Perbincangan Juneman Abraham dengan Kompas, 6 Januari 2023.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/01/04/beban-jiwa-warga-kota
Oleh: M Zaid Wahyudi
Libur Natal dan Tahun Baru 2023 telah usai. Kehidupan Jakarta pun berangsur normal. Kemacetan dan kepadatan jalanan menjadi rutinitas yang harus dihadapi lagi. Hujan yang terus turun menambah was-was, khususnya saat jam pulang kantor. Berbagai ketidakpastian yang harus dihadapi penglaju memberi beban mental yang besar bagi warga kota.
Jakarta masih menjadi tujuan migrasi utama dari seluruh Indonesia. Banyak impian dan harapan digantung pada kota ini, Wajar jika akhirnya kepadatan penduduk Jakarta pada 2019 mencapai 118 kali dari kepadatan rata-rata nasional. Padatnya Jakarta membuat daerah penyangga harus menampung luapan penduduk yang bekerja di Jakata tapi tinggal di pinggiran.
Meski laju pertumbuhan penduduk Bodetabek beberapa kali lipat dari angka nasional, kondisi infrastruktur di wilayah tersebut dan Jakarta relatif stabil selama berpuluh tahun. Akibatnya, kemacetan menjadi persoalan yang sejak dulu hingga kini sulit diatasi. Terlebih, sistem transportasi di Jabodetabek belum terintegrasi sepenuhnya.
Alhasil, banyak warga pinggiran Jakarta sudah harus bersiap bekerja sejak dini hari. Mereka harus berangkat bekerja atau sekolah sejak subuh agar tidak telat masuk. Namun, meski jenis kendaraan, rute yang ditempuh, dan berangkat pada jam yang sama, waktu yang dibutuhkan untuk tiba di kantor atau sekolah tetap sulit diprediksi.
“Ketidakpastian jalanan menjadi salah satu penyebab utama stres warga kota,” psikolog klinis dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Adityawarman Menaldi di Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Saat energi sudah habis di jalan, maka hanya daya tersisa yang digunakan untuk belajar dan bekerja. Saat bekerja, bayang-bayang kerumitan pulang ke rumah pun sudah memenuhi kepala. Apalagi jika hujan saat jam pulang kantor. Akhirnya, pikiran pun tidak pernah tenang dan sulit berkonsentrasi saat melakukan apapun. Hidup pun jadi lebih sulit dinikmati.
Peneliti psikologi perkotaan yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara Jakarta Juneman Abraham mengatakan, tinggal di perkotaan, khususnya kota metropolitan seperti Jakarta, memang identik dengan beban stres yang tinggi. Namun, peluang ekonomi yang lebih terbuka lebar membuat banyak warga harus berdamai dengan kondisi mentalnya.
Lingkungan masyarakat yang plural, kompetitif, sistem arsitektural, hingga iklim politik yang ada tak hanya memberi tekanan ekonomi dan sosial, tetapi juga psikologi. Pluralitas itu seharusnya menjadi kekuatan untuk menyejahterakan masyarakat. Namun, seringkali keragaman identitas sosial itu justru dipolitisasi hingga membuat masyarakat saling curiga dan ujungnya stres.
“Tata kota di kota-kota besar, khususnya Jakarta, lebih mencerminkan personifikasi pemimpinnya,” tambahnya. Hasrat untuk membuat kota sejajar dengan kota-kota besar dunia membuat investasi pemodal sulit dihindari. Alih-alih mengajak masyarakat membangun kota bersama, rakyatlah yang akhirnya sering dikorbankan dalam kompetisi yang tidak seimbang itu.
Tabrakan antaraspirasi yang dibawa masing-masing individu seringkali menimbulkan ketegangan, bahkan berkembang menjadi konflik. Menyerobot antrean, berkendara ugal-ugalan, mau menang sendiri dalam segala hal, mudah ditemukan.
Semua orang mau jadi yang tercepat, paling diuntungkan, hingga paling diistimewakan. Kondisi sosial budaya yang seharusnya bisa menjadi peredam stres justru kerap menjadi sumber persoalan.
Tata kota di kota-kota besar, khususnya Jakarta, lebih mencerminkan personifikasi pemimpinnya.
Aspek politik juga penting dalam membentuk masyarakat yang sehat jiwanya. Kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat tanpa merendahkan atau menyakiti orang lain, tingkat korupsi, hingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota juga akan menentukan kesejahteraan warga.
Beban jiwa warga kota itu tergambar dalam Indeks Kebahagiaan 2021. Meski pendapatan per kapita masyarakat di Jabodetabek tinggi, tingkat pendidikan jauh lebih baik, hingga fasilitas publik yang lengkap, nyatanya tak membuat warganya bahagia. Provinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat sebagai provinsi yang menaungi Jabodetabek masuk dalam delapan provinsi paling tidak bahagia.
Namun, paradoks Easterlin yang menyebut kebahagiaan seseorang tidak berhubungan signifikan dengan besar-kecilnya pendapatan itu adalah fenomena global, bukan hanya masalah Jabodetabek. Banyak hal-hal tanwujud (intangible) yang harus diperhatikan pemerintah kota agar masyarakat bahagia dan sejahtera, lahir dan batin.
Orang muda
Sebagian besar penduduk kota adalah orang muda dan produktif. Mereka datang ke kota memang untuk belajar atau bekerja. Sementara warga senior atau lanjut usia, umumnya tersingkir di pinggiran. Kondisi itu memberi modal besar dalam menggerakkan ekonomi kota, tetapi juga memberikan kerentanan tinggi dalam kesehatan mental yang berdampak luas.
“Secara teoretis, kemampuan koping atau memecahkan masalah yang dimiliki seseorang akan berkembang sesuai umur dan pengalaman hidup,” kata Adityawarman. Kondisi itu membuat modal yang dimiliki orang muda dalam mengatasi masalah jauh lebih kecil dibanding mereka yang lebih tua.
Akibatnya, seperti saat banjir dan genangan memutus banyak jalan di Jakarta, awal Oktober 2022, berbagai keluh kesah dan pamer penderitaan muncul di media sosial. Cara ini memang paling simpel untuk meluapkan kekesalan dan ketidaknyamanan, tetapi tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, informasi ‘kesusahan’ yang melimpah justru bisa membuat makin stres.
Stres yang menumpuk dan tidak segera diselesaikan akan memicu stres berat dan depresi. Dampaknya tidak hanya pada kesehatan jiwa, tetapi bisa juga menurunkan produktivitas masyarakat, memicu aneka persoalan sosial dan kriminal, serta meningkatnya berbagai risiko penyakit degeneratif, biaya kesehatan, kematian dini, hingga beban ekonomi negara.
Meski demikian, Juneman mengingatkan untuk tidak menyamaratakan kondisi anak muda. Selama ini, anak muda atau generasi Z dicap oleh generasi yang lebih senior sebagai ‘generasi stroberi’, generasi yang mudah hancur saat menghadapi tekanan. Padahal realitasnya, masih banyak anak muda yang tangguh, berprestasi, dan mampu berkarya.
“Butuh banyak ruang atau peristiwa komunikasi yang bisa mempertemukan anak muda dan warga senior hingga timbul sikap saling memahami antargenerasi,” katanya. Pembangunan kota yang memisahkan ruang bagi anak muda dan warga senior hanya akan mengerdilkan potensi anak muda dan semakin meminggirkan warga senior.
Untuk mengatasi berbagai tekanan hidup warga kota, Juneman berharap pemerintah kota mau menyeimbangkan pembangunan kota. Pembangunan pusat perbelanjaan dan wisata berbayar perlu diimbangi dengan pembangunan taman atau tempat wisata gratis yang bisa diakses siapapun.
Semangat kompetitif, baik antarmasyarakat atau antara masyarakat dengan pemilik modal juga perlu diseimbangkan dengan semangat kolaboratif. Partisipasi warga perlu terus digali dan dijaga. Pengabaian aspirasi warga hanya akan menimbulkan apatisme yang justru berbahaya bagi kota dan kesehatan jiwa warganya.
Sementara itu, Adityawarman menilai masyarakat Indonesia sejatinya punya modal sosial budaya yang kuat. Sikap saling menghargai dan menghormati serta peduli bisa meringankan tekanan yang dialami masyarakat kota. Namun nilai-nilai luhur itu menghadapi banyak ujian karena pelaksanaannya sangat bergantung pada kemauan individu.
Karena itu, pembangunan kota dengan infrastruktur yang memadai akan sangat membantu mewujudkan kesehatan mental masyarakat kota. Sistem transportasi dan layanan publik yang baik akan sangat membantu masyarakat mengurangi variabel-variabel tidak terduga dan tidak terukur yang bisa memicu stres. Hidup pun menjadi lebih mudah dikendalikan.
“Kota yang sehat bukanlah kota yang hanya memiliki layanan kesehatan dan medis memadai saja, tetapi kota yang bisa tetap memanusiakan manusia,” katanya.