, sehingga membuat Naskah Akademik ini “kekeringan” dari konteks Indonesia. Padahal UU Psikologi adalah untuk masyarakat Indonesia.
6) Adapun jangkauan pengaturan RUU Psikologi –> Nomor 6) Alat tes psikologi; sebaiknya ALAT TES diganti menjadi ALAT UKUR Psikologi (agar lebih luas).
7) Beberapa kalimat belum sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar; misalnya kalimat-kalimat berikut sukar dipahami:
– Halaman 6: Peran psikologi sebagai ilmuwan dan praktik profesi …..
—-> Apa yang dimaksud ‘psikologi sebagai ilmuwan dan praktik’? (Menyalahi kaidah bahasa)
– Halaman 9: Kondisi saat ini yang berlaku di Indonesia terkait dengan aktivitas mal praktik lebih berlandaskan pada apa yang berlaku di organisasi profesi psikologi Indonesia, yang mana apa yang ditetapkan oleh organisasi profesi psikologi hanya mampu mengikat anggotanya saja.
—–> Kalimat terlalu kompleks.
– Halaman 9: Oleh karenanya, perangkat keilmuan dan etika yang dimiliki seorang Psikolog mempunyai karakteristik yang khas yang harus mengutamakan kesejahteraan manusia.
—> Apa yang dimaksud ‘perangkat keilmuan dan etika’?
– Surat Ijin Praktek Psikolog
—> Yang benar adalah Praktik, bukan Praktek.
– Halaman 72: pengaturan praktik tenaga profesi psikolog (psikolog Indonesia dan psikolog Asing)
Istilah “Psikolog Indonesia” dan “Psikolog Asing” tidak tepat.
Psikolog Indonesia —> Artinya Psikolog UNTUK Indonesia.
Psikolog Asing —> Artinya Psikolog UNTUK Asing.
Bandingkan:
Psikolog Perusahaan —> Psikolog UNTUK Perusahaan (Psikologi YANG BERKARYA BAGI Perusahaan), bukan Psikolog DARI Perusahaan. Tidak harus berasal dari Perusahaan.
Psikologi Perempuan —> Psikolog TENTANG (YANG MEMPELAJARI) Perempuan. Psikolog perempuan tidak harus seorang perempuan, bisa seorang laki-laki. Bedakan dengan: Perempuan Psikolog.
Saran, diganti menjadi: WNI Psikolog dan WNA Psikolog.
Dalam Latar Belakang ada kalimat, “Dalam sektor jasa psikologi di luar tes……”.
Apakah istilah ‘sektor jasa psikologi’ merupakan istilah yang tepat?
8) Dalam 2.1.2 Definisi Profesi Psikologi dan Cakupan Praktik serta 2.1.4 Prinsip Etik Profesi Psikologi ; Mengapa tidak ada rujukan terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia?
9) Dewan Psikolog Indonesia (Halaman 62)
—> Mengapa bukan Dewan PSIKOLOGI Indonesia? Serupa dengan Himpunan PSIKOLOGI Indonesia, Majelis PSIKOLOGI Indonesia.
10) Perlu koherensi antara ‘Tenaga Profesi Psikologi’ dan ‘Psikolog’.
Disebutkan:
Tenaga profesi psikologi adalah setiap orang yang melakukan jasa dan/atau praktik Psikologi serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang Psikologi yang terdiri dari sarjana psikologi, psikolog dan lulusan magister profesi psikologi dengan peminatan tertentu.
Psikolog adalah seseorang yang mempunyai gelar profesi di bidang Psikologi, memiliki Surat Sebutan Psikolog dan mempunyai Surat Ijin Praktek Psikolog.
Seharusnya: Psikolog adalah tenaga profesi psikologi yang …….
Karena Psikolog merupakan bagian dari tenaga profesi psikologi.
11) Naskah Akademik merupakan peluang yang bagus untuk menyatakan dengan tegas perbedaan antara Psikolog, Psikiater, Perawat Jiwa, Pekerja Sosial. Tetapi tampaknya ‘peluang emas’ ini belum digunakan dengan baik. Padahal klarifikasi ini yang sangat dibutuhkan para pembuat kebijakan baik di bidang pendidikan maupun politik kebijakan. Seyogianya distinction (pembedaan) muncul dalam: BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS & BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT.
1) Bab 1.1.: Kebutuhan terhadap Psikologi sudah dipetakan. Akan tetapi, KIPRAH Profesi Psikologi DI INDONESIA yang berlangsung selama ini untuk menjawab kebutuhan tersebut tidak tampak.
Pada Bab 1 hendaknya jauh lebih ditekankan: Apa sajakah yang sudah diperbuat Psikologi di Indonesia sehingga perlu penguatan dengan Undang Undang Psikologi? Sebaiknya mencantumkan referensi dari laporan2 riset dan praktik komunitas psikologi Indonesia selama ini.
2) Tidak tercantumnya data-data riset pada Latar Belakang membuat kajian ini menjadi semacam Opini bahkan Tuduhan, bukan untuk sebuah Naskah Akademik. Misalnya, apakah ada data tentang (?):
– Malpraktik yang ditemukan pada praktik psikologi pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kualifikasi dalam pendidikan psikologi.
– Jasa psikologi pun kadang disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti mem-PHK atau memutasikan seseorang karena alasan politis, dengan menggunakan tes psikologi sebagai alasan.
3) Bab 2.1.1.: Lahirnya Profesi Psikologi DI INDONESIA masih sangat kurang. Jauh lebih banyak referensi dari luar. Dengan demikian, konteks sosial-historis Indonesia tidak tampak.
Saran: Mengintegrasikan informasi dari Buku DIALOG PSIKOLOGI INDONESIA (yang pernah diterbitkan oleh Himpsi Jaya).
Menurut saya, pada bagian ini tidak begitu urgen untuk merincikan mazhab-mazhab psikologi di DUNIA (sebagaimana sudah tertulis saat ini). Mengapa? Karena perkembangan psikologi di setiap negara senantiasa bersifat kontekstual (konteks sejarah, konteks sosiologis, konteks antropologis).
4) KepMenristekdikti No. 257/M/KPT/2017 tentang NAMA PROGRAM STUDI PADA PERGURUAN TINGGI sebagai acuan yang termutakhir dalam bidang pendidikan tinggi psikologi belum dimasukkan.
5) Landasan Filosofis tidak tajam. Penting untuk memasukkan landasan filosofis tentang PROFESI PSIKOLOGI itu sendiri (ontologi, epistemologi, aksiologi) sehingga memunculkan urgensi butuhnya RUU Psikologi.
Dalam Landasan Sosiologis dipaparkan hanya sepintas permasalahan sosial, tetapi tidak muncul dengan kuat mengenai peran psikologi secara sosiologis. Yang lebih terungkap adalah goal psikologi dari sudut pandang administratif, yaitu butir (a) sampai (e). Tampaknya, justru perlu dibedakan antara Administratif dan Sosiologis.
Rujukan dari Indonesia menjadi penting: Misalnya https://catalogue.nla.gov.au/Record/455000
Disertasi Suwarsih Warnaen (Ethnic stereotype attitude and the perception of cross-cultural differences among the ethnic groups in Indonesia), dan banyak penelitian penting psikologi di Indonesia tidak tampak, sehingga membuat Naskah Akademik ini “kekeringan” dari konteks Indonesia. Padahal UU Psikologi adalah untuk masyarakat Indonesia.
6) Adapun jangkauan pengaturan RUU Psikologi –> Nomor 6) Alat tes psikologi; sebaiknya ALAT TES diganti menjadi ALAT UKUR Psikologi (agar lebih luas).
7) Beberapa kalimat belum sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar; misalnya kalimat-kalimat berikut sukar dipahami:
– Halaman 6: Peran psikologi sebagai ilmuwan dan praktik profesi …..
—-> Apa yang dimaksud ‘psikologi sebagai ilmuwan dan praktik’? (Menyalahi kaidah bahasa)
– Halaman 9: Kondisi saat ini yang berlaku di Indonesia terkait dengan aktivitas mal praktik lebih berlandaskan pada apa yang berlaku di organisasi profesi psikologi Indonesia, yang mana apa yang ditetapkan oleh organisasi profesi psikologi hanya mampu mengikat anggotanya saja.
—–> Kalimat terlalu kompleks.
– Halaman 9: Oleh karenanya, perangkat keilmuan dan etika yang dimiliki seorang Psikolog mempunyai karakteristik yang khas yang harus mengutamakan kesejahteraan manusia.
—> Apa yang dimaksud ‘perangkat keilmuan dan etika’?
– Surat Ijin Praktek Psikolog
—> Yang benar adalah Praktik, bukan Praktek.
– Halaman 72: pengaturan praktik tenaga profesi psikolog (psikolog Indonesia dan psikolog Asing)
Istilah “Psikolog Indonesia” dan “Psikolog Asing” tidak tepat.
Psikolog Indonesia —> Artinya Psikolog UNTUK Indonesia.
Psikolog Asing —> Artinya Psikolog UNTUK Asing.
Bandingkan:
Psikolog Perusahaan —> Psikolog UNTUK Perusahaan (Psikologi YANG BERKARYA BAGI Perusahaan), bukan Psikolog DARI Perusahaan. Tidak harus berasal dari Perusahaan.
Psikologi Perempuan —> Psikolog TENTANG (YANG MEMPELAJARI) Perempuan. Psikolog perempuan tidak harus seorang perempuan, bisa seorang laki-laki. Bedakan dengan: Perempuan Psikolog.
Saran, diganti menjadi: WNI Psikolog dan WNA Psikolog.
Dalam Latar Belakang ada kalimat, “Dalam sektor jasa psikologi di luar tes……”.
Apakah istilah ‘sektor jasa psikologi’ merupakan istilah yang tepat?
8) Dalam 2.1.2 Definisi Profesi Psikologi dan Cakupan Praktik serta 2.1.4 Prinsip Etik Profesi Psikologi ; Mengapa tidak ada rujukan terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia?
9) Dewan Psikolog Indonesia (Halaman 62)
—> Mengapa bukan Dewan PSIKOLOGI Indonesia? Serupa dengan Himpunan PSIKOLOGI Indonesia, Majelis PSIKOLOGI Indonesia.
10) Perlu koherensi antara ‘Tenaga Profesi Psikologi’ dan ‘Psikolog’.
Disebutkan:
Tenaga profesi psikologi adalah setiap orang yang melakukan jasa dan/atau praktik Psikologi serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang Psikologi yang terdiri dari sarjana psikologi, psikolog dan lulusan magister profesi psikologi dengan peminatan tertentu.
Psikolog adalah seseorang yang mempunyai gelar profesi di bidang Psikologi, memiliki Surat Sebutan Psikolog dan mempunyai Surat Ijin Praktek Psikolog.
Seharusnya: Psikolog adalah tenaga profesi psikologi yang …….
Karena Psikolog merupakan bagian dari tenaga profesi psikologi.
11) Naskah Akademik merupakan peluang yang bagus untuk menyatakan dengan tegas perbedaan antara Psikolog, Psikiater, Perawat Jiwa, Pekerja Sosial. Tetapi tampaknya ‘peluang emas’ ini belum digunakan dengan baik. Padahal klarifikasi ini yang sangat dibutuhkan para pembuat kebijakan baik di bidang pendidikan maupun politik kebijakan. Seyogianya distinction (pembedaan) muncul dalam: BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS & BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT.
Memang
sudah waktunya, di era Sains Terbuka (Open Science) ini, hal-hal yang
tidak perlu “ditutup”, ya, dibuka saja, seperti misalnya nama Penyunting
Penelaah / Mitra Bestari / Reviewer untuk tiap-tiap artikel yang di-review.
Hal ini sudah diterapkan pada Jurnal Frontiers in Psychology.
Berikut ini adalah contoh penampakannya:
Lebih
bagus lagi jika menerapkan Open Peer Review (Penelaahan
Terbuka).
Panduan
Layanan Psychological First Aids (PFA)/Pertolongan Psikologis
Pertama — Jarak Jauh
*Adaptasi
berbahasa Indonesia untuk konteks Indonesia oleh Himpunan Psikologi Indonesia
(HIMPSI) atas dokumen, sbb: Copyrighted material with permission of IFRC (2020): IFRC (International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies) Reference Centre for
Psychosocial resources. Remote Psychological First Aid during the COVID-19
outbreak. Interim guidance — March 2020. Retrieved from: https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/IFRC-PS-Centre-Remote-Psychological-First-Aid-during-a-COVID-19-outbreak-Interim-guidance.pdf .
Penerjemah/Translator (31 Mar. 2020): Dr. Seger Handoyo (Ketua Umum
Himpunan Psikologi Indonesia) dan Dr. Juneman Abraham (Ketua Kompartemen Riset
dan Publikasi, Himpunan Psikologi Indonesia).
Tim
Sains Terbuka Indonesia turut berpartisipasi dalam Jon Tenants Memorial
Day, pada 9 April 2021.
Sumber
presentasi Set Them Free: http://bit.do/SetThemFree
Saya
menyampaikan pandangan tentang warisan Jon Tennant, sebagai berikut:
Thank
you, Erwin.
Hi
friends! I am Juneman Abraham.
I am
the Head of Research & Publication Division of the Indonesian Psychological
Association,
I am
also an Associate Professor of Social Psychology at Bina Nusantara University
in Jakarta, Indonesia
Jon was
an advocate of open science who, paradoxically and interestingly, constantly
did self-criticism of the concept and movement of open science.
The
open science that he formed, developed, and socialized is a true open
science, which is beautifully protected from the “counterfeit open
science”-deriving from current practices of neoliberalism.
Let us
reflect on one of his last articles entitled Fixing the Crisis State of
Scientific Evaluation. One of his most important legacy is his political
insistence that we need to “police the police”, we need to “police the metric
vendors” by imposing our own regulation to them — based on
what we value most about science and society.
He also
strongly reminds us to approach the knowledge economy differently by
fostering a more compassionate, dialogical, catch-all, and
bullying-free research culture.
Materi
berikut ini saya terima dari Prof. Sundani Nurono pada Jumat, 2 April 2021,
dalam acara penyampaian filosofi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
Eksposur
Prof. Sundani mengenai posisi seharusnya Pengabdian kepada Masyarakat (PkM)
dalam Perguruan Tinggi sangat saya apresiasi, hingga saya unggah di YouTube
berupa Video di bawah ini.
Prof.
Sundani dari Institut Teknologi Bandung merupakan Pembina PKM yang sangat saya
segani sejak saya mengikuti BIMTEK PKM tahun 2018 di Universitas Bina Darma, Palembang.
Paparan
Prof. Sundani tampaknya senada dengan paparan Prof. Enoch Markum dari
Universitas Indonesia, dalam Twitter berikut ini; hanya saja, perspektif kedua
Guru Besar ini memiliki kekhasan masing-masing. Yang menarik, Prof. Sundani
menggunakan dimensi spiritualitas dalam menjelaskan gejala
yang beliau prihatinkan — yang beliau sebut sebagai “Demam Sangkar
Tridarma Perguruan Tinggi”.
Di
samping itu, beliau menggunakan perspektif antar/inter (between) bidang
Tridarma untuk “menekan” riset masuk ke Pengabdian kepada Masyarakat (Beliau
mensugesti agar Darma Pengabdian kepada Masyarakat — Mercusuar-nya
Perguruan Tinggi — diperbesar menjadi minimal 30%).
Hal ini
dapat melengkapi masukan-masukan Tim Sains Terbuka Indonesia selama ini yang
terfokus pada intra (within)
darma Riset dan Publikasi.
Aksi-aksi between dan within bidang-bidang
Tridarma ini patut menjadi sebuah gerakan bersama, tidak lain untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia melalui lembaga pendidikan
tinggi. By the way, pendekatan berbasis antar/inter-Tridarma
sebenarnya juga sudah saya ungkapkan dalam acara Rock The Talk: Sejalan
dengan “hukum kekekalan energi”, jika satu darma menyusut, ia pasti
menggelembung di darma yang lain. Sebaliknya bisa terjadi, bila
seorang dosen sedang kurang performed dalam riset, boleh
jadi — biasanya — ia performed dalam
Pengembangan Masyarakat atau “ComDev” (community development), yang di
Universitas Bina Nusantara terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu (1)
Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) yang tak berbayar, dan (2) Pelayanan
Profesional kepada Masyarakat (Professional service)
yang berbayar.
Materi
kedua dan ketiga berikut ini saya peroleh dari seorang rekan di WhatsApp
Group Neuronesia, pada 4 April 2021. Apakah Anda dapat
menemukan benang merah dari ketiga materi ini?
Bagaimana
jika resonansi semakin kuat, karena pada 30 Maret 2021, kami juga telah
menerbitkan sebuah tulisan, yang menekankan hal senada?
Mengenai
kepengaran karya ilmiah/karil, saya bicarakan pada 20 Januari 2021. Saya
menyampaikan tentang perbedaan (dan juga irisan) antara Authorship dan Contributorship. Bahwa
belum adanya kesepakatan akan hal ini akan menimbulkan “kekacauan” dalam dunia
akademik kita; sampai-sampai seorang kolaborator dapat bertukar
posisi dengan seorang plagiator.
Pada 23
Desember 2020, saya berbicara dalam sebuah forum bertajuk Darurat
Plagiat. Saya berbicara khusus mengenai apa dan bagaimana ANJANI (Anjungan
Integritas Akademik).
Berikut
adalah tautan materinya:
Ini
adalah flyer dari kegiatan ini:
Mengenai Integritas
Akademik, sebenarnya sudah saya bicarakan juga jauh hari sebelumnya,
sepanjang 2019, ketika mendapat penugasan dari Kementerian RistekDikti.
Berikut
ini adalah tautan materinya:
Di
samping itu, pada 3 Juli 2020, saya berbicara hal yang lebih luas lagi,
yakni Isu Etika dalam Penelitian, di mana saya menekankan
tentang pentingnya penyelesaian dilema etis secara rasional sebagai bagian dari
Pendidikan Etika.
Meeting Tim International Scientific CommitteeAssociation
of Behavioural Researchers on Asians/Africans (ABRA) atau
Persatuan Penyelidik-Penyelidik Perilaku Orang Asia/Africa, 16
Desember 2020.
The government’s rhetoric of Indonesian resurgence is one of economic and health recovery from the current disruptive pandemic. However, this rhetoric has not been matched in reality, as the recovery focus and fulfillment have been heavily slanted towards the economic sphere. There is a need for a policy which could sustainably alleviate both economic and […]
Sejarah Psikologi IndonesiaBelakangan ini, saya bereksperimen sederhana untuk menghasilkan sebuah narasi tentang sejarah Psikologi di Indonesia. Saya meminta Gemini AI untuk membuat narasi tersebut dengan melandaskan diri pada sumber-sumber terbuka di internet.Hasilnya adalah sebagai berikut: Psikologi di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah [Sebuah Eksperimen dengan Generative AI]. Setidaknya ada tiga bagian tulisan mulai dari Perkembangan Psikologi […]
Sebagai dosen tidak tetap (adjunct lecturer) di School of Government and Public Policy — Indonesia (Sekolah Tinggi Kepemerintahan dan Kebijakan Publik), pada 4 Februari 2025, saya menguji (sekaligus membimbing) sebuah penelitian bertajuk Human-Centric Policy Evaluation of Jakarta Smart City Initiatives: Enhancing Citizen Engagement to Create Sustainable Public Service yang dilakukan oleh Muhammad Fibiyan Aflah.Semoga berkontribusi pada kebijakan kota […]
Sesuai dengan ketentuan Pemerintah bahwa Penilai Kinerja Dosen wajib memiliki Sertifikat/Sertifikasi (lulus ujian), pada 2024 yang lalu, saya telah menerima Sertifikat yang memuat NIRA (Nomor Induk Registrasi Asesor).Proses sertifikasinya sendiri berlangsung pada 2023; sertifikat terbit pada 3 September 2024.
Halo… Sudah lama saya tidak memutakhirkan isi blog di Medium ini.Perkenankan saya untuk menyampaikan sejumlah update kegiatan, di samping yang saya sampaikan di http://juneman.blog.binusian.org dan http://juneman.mePada 30 April 2024, saya menerima kunjungan Prof. Xu Baofeng dari Beijing Language Culture University, yang juga merupakan Ketua World Council of Sinologists (Chinese Studies).Pada 3 April 2024 (pagi), saya dan […]
Pada 28 Agustus 2023, saya melaksanakan aktivitas sebagai Asesor Kompetensi Lembaga Sertifikasi Profesi Psikologi Indonesia/Badan Nasional Seertifikasi Profesi (LSP/BNSP).Kali ini saya meng-assess kompetensi asesi untuk skema Perancang dan Fasilitator Pengembangan Komunitas (PFPK).Asesmen diselenggarakan di Kantor Pusat LSP Psikologi Indonesia di Puri Bintaro, Tangerang Selatan.
Membahas diantaranya ethical clearance dan etika penggunaan kecerdasan buatan (OpenAI, seperti ChatGPT) dalam penulisan artikel ilmiah internasional. Diselenggarakan pada 21–22 Juli 2023 di Bogor oleh Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat, Ditjen Diktiristek, Kemdikbudristek, bekerjas ama dengan Universitas Pakuan.
“Pentingnya Standar Pendidikan dan Layanan Psikologi yang sesuai dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi sebagaimana juga diamanatkan oleh Hasil Kongres XIV HIMPSI Tahun 2022 tentang Isu-isu Strategis HIMPSI periode 2022–2026, maka dipandang penting membentuk Tim Ad Hoc yang bertugas untuk menyusun dan pengembangan standar tersebut.”
Sehubungan dengan upaya pencegahan bunuh diri di kalangan polisi, yang sudah menjadi akses pemberitaan publik, saya diperbantukan oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) kepada Kepolisian Negara RI dalam rangka penelitian pada tahun 2023.
Matching Fund — Manajemen KeuangannyaWorkshop Pengelolaan Keuangan untuk Program Matching Fund Kedaireka dari Kemendikbudristek, berlangsung pada 26 hingga 29 Januari 2023.
Buku Putih Peta Jalan AI Indonesia secara keseluruhan belum berhasil membuat distingsi antara Etika AI dan Hukum AI. Saya mencoba menjelaskan dalam artikel berikut ini, AI Indonesia: Diatur oleh Etika atau Undang-undang, mengapa distingsi menjadi urgen dibutuhkan https://m.antaranews.com/berita/5030041/ai-indonesia-diatur-oleh-etika-atau-undang-undang?page=all , meskipun ada konsep regulatory sandbox. Tanpa distingsi, saya khawatir bukan hanya Regulasi AI Indonesia akan jalan di […]
Fenomena pengibaran bendera “One Piece” menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia menunjukkan adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Bendera bajak laut ini menjadi simbol perlawanan kreatif dan representasi aspirasi rakyat yang merasa tidak didengar. Fenomena ini mengingatkan pada ucapan Bung Karno bahwa perjuangan di masa depan akan melawan bangsa sendiri. Pengibaran bendera ini menjadi cara unik untuk menyuarakan […]
Coba bayangkan situasi ini : Anda ingin menilai kemampuan seorang koki. Mana yang lebih masuk akal : Langsung mencicipi hasil masakannya untuk merasakan sendiri kualitasnya, ataukah hanya melihat-lihat seberapa mewah dan terkenal restoran tempatnya bekerja? Tentu saja pilihan pertama yang lebih logis, bukan? Tapi anehnya, dunia akademik kita, yang disinyalir sebagian pihak sebagai “menara gading” […]
Dalam podcast di BINUS TV kali ini, saya membahas sisi-sisi psikologis dari pinjaman online khususnya Pinjol Ilegal. Apa saja yang perlu diantisipasi? Apa ciri-ciri orang yang lebih rentan? Apa peran komunitas? Ringkas saya bahas di podcast ini – The post Psikologi PINJOL : Sisi gelap, kalah mental; bagaimana kita keluar? appeared first on Juneman Abraham […]
Tak dapat dipungkiri, penggunaan AI untuk menulis dalam dunia apapun (dunia ilmiah, dunia copywriting marketing/bisnis, dunia jurnalis) semakin memarak. Apa potensinya? Apa yang harus kita jaga bersama? Saya membicarakannya di Lembaga Layanan DIKTI Wilayah III, khususnya penulisan ilmiah. Salah satunya, saya menekankan arti penting mengakui (acknowledging) secara transparan penggunaan AI – Sesuatu yang masih sangat […]
Bagaimana fenomena “Fantasi Sedarah” dilihat dari sudut pandang multidisiplin informatika dan psikologi? Apa hubungannya dengan self-censorship, chilling effect, culturally-sensitive Artificial Intelligence, responsible AI, serta etika dan hukum digital, juga Pendiri Facebook yang sempat meminta maaf? Simak bincang santai saya di sini! Salam PsikoInformatika! The post Fantasi Sedarah: Lensa PsikoInformatika appeared first on Juneman Abraham ~ […]
Sebagian dari kegiatan saya dapat disimak melalui situs web BINUS Research. Beberapa dari kegiatan tersebut adalah: Hadir sebagai Profesor Tamu dalam pengukuhan Prof. Dr. Bagus Takwin (Universitas Indonesia) – 8 Mei 2024. Testimoni saya untuk Prof. Dr. Bagus Takwin: Memperkuat Ekosistem Hilirisasi Riset Memperkuat Integritas Akademik dan Antikorupsi Membangun dan Menjaga Portofolio Riset Dosen BINUS […]
Siniar Binus Fostering and Empowering Society melalui Melawan Korupsi Ilmu. The post Prof Juneman: Berkarya Melalui Keilmuan & Moralitas Perjalanan Melawan Korupsi Ilmu appeared first on Juneman Abraham ~ psikolog sosial.
Pada 28 Mei 2024, saya membicarakan 4 poin tentang Kesehatan Jiwa/Kesehatan Mental di acara Berkas Kompas TV: Pada 3 Juni 2024, saya diundang DAAI TV untuk berbicara tentang Hari Lahir Pancasila, khususnya tentang kebijakan pembangunan: Apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila? Saya menyampaikan beberapa hasil riset tentang Psikologi Pancasila. Bahwa penting untuk menjadi teladan konkret […]
Perbincangan bersama Bivitri Susanti, dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, di Podcast BINUS TV, menyambut Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2024. The post Korupsi Ilmu dan Generasi yang Tersesat appeared first on Juneman Abraham ~ psikolog sosial.