Diterjemahkan dari Laziness Does Not Exist (Devon Price, 2018) pada Maret 2020 oleh Felicia Christine Tardy (Binusian, Kelas MK PSYC6122-Social Psychology yang saya ampu)
Devon Price: Saya telah menjadi profesor psikologi sejak 2012. Dalam 6 tahun terakhir, saya telah menyaksikan siswa dari segala usia menunda pada dokumen-dokumen, melewati hari-hari presentasi, melewatkan tugas, dan membiarkan jadwal tenggat terlewati begitu saja. Saya telah melihat calon mahasiswa pascasarjana gagal mendapatkan lamaran tepat waktu; saya telah melihat kandidat PhD memerlukan berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk merevisi satu konsep disertasi; saya dulu pernah memiliki siswa yang terdaftar di kelas yang sama dengan saya selama 2 semester berturut-turut, dan tidak pernah menyerahkan apapun saat itu.
Saya tidak pernah berpikir bahwa kemalasan adalah suatu kesalahan.
Tidak pernah.
Faktanya, saya tidak percaya bahwa kemalasan itu ada.
∙ ∙ ∙
Saya adalah psikolog sosial, jadi saya tertarik terutama pada faktor situasional dan kontekstual yang mendorong perilaku manusia. Ketika kamu berusaha untuk memprediksi atau menjelaskan suatu tindakan seseorang, melihat kepada norma sosial, dan konteks dari orang tersebut, biasanya cukup pasti. Kendala situasional biasanya memprediksi perilaku jauh lebih baik daripada kepribadian, kecerdasan, atau sifat-sifat individu.
Jadi ketika saya melihat seorang siswa gagal untuk menyelesaikan tugas, melewatkan tenggat waktu, atau tidak memberikan hasil dalam aspek kehidupan mereka, saya tergerak untuk bertanya: faktor situasional apa yang menahan siswa ini? Kebutuhan apa yang tidak dipenuhi? Dan, ketika datang ke perilaku “kemalasan,” saya secara khusus tergerak untuk bertanya: apa hambatan untuk tindakan yang saya tidak bisa lihat?
Hambatan itu selalu ada. Mengenali hambatan-hambatan tersebut – dan melihat mereka sebagai hal yang sah, diakui – seringkali merupakan langkah pertama untuk memecahkan pola perilaku “malas”.
∙ ∙ ∙
Merupakan hal yang sangat membantu untuk merespon kepada perilaku seseorang yang tidak efektif dengan rasa penasaran daripada suatu anggapan. Saya mempelajari ini dari seorang teman saya, Kimberly Longhofer, seorang penulis dan aktivis (yang menerbitkan dengan nama Mik Everett). Kim bersemangat tentang penerimaan dan akomodasi pada orang-orang disabilitas dan para tunawisma. Tulisan mereka tentang kedua hal tersebut merupakan beberapa karya yang paling mencerahkan dan bias yang pernah saya temui. Sebagian dari itu adalah karena Kim brilian, tetapi juga karena berbagai poin pada hidup mereka, Kim telah menjadi cacat dan tunawisma.
Kim adalah orang yang mengajariku bahwa menilai atau memberi suatu anggapan kepada seorang tunawisma karena ingin membeli alkohol atau rokok merupakan suatu kebodohan. Ketika Anda tidak memiliki rumah, malam itu dingin, dunia menjadi tidak bersahabat, dan semuanya menjadi sangat tidak nyaman. Baik Anda tidur di bawah jembatan, di dalam tenda, atau di sebuah penampungan, sulit untuk beristirahat dengan mudah. Anda mungkin memiliki cedera atau kondisi kronis yang terus-menerus mengganggu Anda, dan memiliki akses yang kecil untuk bisa ke perawatan medis untuk menghadapinya. Anda mungkin tidak memiliki banyak makanan sehat.
Dalam konteks yang tidak nyaman dan terlalu menstimulasi, kebutuhan untuk minum atau beberapa rokok merupakan hal yang masuk akal. Seperti yang Kim jelaskan pada saya, jika Anda berbaring di rasa dingin yang membeku, meminum beberapa alcohol mungkin merupakan satu-satunya cara untuk menghangatkan dan tidur. Ketika Anda kurang gizi, beberapa rokok mungkin merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan rasa lapar. Dan ketika Anda berurusan dengan semua hal ini sembari dengan melawan rasa adiksi, maka ya, terkadang Anda hanya membutuhkan apapun yang akan membuat gejala withdrawal (yang merupakan reaksi negatif yang akan dialami individu ketika ia tidak mengonsumsi obat) hilang, sehingga Anda bisa bertahan hidup.
Beberapa orang yang bukan tunawisma berpikir seperti ini. Mereka ingin memoralisasikan keputusan dari orang miskin, mungkin untuk menghibur diri mereka sendiri mengenai ketidakadilan dunia. Bagi banyak orang, lebih mudah untuk berpikir bahwa tunawisma bertanggung jawab atas penderitaan mereka sendiri daripada mengakui faktor-faktor situasional.
Dan ketika Anda tidak memahami konteks seseorang sepenuhnya – bagaimana rasanya seperti mereka setiap hari, semua kejengkelan atau gangguan kecil dan trauma besar yang mendefinisikan kehidupan mereka – hal yang mudah untuk menanamkan ekspektasi abstrak dan keras pada perilaku seseorang. Semua tunawisma sebaiknya meletakkan botol dan bekerja. Lupakan bahwa sebagian besar dari mereka memiliki gejala kesehatan mental dan penyakit fisik, dan secara terus-menerus berjuang untuk diakui sebagai manusia. Lupakan bahwa mereka tidak dapat istirahat dengan baik atau makanan yang bergizi untuk berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Lupakan bahwa bahkan dalam kehidupan saya yang nyaman dan mudah, saya tidak bisa menjalani beberapa hari tanpa berkeinginan minum atau melakukan pembelian yang tidak bertanggung jawab. Mereka harus melakukan yang lebih baik.
Tetapi mereka telah melakukan yang terbaik dari mereka. Saya kenal orang tunawisma yang bekerja pekerjaan penuh waktu, dan orang yang mengabdikan diri mereka untuk merawat orang lain di komunitas mereka. Banyak orang tunawisma perlu menavigasi birokrasi secara terus menerus, berinteraksi dengan pekerja sosial, pekerja kasus, petugas polisi, staf penampungan (atau tempat tinggal), staf medis, dan banyak kegiatan amal yang bermaksud baik maupun merendahkan. Banyak pekerjaan untuk menjadi seorang tunawisma. Dan ketika seorang tunawisma atau orang miskin kehilangan antusiasme dan membuat “keputusan buruk”, ada alasan yang bagus untuk itu.
Ketika perilaku seseorang tidak masuk akal untuk Anda, hal itu dikarenakan Anda kehilangan satu bagian dari konteks mereka. Sesederhana itu. Saya sangat berterimakasih kepada Kim dan tulisan mereka untuk membuat saya sadar akan fakta ini. Tidak ada kelas psikologi, pada tingkat apapun, mengajarkan saya itu. Tetapi sekarang yang merupakan ‘lensa’ yang saya miliki, saya menemukan diri saya mengaplikasikan kepada semua perilaku yang dikelirukan karena tanda dari kegagalan moral – dan saya belum menemukan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dan berempati dengan.
∙ ∙ ∙
Mari kita lihat pertanda “kemalasan” akademis yang saya yakini tidak lain adalah: penundaan.
Orang suka untuk menyalahkan orang yang penunda karena perilaku mereka. Melepaskan pekerjaan tentu terlihat malas, ke mata yang ‘tidak terlatih’. Bahkan orang yang aktif melakukan penundaan bisa membuat kekeliruan pada perilaku mereka ke kemalasan. Anda seharusnya melakukan sesuatu, dan Anda tidak melakukannya – itu merupakan suatu kegagalan moral bukan? Hal itu berarti Anda berkeinginan lemah, tidak termotivasi, dan malas, benar?
Selama beberapa dekade, penelitian psikologis telah mampu menjelaskan penundaan sebagai masalah fungsi, bukan konsekuensi dari kemalasan. Ketika seseorang gagal untuk memulai proyek yang mereka pedulikan, biasanya dikarenakan antara a) kecemasan mengenai upaya mereka tidak “cukup baik” atau b) bingung mengenai apa langkah pertama dari tugas tersebut. Bukan kemalasan. Faktanya, penundaan lebih seperti ketika tugas itu bermakna dan individu tersebut peduli melakukannya dengan baik.
Ketika Anda ‘lumpuh’ karena takut gagal, atau Anda bahkan tidak tahu bagaimana memulai usaha yang besar, rumit, dan merupakan hal yang sangat sulit untuk menyelesaikannya. Itu tidak ada hubungannya dengan keinginan, motivasi, atau moral yang baik. Penunda bisa bekerja sendiri selama berjam-jam; mereka bisa duduk di depan dokumen yang kosong, tidak melakukan apa-apa, dan menyiksa diri mereka sendiri; mereka bisa menumpuk rasa bersalah lagi dan lagi – tidak ada di antara hal tersebut membuat tugas menjadi lebih mudah. Faktanya, keinginan mereka untuk menyelesaikan tugas dapat memperburuk stress mereka dan membuat memulai dari tugas tersebut menjadi lebih sulit.
Solusinya, sebagai gantinya, adalah untuk melihat apa yang menahan si penunda. Jika kecemasan adalah hambatan terbesar, si penunda sebenarnya perlu pergi dari komputer/buku/dokumen dan ikut dengan aktivitas yang menenangkan. Untuk dicap sebagai “malas” oleh orang lain kemungkinan akan mengarah pada perilaku sebaliknya.
Namun, sering, hambatannya adalah si penunda memiliki tantangan fungsi eksekutif – mereka kesulitan untuk membagi tanggung jawab yang besar menjadi serangkaian diskrit, spesifik, dan tugas yang dipesan. Ini merupakan contoh dari fungsi eksekutif dalam tindakan: Saya telah menyelesaikan disertasi saya (dari proposal ke pengumpulan data ke pertahanan terakhir) dalam sedikit lebih dari setahun. Saya mampu menulis disertasi saya dengan cukup gampang dan cepat karena saya tahu saya perlu a) menyusun penelitian tentang topik tersebut, b) garis besar dokumen, c) menjadwalkan periode penulisan dengan teratur, dan d) membagi dokumen, bagian demi bagian, hari demi hari, sesuai dengan jadwal yang telah saya tentukan sebelumnya.
Tidak ada yang mengajari saya untuk membagi tugas seperti itu. Dan tidak ada yang memaksa saya untuk mengikuti jadwal saya. Menyelesaikan tugas seperti ini konsisten dengan cara kerja otak yang analitis, autistik, dan fokus saya. Kebanyakan orang tidak memiliki kemudahan itu. Mereka membutuhkan struktur eksternal untuk menjaga mereka tetap menulis – pertemuan teratur antara kelompok menulis dengan teman, misalnya – dan jadwal tenggat waktu yang ditentukan oleh orang lain. Ketika berhadapan dengan proyek yang besar, kebanyakan orang menginginkan saran untuk bagaimana cara membagi tugas tersebut menjadi tugas yang lebih kecil, dan linimasa untuk penyelesaiannya. Untuk melihat kemajuannya, kebanyakan orang memerlukan peralatan organisasi, seperti “to-do list”, kalender, buku data, atau silabus.
Membutuhkan atau memanfaatkan dari hal-hal tersebut tidak membuat seseorang malas. Itu hanya berarti bahwa mereka memiliki kebutuhan. Semakin kitra rangkul hal tersebut, semakin kita bisa membantu orang berkembang.
∙ ∙ ∙
Saya memiliki seorang siswa yang melewatkan kelas. Terkadang saya akan melihat ia berlama-lama dekat bangunan, tepat sebelum kelas akan dimulai, ia terlihat lelah. Kelas akan segera dimulai, dan ia tidak muncul. Ketika ia hadir di dalam kelas, ia sedikit menyendiri; ia duduk di belakang kelas, matanya tertunduk, energi yang rendah. Ia memberikan kontribusi kecil dalam kerja kelompok, tetapi tidak pernah berbicara ketika dalam diskusi kelas yang lebih besar.
Banyak dari kolega saya akan melihat siswa ini dan berpikir ia malas, berantakan, atau apatis. Saya tahu ini karena saya pernah mendengar bagaimana mereka bicara mengenai siswa yang berkinerja buruk. Sering ada rasa kemarahan dan kebencian dalam kata-kata mereka dan nada bicaranya – kenapa siswa ini tidak serius dalam kelas saya? Kenapa mereka tidak membuat saya merasa penting, menarik, pintar?
Tetapi kelas saya memiliki unit pada stigma kesehatan mental. Hal ini merupakan gairah saya, karena saya psikolog neuroatypical. Saya tahu betapa tidak adilnya bidang saya bagi orang-orang seperti diri saya. Kelas dan saya membicarakan tentang penilaian yang tidak adil yang diberi terhadap orang-orang dengan penyakit mental; bagaimana depresi diinterpretasikan sebagai kemalasan, bagaimana perubahan suasana hati dijebak sebagai manipulatif, bagaimana orang dengan penyakit mental yang “parah” diasumsikan sebagai tidak kompeten atau berbahaya.
Siswa yang pendiam, yang kadang-kadang melewatkan kelas menonton diskusi ini dengan rasa tertarik yang kuat. Setelah kelas, ketika orang-orang keluar dari ruangan, ia kembali dan diminta untuk berbicara dengan saya. Kemudian ia mengungkapkan bahwa ia memiliki penyakit mental dan secara aktif mengobatinya. Ia sibuk dengan terapi dan pengobatan yang berganti, dan semua efek samping yang menyertainya. Terkadang, ia tidak bisa meninggalkan rumah atau duduk diam di dalam kelas selama berjam-jam. Ia tidak berani memberitahu profesor-profesornya yang lain karena hal inilah ia melewatkan kelas dan terlambat, kadang-kadang, pada tugas; mereka akan berpikir bahwa ia menggunakan penyakitnya sebagai alasan. Tetapi ia percaya bahwa saya akan mengerti.
Dan saya mengerti. Dan saya sangat, sangat marah karena siswa ini dibuat merasa bertanggung jawab atas gejala yang ia alami. Ia menyeimbangkan kursus penuh, pekerjaan paruh waktu, dan yang sedang ia jalani, pengobatan kesehatan mental yang serius. Dan ia mampu memenuhi kebutuhannya dan berkomunikasi dengan orang lain. Ia bukanlah seorang pemalas. Saya mengatakan hal itu.
Setelah itu ia mengambil lebih banyak kelas bersama saya , dan perlahan saya melihatnya keluar dari cangkangnya dengan pelan-pelan. Menjelang tahun junior dan seniornya, ia aktif, kontributor jujur kepada kelas – ia bahkan memutuskan untuk berbicara terbuka dengan teman-temannya mengenai penyakit mentalnya. Ketika diskusi kelas, ia menantang saya dan menanyakan pertanyaan menyelidik yang luar biasa. Ia membagikan banyak sekali contoh-contoh media dan peristiwa terkini mengenai fenomena psikologis dengan kami. Ketika ia sedang memiliki hari yang buruk, ia mengatakan kepada saya, dan saya membiarkan ia melewatkan kelas. Profesor-profesor lainnya – termasuk yang di departemen psikologi – tetap menghakiminya, tetapi di lingkungan dimana hambatannya diakui, ia berkembang.
∙ ∙ ∙
Selama bertahun-tahun, di sekolah yang sama, saya bertemu banyak sekali siswa yang direndahkan karena hambatan-hambatan di kehidupan mereka tidak diakui. Ada seorang pemuda dengan OCD yang selalu datang terlambat ke kelas, karena adanya kompulsi yang terkadang membuat ia terjebak dalam suatu tempat dalam beberapa saat. Ada seorang penyintas dari hubungan abusif, yang sedang memproses traumanya dalam janji terapi tepat sebelum kelas saya setiap minggu. Ada seorang wanita muda yang telah diperkosa oleh temannya – dan harus terus menghadiri kelas dengan temannya itu, ketika sekolah sedang menginvestigasi kasus tersebut.
Para siswa ini semuanya dating kepada saya dengan sukarela, dan berbagi cerita apa yang membosankan mereka. Karena saya mendisuksikan penyakit mental, trauma, dan stigma di dalam kelas saya, mereka tahu saya akan mengerti. Dan dengan beberapa akomodasi, akademis mereka berkembang. Mereka memperoleh rasa percaya diri, melakukan upaya pada tugas yang mengintimidasi mereka, menaikkan nilai mereka, mulai mempertimbangkan kelulusan sekolah dan magang. Saya selalu menemukan diri saya mengagumi mereka. Ketika saya kuliah, saya sama sekali tidak sadar akan diri saya sendiri. Saya bahkan belum memulai proyek belajar seumur hidup untuk meminta bantuan.
∙ ∙ ∙
Siswa dengan hambatan tidak selalu diperlakukan dengan kebaikan seperti itu oleh sesama profesor psikologi saya. Satu kolega, khususnya, terkenal buruk karena tidak menyediakan ujian ulang dan tidak mengizinkan keterlambatan. Tidak peduli situasi siswa, ia begitu kukuh dengan persyaratannya. Tidak ada penghalang yang tidak dapat diatasi, dalam pikirannya; tidak ada batasan yang dapat diterima. Orang-orang berusaha keras di kelasnya. Mereka merasa malu dengan riwayat serangan seksual mereka, gejala kecemasan mereka, episode depresi mereka. Ketika seorang siswa yang berperforma buruk di kelasnya dan berperforma baik di kelas saya, ia curiga.
Secara moral sangat menjijikkan bagi saya bahwa setiap pendidik akan begitu memusuhi orang-orang yang seharusnya mereka layani. Sangat menyebalkan, bahwa orang yang melakukan teror ini adalah seorang psikolog. Ketidakadilan dan pengabaian hal ini membuat saya berkaca-kaca setiap kali saya mendiskusikannya. Ini adalah sikap umum di banyak kalangan pendidikan, tetapi tidak ada siswa yang pantas untuk menjumpainya.
∙ ∙ ∙
Saya tahu, tentunya, bahwa pendidik tidak diajari untuk merefleksikan pada apa hambatan siswa yang tidak terlihat. Beberapa universitas bangga karena menolak menampung mahasiswa penyandang disabilitas atau sakit mental – mereka mengelirukan kekejaman untuk ketegasan intelektual. Dan, karena sebagian besar profesor-profesor adalah orang-orang yang berhasil secara akademis dengan mudah, mereka memiliki kesulitan mengambil perspektif seseorang dengan memperjuangkan fungsi eksekutif, kelebihan sensorik, depresi, riwayat melukai diri sendiri, kecanduan, atau gangguan makan. Saya dapat melihat faktor eksternal yang menyebabkan masalah-masalah ini. Seperti yang saya tahu bahwa perilaku “malas” bukanlah pilihan yang aktif, saya tahu bahwa sikap menghakimi, elitis biasanya muncul dari ketidakpedulian situasional.
Dan karena itulah saya menulis ini. Saya berharap untuk menyadarkan rekan-rekan pendidik saya – pada semua tingkat – kepada fakta bahwa jika seorang siswa sedang berjuang, mereka mungkin tidak memilih untuk melakukannya. Mereka mungkin ingin melakukannya dengan baik. Mereka mungkin sedang berusaha. Lebih luasnya, saya ingin semua orang untuk mengambil pendekatan yang penuh rasa ingin tahu dan empatik kepada individu yang ingin mereka hakimi sebagai “malas” atau tidak bertanggung jawab.
Ketika seseorang tidak bisa lepas dari Kasur, ada sesuatu yang membuat mereka merasa lelah. Jika seorang siswa tidak menulis dokumen, ada beberapa aspek dari tugas tersebut yang mereka tidak bisa lakukan tanpa bantuan. Jika seorang karyawan melewatkan tenggat waktu secara terus-menerus, ada sesuatu yang membuat organisasi dan tenggat waktu pertemuan menjadi sulit. Bahkan ketika seseorang aktif memilih untuk sabotase diri, ada alasan untuk itu – rasa takut yang sedang mereka hadapi , beberapa kebutuhan tidak ditemui, kurangnya ekspresi harga diri.
Orang-orang tidak memilih untuk gagal atau mengecewakan. Tidak ada yang ingin merasa tidak mampu, apatis, atau tidak efektif. Jika Anda melihat ke tindakan seseorang (atau kelambanan) dan hanya melihat kemalasan, Anda melewatkan detail utama. Selalu ada penjelasan. Selalu ada hambatan. Hanya karena Anda tidak bisa melihatnya, atau tidak melihat mereka sebagai sesuatu yang diakui, tidak berarti bahwa mereka tidak ada. Lihatlah lebih jelas.
Mungkin Anda tidak selalu dapat melihat perilaku manusia dengan cara ini. Tidak apa-apa. Sekarang kamu bisa. Cobalah.
BERITA BINUS : BINUS UNIVERSITY Sabet Penghargaan dari LLDIKTI 3, Bukti Konsistensi Dalam Menjaga Mutu Pendidikan