Setiap tahun, Journal of Social and Political Psychology (JSPP) menyampaikan laporan kepada publik mengenai kinerja penyuntingan dan penelaahan yang berlangsung dalam jurnal tersebut, termasuk dampaknya.
Streaming Galang Dana Relawan Jurnal Indonesia di Anchor.fm bertajuk Nilai Manusiawi Sains Terbuka – Sains Terbuka dekat dengan kita semua (Juneman Abraham)Definisi Psikologis Sains Terbuka menurut Juneman AbrahamMelalui lokakarya Open Science Relawan Jurnal Indonesia (Terlaksana, 2 Mei 2020), memahami arti penting arxivTanggapan terhadap Sains Terbuka di Youtube
Dalam rangka Hari Kesehatan Sedunia, 7 April 2020 dan Hari Buku Sedunia, 23 April 2020, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) meluncurkan:
• Buku Seri ke-4 Sumbangan Pemikiran Psikologi untuk Bangsa, berjudul “Psikologi dan Integrasi Bangsa”
• Berkala Psikologi Indonesia Volume 1 Nomer 2, bertema “Akses terbuka (open access) sebagai realisasi gagasan ilmu yang terbuka (open science)”
• Situs https://publikasi.himpsi.or.id, berisikan buku dan terbitan berkala HIMPSI.HIMPSI memiliki dua buah tradisi dalam pengembangan pengetahuan, yakni penulisan buku Seri Sumbangan Pemikiran Psikologi untuk Bangsa dan berkala Psikologi Indonesia.
Apresiasi HIMPSI terhadap pengembangan pengetahuan dikuatkan dengan keputusan HIMPSI mengenai SKP (Satuan Kredit Profesi) Pengembangan Kompetensi Psikologi yang baru saja dikeluarkan. Dalam keputusan tersebut, pengembangan kompetensi Psikologi mencakup kegiatan diseminasi pengetahuan Psikologi.
Peluncuran situs https://publikasi.himpsi.or.id yang dapat diakses bebas untuk dibaca ditujukan untuk mendukung belajar dan bekerja di rumah pada masa tanggap darurat COVID-19 ini. Shannon Nolan, seorang jurnalis multimedia digital, menyatakan bahwa membaca buku elektronik merupakan salah satu satu cara kreatif untuk tetap terhibur selama harus di rumah. Perasaan terhibur akan membawa emosi positif yang dapat meningkatkan imunitas tubuh.
Pembebasan akses terhadap pengetahuan yang tersimpan dalam buku elektronik menjadi salah satu gerakan sosial yang penting untuk “memanusiakan manusia”, di tengah keterbatasan mobilitas kita saat ini.
Atas dasar hal tersebut diatas, HIMPSI meluncurkan buku dan terbitan berkala HIMPSI secara daring, yaitu:
• Buku Seri Sumbangan Pemikiran Psikologi untuk Bangsa, terdiri dari:
o Buku Seri Ke-4: Psikologi dan Integrasi Bangsa
o Buku Seri Ke-3: Psikologi dan Pendidikan dalam Konteks Kebangsaan
o Buku Seri Ke-2: Psikologi dan Teknologi Informasi
o Buku Seri Ke-1: Revolusi Mental: Makna dan Realisasi
• Berkala Psikologi Indonesia, terdiri dari:
o Psikologi Indonesia Vol. 1 No. 1, Menjadi Psikologi yang Relevan
o Psikologi Indonesia Vol. 1 No. 2, Sains Terbuka & Manajemen Talenta
HIMPSI berharap pengambil kebijakan, dosen, peneliti, mahasiswa, serta masyarakat umum dapat memanfaatkannya sebagai bagian dari pembuatan keputusan, pengembangan diri, maupun untuk kepentingan lainnya.
Peluncuran dilaksanakan pada:
Rabu, 8 April 2020, pukul: 15.00 – 17.00 WIB, via Zoom Meeting
Peluncuran dibuka oleh Ketua Umum PP HIMPSI (Dr. Seger Handoyo, Psikolog), dan dilanjutkan pengantar dari Editor Buku Seri Sumbangan Pemikiran Psikologi untuk Bangsa dan Berkala Psikologi Indonesia, yaitu:
• Prof. A. Supratiknya, Ph.D., Psikolog
• Dr. Tjipto Susana, M.Si., Psikolog
• Dr. Juneman Abraham, S.Psi., M.Si.
• Dr. Rahkman Ardi, M.Psych.
Peluncuran juga diisi short speech menarik tentang Psikologi dan Integrasi Bangsa oleh:
• Kepala Dinas Psikologi Angkatan Darat – Brigjen TNI Dr Eri Radityawara Hidayat
• Kepala Dinas Psikologi Angkatan Laut – Laksamana Pertama TNI Drs. Tri Budi Marwanto, M.M., Psikolog
• Kepala Dinas Psikologi Angkatan Udara – Marsma TNI Dr.Drs. Sukmo Gunardi, M.Si., Psikolog
• Kepala Biro Psikologi SSDM POLRI – Brigjen Pol. Yudawan R., S.H., M.H.
• Prof. Dr H Abd. A’la, M.Ag. – Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Periode 2000 – 2018.
• Shahnaz Safitri, M.Psi., Psikolog – Dosen Fakultas Psikologi UI
Devon Price: Saya telah menjadi profesor psikologi sejak 2012. Dalam 6 tahun terakhir, saya telah menyaksikan siswa dari segala usia menunda pada dokumen-dokumen, melewati hari-hari presentasi, melewatkan tugas, dan membiarkan jadwal tenggat terlewati begitu saja. Saya telah melihat calon mahasiswa pascasarjana gagal mendapatkan lamaran tepat waktu; saya telah melihat kandidat PhD memerlukan berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk merevisi satu konsep disertasi; saya dulu pernah memiliki siswa yang terdaftar di kelas yang sama dengan saya selama 2 semester berturut-turut, dan tidak pernah menyerahkan apapun saat itu.
Saya tidak pernah berpikir bahwa kemalasan
adalah suatu kesalahan.
Tidak pernah.
Faktanya, saya tidak percaya bahwa kemalasan
itu ada.
∙ ∙ ∙
Saya adalah psikolog sosial, jadi saya tertarik
terutama pada faktor situasional dan kontekstual yang mendorong perilaku
manusia. Ketika kamu berusaha untuk memprediksi atau menjelaskan suatu tindakan
seseorang, melihat kepada norma sosial, dan konteks dari orang tersebut,
biasanya cukup pasti. Kendala situasional biasanya memprediksi perilaku jauh
lebih baik daripada kepribadian, kecerdasan, atau sifat-sifat individu.
Jadi ketika saya melihat seorang siswa gagal
untuk menyelesaikan tugas, melewatkan tenggat waktu, atau tidak memberikan
hasil dalam aspek kehidupan mereka, saya tergerak untuk bertanya: faktor
situasional apa yang menahan siswa ini? Kebutuhan apa yang tidak dipenuhi? Dan,
ketika datang ke perilaku “kemalasan,” saya secara khusus tergerak untuk
bertanya: apa hambatan untuk tindakan yang saya tidak bisa lihat?
Hambatan itu selalu ada. Mengenali
hambatan-hambatan tersebut – dan melihat mereka sebagai hal yang sah, diakui –
seringkali merupakan langkah pertama untuk memecahkan pola perilaku “malas”.
∙ ∙ ∙
Merupakan hal yang sangat membantu untuk
merespon kepada perilaku seseorang yang tidak efektif dengan rasa penasaran
daripada suatu anggapan. Saya mempelajari ini dari seorang teman saya, Kimberly
Longhofer, seorang penulis dan aktivis (yang menerbitkan dengan nama Mik
Everett). Kim bersemangat tentang penerimaan dan akomodasi pada orang-orang
disabilitas dan para tunawisma. Tulisan mereka tentang kedua hal tersebut
merupakan beberapa karya yang paling mencerahkan dan bias yang pernah saya
temui. Sebagian dari itu adalah karena Kim brilian, tetapi juga karena berbagai
poin pada hidup mereka, Kim telah menjadi cacat dan tunawisma.
Kim adalah orang yang mengajariku bahwa menilai
atau memberi suatu anggapan kepada seorang tunawisma karena ingin membeli
alkohol atau rokok merupakan suatu kebodohan. Ketika Anda tidak memiliki rumah,
malam itu dingin, dunia menjadi tidak bersahabat, dan semuanya menjadi sangat
tidak nyaman. Baik Anda tidur di bawah jembatan, di dalam tenda, atau di sebuah
penampungan, sulit untuk beristirahat dengan mudah. Anda mungkin memiliki
cedera atau kondisi kronis yang terus-menerus mengganggu Anda, dan memiliki
akses yang kecil untuk bisa ke perawatan medis untuk menghadapinya. Anda
mungkin tidak memiliki banyak makanan sehat.
Dalam konteks yang tidak nyaman dan terlalu
menstimulasi, kebutuhan untuk minum atau beberapa rokok merupakan hal yang
masuk akal. Seperti yang Kim jelaskan pada saya, jika Anda berbaring di rasa
dingin yang membeku, meminum beberapa alcohol mungkin merupakan satu-satunya cara
untuk menghangatkan dan tidur. Ketika Anda kurang gizi, beberapa rokok mungkin
merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan rasa lapar. Dan ketika Anda
berurusan dengan semua hal ini sembari dengan melawan rasa adiksi, maka ya,
terkadang Anda hanya membutuhkan apapun yang akan membuat gejala withdrawal (yang merupakan reaksi
negatif yang akan dialami individu ketika ia tidak mengonsumsi obat) hilang,
sehingga Anda bisa bertahan hidup.
Beberapa orang yang bukan tunawisma berpikir
seperti ini. Mereka ingin memoralisasikan keputusan dari orang miskin, mungkin
untuk menghibur diri mereka sendiri mengenai ketidakadilan dunia. Bagi banyak
orang, lebih mudah untuk berpikir bahwa tunawisma bertanggung jawab atas
penderitaan mereka sendiri daripada mengakui faktor-faktor situasional.
Dan ketika Anda tidak memahami konteks
seseorang sepenuhnya – bagaimana rasanya seperti mereka setiap hari, semua
kejengkelan atau gangguan kecil dan trauma besar yang mendefinisikan kehidupan
mereka – hal yang mudah untuk menanamkan ekspektasi abstrak dan keras pada
perilaku seseorang. Semua tunawisma
sebaiknya meletakkan botol dan bekerja. Lupakan bahwa sebagian besar dari
mereka memiliki gejala kesehatan mental dan penyakit fisik, dan secara
terus-menerus berjuang untuk diakui sebagai manusia. Lupakan bahwa mereka tidak
dapat istirahat dengan baik atau makanan yang bergizi untuk berminggu-minggu
atau berbulan-bulan. Lupakan bahwa bahkan dalam kehidupan saya yang nyaman dan
mudah, saya tidak bisa menjalani beberapa hari tanpa berkeinginan minum atau
melakukan pembelian yang tidak bertanggung jawab. Mereka harus melakukan yang
lebih baik.
Tetapi mereka telah melakukan yang terbaik dari
mereka. Saya kenal orang tunawisma yang bekerja pekerjaan penuh waktu, dan
orang yang mengabdikan diri mereka untuk merawat orang lain di komunitas
mereka. Banyak orang tunawisma perlu menavigasi birokrasi secara terus menerus,
berinteraksi dengan pekerja sosial, pekerja kasus, petugas polisi, staf
penampungan (atau tempat tinggal), staf medis, dan banyak kegiatan amal yang
bermaksud baik maupun merendahkan. Banyak pekerjaan untuk menjadi seorang
tunawisma. Dan ketika seorang tunawisma atau orang miskin kehilangan antusiasme
dan membuat “keputusan buruk”, ada alasan yang bagus untuk itu.
Ketika perilaku seseorang tidak masuk akal
untuk Anda, hal itu dikarenakan Anda kehilangan satu bagian dari konteks
mereka. Sesederhana itu. Saya sangat berterimakasih kepada Kim dan tulisan
mereka untuk membuat saya sadar akan fakta ini. Tidak ada kelas psikologi, pada
tingkat apapun, mengajarkan saya itu. Tetapi sekarang yang merupakan ‘lensa’
yang saya miliki, saya menemukan diri saya mengaplikasikan kepada semua
perilaku yang dikelirukan karena tanda dari kegagalan moral – dan saya belum
menemukan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dan berempati dengan.
∙ ∙ ∙
Mari kita lihat pertanda
“kemalasan” akademis yang saya yakini tidak lain adalah: penundaan.
Orang suka untuk menyalahkan orang yang penunda
karena perilaku mereka. Melepaskan pekerjaan tentu terlihat malas, ke mata yang
‘tidak terlatih’. Bahkan orang yang aktif melakukan penundaan bisa membuat
kekeliruan pada perilaku mereka ke kemalasan. Anda seharusnya melakukan
sesuatu, dan Anda tidak melakukannya – itu merupakan suatu kegagalan moral
bukan? Hal itu berarti Anda berkeinginan lemah, tidak termotivasi, dan malas,
benar?
Selama beberapa dekade, penelitian psikologis
telah mampu menjelaskan penundaan sebagai masalah fungsi, bukan konsekuensi
dari kemalasan. Ketika seseorang gagal untuk memulai proyek yang mereka pedulikan,
biasanya dikarenakan antara a) kecemasan mengenai upaya mereka tidak “cukup
baik” atau b) bingung mengenai apa langkah pertama dari tugas tersebut. Bukan
kemalasan. Faktanya, penundaan lebih seperti ketika tugas itu bermakna dan
individu tersebut peduli melakukannya dengan baik.
Ketika Anda ‘lumpuh’ karena takut gagal, atau
Anda bahkan tidak tahu bagaimana memulai usaha yang besar, rumit, dan merupakan
hal yang sangat sulit untuk menyelesaikannya. Itu tidak ada hubungannya dengan
keinginan, motivasi, atau moral yang baik. Penunda bisa bekerja sendiri selama
berjam-jam; mereka bisa duduk di depan dokumen yang kosong, tidak melakukan
apa-apa, dan menyiksa diri mereka sendiri; mereka bisa menumpuk rasa bersalah
lagi dan lagi – tidak ada di antara hal tersebut membuat tugas menjadi lebih
mudah. Faktanya, keinginan mereka untuk menyelesaikan tugas dapat memperburuk
stress mereka dan membuat memulai dari tugas tersebut menjadi lebih sulit.
Solusinya, sebagai gantinya, adalah untuk
melihat apa yang menahan si penunda. Jika kecemasan adalah hambatan terbesar,
si penunda sebenarnya perlu pergi dari komputer/buku/dokumen dan ikut dengan
aktivitas yang menenangkan. Untuk dicap sebagai “malas” oleh orang lain
kemungkinan akan mengarah pada perilaku sebaliknya.
Namun, sering, hambatannya adalah si penunda
memiliki tantangan fungsi eksekutif – mereka kesulitan untuk membagi tanggung
jawab yang besar menjadi serangkaian diskrit, spesifik, dan tugas yang dipesan.
Ini merupakan contoh dari fungsi eksekutif dalam tindakan: Saya telah
menyelesaikan disertasi saya (dari proposal ke pengumpulan data ke pertahanan
terakhir) dalam sedikit lebih dari setahun. Saya mampu menulis disertasi saya
dengan cukup gampang dan cepat karena saya tahu saya perlu a) menyusun
penelitian tentang topik tersebut, b) garis besar dokumen, c) menjadwalkan
periode penulisan dengan teratur, dan d) membagi dokumen, bagian demi bagian,
hari demi hari, sesuai dengan jadwal yang telah saya tentukan sebelumnya.
Tidak ada yang mengajari saya untuk membagi tugas
seperti itu. Dan tidak ada yang memaksa saya untuk mengikuti jadwal saya.
Menyelesaikan tugas seperti ini konsisten dengan cara kerja otak yang analitis,
autistik, dan fokus saya. Kebanyakan orang tidak memiliki kemudahan itu. Mereka
membutuhkan struktur eksternal untuk menjaga mereka tetap menulis – pertemuan
teratur antara kelompok menulis dengan teman, misalnya – dan jadwal tenggat
waktu yang ditentukan oleh orang lain. Ketika berhadapan dengan proyek yang
besar, kebanyakan orang menginginkan saran untuk bagaimana cara membagi tugas
tersebut menjadi tugas yang lebih kecil, dan linimasa untuk penyelesaiannya.
Untuk melihat kemajuannya, kebanyakan orang memerlukan peralatan organisasi,
seperti “to-do list”, kalender, buku data, atau silabus.
Membutuhkan atau memanfaatkan dari hal-hal
tersebut tidak membuat seseorang malas. Itu hanya berarti bahwa mereka memiliki
kebutuhan. Semakin kitra rangkul hal tersebut, semakin kita bisa membantu orang
berkembang.
∙ ∙ ∙
Saya memiliki seorang siswa yang melewatkan kelas.
Terkadang saya akan melihat ia berlama-lama dekat bangunan, tepat sebelum kelas
akan dimulai, ia terlihat lelah. Kelas akan segera dimulai, dan ia tidak
muncul. Ketika ia hadir di dalam kelas, ia sedikit menyendiri; ia duduk di
belakang kelas, matanya tertunduk, energi yang rendah. Ia memberikan kontribusi
kecil dalam kerja kelompok, tetapi tidak pernah berbicara ketika dalam diskusi
kelas yang lebih besar.
Banyak dari kolega saya akan melihat siswa ini
dan berpikir ia malas, berantakan, atau apatis. Saya tahu ini karena saya
pernah mendengar bagaimana mereka bicara mengenai siswa yang berkinerja buruk.
Sering ada rasa kemarahan dan kebencian dalam kata-kata mereka dan nada
bicaranya – kenapa siswa ini tidak serius
dalam kelas saya? Kenapa mereka tidak membuat saya merasa penting, menarik,
pintar?
Tetapi kelas saya memiliki unit pada stigma
kesehatan mental. Hal ini merupakan gairah saya, karena saya psikolog neuroatypical.
Saya tahu betapa tidak adilnya bidang saya bagi orang-orang seperti diri saya.
Kelas dan saya membicarakan tentang penilaian yang tidak adil yang diberi
terhadap orang-orang dengan penyakit mental; bagaimana depresi
diinterpretasikan sebagai kemalasan, bagaimana perubahan suasana hati dijebak
sebagai manipulatif, bagaimana orang dengan penyakit mental yang “parah”
diasumsikan sebagai tidak kompeten atau berbahaya.
Siswa yang pendiam, yang kadang-kadang
melewatkan kelas menonton diskusi ini dengan rasa tertarik yang kuat. Setelah
kelas, ketika orang-orang keluar dari ruangan, ia kembali dan diminta untuk
berbicara dengan saya. Kemudian ia mengungkapkan bahwa ia memiliki penyakit
mental dan secara aktif mengobatinya. Ia sibuk dengan terapi dan pengobatan
yang berganti, dan semua efek samping yang menyertainya. Terkadang, ia tidak
bisa meninggalkan rumah atau duduk diam di dalam kelas selama berjam-jam. Ia
tidak berani memberitahu profesor-profesornya yang lain karena hal inilah ia
melewatkan kelas dan terlambat, kadang-kadang, pada tugas; mereka akan berpikir
bahwa ia menggunakan penyakitnya sebagai alasan. Tetapi ia percaya bahwa saya
akan mengerti.
Dan saya mengerti. Dan saya sangat, sangat
marah karena siswa ini dibuat merasa bertanggung jawab atas gejala yang ia
alami. Ia menyeimbangkan kursus penuh, pekerjaan paruh waktu, dan yang sedang
ia jalani, pengobatan kesehatan mental yang serius. Dan ia mampu memenuhi
kebutuhannya dan berkomunikasi dengan orang lain. Ia bukanlah seorang pemalas.
Saya mengatakan hal itu.
Setelah itu ia mengambil lebih banyak kelas
bersama saya , dan perlahan saya melihatnya keluar dari cangkangnya dengan
pelan-pelan. Menjelang tahun junior dan seniornya, ia aktif, kontributor jujur
kepada kelas – ia bahkan memutuskan untuk berbicara terbuka dengan
teman-temannya mengenai penyakit mentalnya. Ketika diskusi kelas, ia menantang
saya dan menanyakan pertanyaan menyelidik yang luar biasa. Ia membagikan banyak
sekali contoh-contoh media dan peristiwa terkini mengenai fenomena psikologis
dengan kami. Ketika ia sedang memiliki hari yang buruk, ia mengatakan kepada
saya, dan saya membiarkan ia melewatkan kelas. Profesor-profesor lainnya –
termasuk yang di departemen psikologi – tetap menghakiminya, tetapi di
lingkungan dimana hambatannya diakui, ia berkembang.
∙ ∙ ∙
Selama bertahun-tahun, di sekolah yang sama,
saya bertemu banyak sekali siswa yang direndahkan karena hambatan-hambatan di
kehidupan mereka tidak diakui. Ada seorang pemuda dengan OCD yang selalu datang
terlambat ke kelas, karena adanya kompulsi yang terkadang membuat ia terjebak
dalam suatu tempat dalam beberapa saat. Ada seorang penyintas dari hubungan
abusif, yang sedang memproses traumanya dalam janji terapi tepat sebelum kelas
saya setiap minggu. Ada seorang wanita muda yang telah diperkosa oleh temannya
– dan harus terus menghadiri kelas dengan temannya itu, ketika sekolah sedang
menginvestigasi kasus tersebut.
Para siswa ini semuanya dating kepada saya
dengan sukarela, dan berbagi cerita apa yang membosankan mereka. Karena saya
mendisuksikan penyakit mental, trauma, dan stigma di dalam kelas saya, mereka
tahu saya akan mengerti. Dan dengan beberapa akomodasi, akademis mereka
berkembang. Mereka memperoleh rasa percaya diri, melakukan upaya pada tugas
yang mengintimidasi mereka, menaikkan nilai mereka, mulai mempertimbangkan
kelulusan sekolah dan magang. Saya selalu menemukan diri saya mengagumi mereka.
Ketika saya kuliah, saya sama sekali tidak sadar akan diri saya sendiri. Saya
bahkan belum memulai proyek belajar seumur hidup untuk meminta bantuan.
∙ ∙ ∙
Siswa dengan hambatan tidak selalu diperlakukan
dengan kebaikan seperti itu oleh sesama profesor psikologi saya. Satu kolega,
khususnya, terkenal buruk karena tidak menyediakan ujian ulang dan tidak
mengizinkan keterlambatan. Tidak peduli situasi siswa, ia begitu kukuh dengan
persyaratannya. Tidak ada penghalang yang tidak dapat diatasi, dalam
pikirannya; tidak ada batasan yang dapat diterima. Orang-orang berusaha keras
di kelasnya. Mereka merasa malu dengan riwayat serangan seksual mereka, gejala
kecemasan mereka, episode depresi mereka. Ketika seorang siswa yang berperforma
buruk di kelasnya dan berperforma baik di kelas saya, ia curiga.
Secara moral sangat menjijikkan bagi saya bahwa
setiap pendidik akan begitu memusuhi orang-orang yang seharusnya mereka layani.
Sangat menyebalkan, bahwa orang yang melakukan teror ini adalah seorang
psikolog. Ketidakadilan dan pengabaian hal ini membuat saya berkaca-kaca setiap
kali saya mendiskusikannya. Ini adalah sikap umum di banyak kalangan
pendidikan, tetapi tidak ada siswa yang pantas untuk menjumpainya.
∙ ∙ ∙
Saya tahu, tentunya, bahwa pendidik tidak
diajari untuk merefleksikan pada apa hambatan siswa yang tidak terlihat.
Beberapa universitas bangga karena menolak menampung mahasiswa penyandang
disabilitas atau sakit mental – mereka mengelirukan kekejaman untuk ketegasan
intelektual. Dan, karena sebagian besar profesor-profesor adalah orang-orang
yang berhasil secara akademis dengan mudah, mereka memiliki kesulitan mengambil
perspektif seseorang dengan memperjuangkan fungsi eksekutif, kelebihan
sensorik, depresi, riwayat melukai diri sendiri, kecanduan, atau gangguan
makan. Saya dapat melihat faktor eksternal yang menyebabkan masalah-masalah
ini. Seperti yang saya tahu bahwa perilaku “malas” bukanlah pilihan yang aktif,
saya tahu bahwa sikap menghakimi, elitis biasanya muncul dari ketidakpedulian
situasional.
Dan karena itulah saya menulis ini. Saya
berharap untuk menyadarkan rekan-rekan pendidik saya – pada semua tingkat –
kepada fakta bahwa jika seorang siswa sedang berjuang, mereka mungkin tidak memilih untuk melakukannya. Mereka
mungkin ingin melakukannya dengan baik. Mereka mungkin sedang berusaha. Lebih
luasnya, saya ingin semua orang untuk mengambil pendekatan yang penuh rasa
ingin tahu dan empatik kepada individu yang ingin mereka hakimi sebagai “malas”
atau tidak bertanggung jawab.
Ketika seseorang tidak bisa lepas dari Kasur,
ada sesuatu yang membuat mereka merasa lelah. Jika seorang siswa tidak menulis
dokumen, ada beberapa aspek dari tugas tersebut yang mereka tidak bisa lakukan
tanpa bantuan. Jika seorang karyawan melewatkan tenggat waktu secara
terus-menerus, ada sesuatu yang membuat organisasi dan tenggat waktu pertemuan
menjadi sulit. Bahkan ketika seseorang aktif memilih untuk sabotase diri, ada
alasan untuk itu – rasa takut yang sedang mereka hadapi , beberapa kebutuhan
tidak ditemui, kurangnya ekspresi harga diri.
Orang-orang tidak memilih untuk gagal atau
mengecewakan. Tidak ada yang ingin merasa tidak mampu, apatis, atau tidak
efektif. Jika Anda melihat ke tindakan seseorang (atau kelambanan) dan hanya
melihat kemalasan, Anda melewatkan detail utama. Selalu ada penjelasan. Selalu
ada hambatan. Hanya karena Anda tidak bisa melihatnya, atau tidak melihat
mereka sebagai sesuatu yang diakui, tidak berarti bahwa mereka tidak ada.
Lihatlah lebih jelas.
Mungkin Anda tidak selalu dapat melihat perilaku manusia dengan cara ini. Tidak apa-apa. Sekarang kamu bisa. Cobalah.
Sebuah pemberitaan di Nature News akhir-akhir ini mengenai akan berhentinya operasi INA-Rxiv (setidaknya untuk sementara waktu), membuat saya ingin berkomentar sejumlah hal dalam bahasa Inggris 🙂
As someone who has posted papers on the archive, and as a social psychologist and open science activist, the shutting down of INA-Riv has a number of meanings:
1) I lost an important source for immediately accessing the results of Indonesian-language research. Thus, the preparation of state-of-the-art of any research that has an Indonesian context will experience a slowdown. As known, not many osf.io servers accept Indonesian-language manuscripts. For example, when I submitted an Indonesian text to SocArxiv, I received a reply as follows: “Thank you for contributing to SocArxiv and open science. Unfortunately, we are currently only depositing manuscripts written in English.”
2) However, on another side, the shutting down is a “blessing in disguise”, which will cultivate self-archiving at various levels in Indonesia, both individuals, institutions, and the country. So far, INARxiv’s popularity has made INARxiv a kind of favored, “central” of Indonesian self-archiving site. The shutting down triggers decentralized practices of self-archiving among Indonesian citizens.
3) The shutting down shows that the practice of open science (self-archiving is a part, in this context) requires a national policy that is able to support strongly the practice, especially in terms of funding. So, the shutting down may be at the same time an “anti-thesis” of the statement that “With the research fund that is not yet large, it is time for the Indonesian government to adopt an open science policy”.
As it turns out, open science requires sustainable funds, and it has not been discussed much at the national level. If it is true that the Ministry of Research and Technology of the Republic of Indonesia views open science as important, as revealed by Indonesian public official statement (Dr. Muhammad Dimyati, the Directorate General of Research and Development of the Ministry of Research, Technology, and Higher Education of Indonesia), “The development needs to continue to work hard and try smartly through the use of the nation’s ‘festivity’ to welcome the era of Industry 4.0 and the spirit of open science that continues to surge, in order to increase productivity and relevance of research in Indonesia “, then the Ministry needs to endorse it in earnest, including the provision of budgets in the Indonesia State Budget, or strive it for from another funds collaborative sources.
4) Before shutting down of INARxiv, I dreamed that INARxiv could become one of the repositories of academic manuscripts (“Academic Draft”) of Indonesia’s public policies/Laws; so that in Indonesia there will be not only academic citation but also policy citation. During this time, academic manuscripts of national regulations produced by Indonesian legislative and executive bodies have included References to research results (for example, Academic Draft of the Law on the Elimination of Sexual Violence). However, because these academic manuscripts are not archived in a repository, the extensive use of Indonesian research by the Indonesian Government in preparing public policies can not be detected at this time. I hope that there will be that kind of repository initiative born after the shutting down of INARxiv (as an alternative, in Indonesia, to Altmetric which detects policy documents, mostly in English-language, that cited relevant research).
5) I would say that, although I have no formal links with INA-Rxiv (What I mean by formal ones is the Steering Committee stated in INARxiv.id ), I am one of its proponents: As a social psychologist, I wrote – with other authors – the Discussion part of “INA-Rxiv: The Missing Puzzle in Indonesia’s Scientific Publishing Workflow” by using psychological perspective.
Specifically, on Page 4 of that manuscript, I gave a psychological basis for understanding people’s attitude and behavior towards INA-Rxiv. For the first time, I think, the attitude and behavior towards the open science practice on preprint server is discussed with fixed vs growth mindset concept of Carol Dweck.
The article might also be the only one “academic manuscript” of INARxiv published in mainstream scientific journal, as you can confirm in the Reference section of this Wiki.
Berkaitan dengan hal-hal di atas, INA-Rxiv memerlukan rebranding.
Usulan awal saya utk nama adalah INARxiv RT
Saya ambil dari kata kunci yang Kang Erwin uraikan mengenai “mengubah” (transformasi) riset menjadi kebijakan.
RT = Research Transformer (/transforming)
RT sebenarnya juga mengingatkan kita dgn Rukun Tetangga yang khas Indonesia (artinya: mengutamakan kolaborasi bersama ketimbang kompetisi).
Meski RT juga sudah populer lebih dulu dengan ungkapan Retweet. Hal ini menguntungkan sebab hal ini berarti INARxiv akan di-RT terus-menerus (digaungkan), diperkuat, digunakan inspirasinya.
Lebih lanjut, karena INARxiv dibacanya terlanjur dalam bahasa Inggris ( INA aar kaiv ); maka membaca INARxiv RT adalah ( INA aar kaiv ar ti ). Bisa diasosiakan: Membuat Riset menjadi berarti (bermakna, meaningful). Ini agak “arbitrer” tapi bisa juga melekat di benak publik seperti itu kalau disosialisasikan.
Yah itulah usulan awal dengan beberapa “pertanggungjawaban” penamaan tersebut.
Mas Ilham memberikan masukan utk menambah angka versi utk mengetahui perjalanan dari apa sampai mana; Mas Ilham sampaikan contoh “MarXiv ganti branding dgn MarXiv 2.0. Saya lihat INArxiv sudah diketahui secara luas oleh dunia. Ini modal cukup bagus. Jadi hemat saya INArxiv sudah punya Top of mind bagi para author.” Pak Hendro Subagyo dari LIPI menanggapi bahwa nama LIPI tidak perlu diikutkan. Kita cukup puas di website ada tulisan “supported by LIPI ….”
Kang Erwin menyampaikan agar nama LIPI atau RIN tetap di depan. Dan, RT sudah sesuai dengan kebutuhan “Kita memang perlu punya nama yang mudah disebutkan dalam Bhs Inggris”.
Meskipun Shakespeare mengatakan apalah arti sebuah nama, saya memang senang mengusulkan dan melihat nama-nama yang indah. Untuk itu, saya mengusulkan, sebelum ini, nama-nama sebagai berikut:
Anjani adalah nama seorang dewi yang hidupnya menggambarkan dinamika perilaku moral. Dikutip dari sini : “Dewi Anjani berparas sangat cantik dan menarik hati. Ia memiliki Cupumanik Astagina pemberian ibunya, hadiah perkawinan Dewi Indradi dari Bathara Surya. Bila cupu itu dibuka di dalamnya akan dapat dilihat segala peristiwa yang terjadi di angkasa dan di bumi sampai tingkat ketujuh. … Untuk menebus kesalahan dan agar bisa kembali lagi menjadi manusia, atas petunjuk ayahnya, Dewi Anjani melakukan tapa Nyantika (seperti katak) di telaga Madirda. Dalam tapanya itulah ia hamil karena menelan “air kama” Bathara Guru melalui selembar daun sinom. … Dewi Anjani kemudian melahirkan jabang bayi berwujud kera putih yang diberi nama Anoman. Beberapa saat setelah melahirkan Anoman, Dewi Anjani mendapat pengampunan Dewa, ia kembali menjadi putri berparas cantik, dan diangkat ke kahyangan Kaindran sebagai bidadari.”
Sedangkan, ‘Anjungan’ adalah: “ruang komando kapal di mana ditempatkan roda kemudi kapal, peralatan navigasi untuk menentukan posisi kapal berada dan biasanya terdapat kamar nakhoda dan kamar radio. Anjungan biasanya ditempatkan pada posisi yang mempunyai jarak pandang yang baik kesegala arah.”
Bukankah ini sebuah perintis jalan bagi komunitas psikologi kita?
NILA (Nuances of Indonesian Language) – Februari 2020
Menanggapi diskusi di WhatsApp Group PPJB-SIP (Perkumpulan Pengelola Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pengajarannya), di mana saya merupakan salah seorang anggota Dewan Pakarnya, terkhusus memberikan tanggapan terhadap Bapak Wahyudi Rahmat mengenai maksud perlu diadakannya sebuah jurnal baru, saya menyampaikan ihwal sebagai berikut:
Istilah language nuances saya pelajari dari sini : Language Nuances and Socioeconomic Outcomes (maknanya bisa luas) setelah mencoba memahami diskusi teman-teman. Jadi naskah akademik sebagai pertanggungjawaban nama lebih-kurangnya sudah ada, bisa merujuk ke artikel tersebut. Ada juga artikel ini : Language nuances, trust and economic growth. Penggunaan istilah language nuances juga ternyata relevan di dunia ICT era 4.0 ini. Misalnya, guna menunjukkan “perjuangan” teknologi untuk menangkap “dunia manusia”: Can machines cope with language nuances?
RESEARCH LEADER: Dr. Juneman Abraham, S.Psi., M.Si.
INTRODUCTION: Korupsi dan Dimensi Psikologis-Sosialnya
Tiadanya definisi yang disepakati bersama
tentang korupsi telah menyebabkan fragmentasi dalam studi-studi tentang
korupsi. Berdasarkan penyelidikan yang ekstensif terhadap literatur, ditemukan
“benturan” antara definisi korupsi menurut hukum nasional dan definisi
subjektif dan/atau definisi sosial. Korupsi merupakan ajang kontestasi
pemaknaan (“Corruption is a site for contested meaning“)
(Pavarala, 1993, h. 145). Sementara itu, konseptualisasi tentang korupsi itu
sendiri bersifat evolutif; artinya, sesuatu yang tidak dianggap koruptif pada
suatu masa, mungkin dianggap koruptif pada masa-masa berikutnya (Farrales,
2005). Mencermati pluralisme definisi dan jenis-jenis korupsi sepanjang
sejarah, peneliti memandang perlu untuk melakukan studi khusus tentang ragam
definisi korupsi dalam konteks Indonesia. Di samping itu, penting juga untuk
mengetahui variabel-variabel apa saja yang mampu memprediksi perilaku koruptif,
terutama karena riset dengan pendekatan psikologis masih sangat langka.
Masalahnya, perilaku Koruptif adalah sesuatu yang socially undesirable
(jelas-jelas atau nyata-nyata bertentangan dengan norma, sehingga dapat
memancing jawaban palsu dalam kuesioner), sehingga perlu metode untuk
menangkapnya melalui konstruk Emosi Moral (Tendensi Korupsi; yakni Guilt and
Shame Proneness, kecenderungan untuk merasa bersalah dan malu jika
melakukan perbuatan yang tidak etis atau mengarah pada tindakan koruptif).
Pertanyaan Penelitian yang pertama:
Bagaimana representasi sosial tentang korupsi pada masyarakat Indonesia?
Berbagai penjelasan teoretik tentang korupsi belum banyak mengintegrasikan
perspektif diri (self) dengan perspektif sosial dalam sebuah mekanisme
yang mumpuni menjelaskan tingkah laku koruptif. Oleh karenanya, muncullah
pertanyaan penelitian yang kedua: Bagaimana mekanisme psikologis
tindakan korupsi? Kerangka Berpikir: “Mereka Pidato Antikorupsi, tetapi
Uang Negara Dirampok Terus” (Usman Hamid dalam Kompas, 4 Desember 2012).
Mengapa? Penelitian ini menduga bahwa tindakan koruptif dihasilkan melalui mediasi
inauthentic/counterfeit self. Ketidakotentikan berarti bahwa orang
bertindak dengan cara-cara yang tidak asli guna menghindar dari devaluasi
relasional (Leary, 2003). Diri (self) terorganisasikan di seputar peran
(roles) seseorang (Cooley, 1902). Pengambilan peran adalah sebuah proses
mengantisipasi respons interaksional dari orang lain. Dalam penelitian ini,
operasionalisasi mekanisme counterfeit self (diri yang palsu) adalah
berupa: perilaku palsu (charlatan behavior/charlatanism), perilaku
gemar membanding-bandingkan diri dengan orang lain (social comparison), diri
sebagai produk pelanggaran kontrak psikologis (psychological contract
violation), tiadanya makna dalam bekerja (meaningless work), serta
konsumsi tidak etis (unethical consumption) berupa perilaku tan-mudarat
tan-buruk (no harm no foul behavior/NHNF).
METHODOLOGY/ SYSTEM DESIGN/ PROPOSED METHOD
Penelitian tahun pertama (2015)
menggunakan metode kuantitatif: survei, cross-sectional study. Desain
penelitian ini adalah desain korelasional, noneksperimental, prediktif. Total
partisipan penelitian ini berjumlah lebih dari 2000 orang dengan komposisi
jenis kelamin hampir berimbang (50% laki-laki, 50% perempuan; detail pada
bagian Hasil), yang direkrut dengan menggunakan teknik convenience sampling,
sebuah teknik penyampelan yang lazim digunakan dalam bidang ilmu psikologi, di
Jakarta dan dua propinsi lainnya. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain: Skala pengukur organizational charlatan behavior yang
diadaptasikan dari Parnell and Singer (2001), skala pengukur GASP (guilt and
shame proneness) yang diadaptasikan dari Cohen et al. (2011), Skala
pengukur identitas moral yang diadaptasikan dari Aquino and Reed II (2002), Skala
pengukur no harm no foul behavior yang diadaptasi dari Vitell and Muncy
(sebagaimana dikutip dari Chowdhury & Fernando, 2014), Skala pengukur
motivasi utilitarian dan hedonik yang diadaptasikan dari Kim (2006), Skala
otentisitas diri yang diadaptasikan dari Kifer, Heller, Perunovic, dan Metode
Galinsky (2013) serta Wood, Linley, Maltby, Baliousis, dan Joseph (2008)
tentang self-alienation (counterfeit self), serta Skala pengukur
perbandingan sosial yang diadaptasikan dari Geurts, Buunk, and Schaufeli (1994)
dan yang dikembangkan oleh Michinov (2005). Total
partisipan penelitian Tahun Kedua (2016) berjumlah lebih dari 2000 orang dengan komposisi
jenis kelamin hampir berimbang (50% laki-laki, 50% perempuan; detail pada
bagian Hasil), yang direkrut dengan menggunakan teknik convenience sampling, sebuah teknik
penyampelan yang lazim digunakan dalam bidang ilmu psikologi, di Jakarta dan
dua propinsi lainnya. Instrumen yang digunakan: Skala otentisitas diri yang
diadaptasikan dari Wood, Linley, Maltby, Baliousis, dan Joseph (2008), skala
Kontrak Psikologis dari Turnley (1997) yang diadaptasikan oleh Boes (2006),
serta serta skala makna kerja Comprehensive
Meaningful Work Scale (CMWS) dari Lips-Wiersma and Wright (2012). Data penelitian ini dianalisis
dengan analisis deskriptif dan ekstraksi satuan makna untuk mengenali frekuensi
ungkapan yang keluar dari benak (top of mind) dari partisipan, dengan
alat bantu IBM Text Analytic, serta analisis regresi linear berganda untuk
mengetahui kemampuan prediksi dari variabel prediktor terhadap perilaku
koruptif, dengan alat bantu IBM SPSS.
RESULTS
Atas pertanyaan penelitian tahun pertama
(2015), melalui analisis deskriptif (N = 2104; 1010 laki-laki, 1094 perempuan; yang terdiri atas
kelompok mahasiswa, pegawai, dan pemuka agama), ditemukan bahwa makna korupsi
yang melekat dalam benak masyarakat adalah: (1)
Berhubungan dengan orang lain, (2) Mencuri, (3) Kepentingan pribadi, (4)
Tindakan, dan (5) Negara. Di samping itu (1) organizational charlatan behavior
(perilaku palsu/tidak otentik di perusahaan) tidak mampu memprediksikan emosi
moral rasa malu, lebih dikarenakan domain yang berbeda antar variabel (yang
satu dalam konteks organisasi, sedangkan yang lain dalam konteks kehidupan
umum, sehingga generalisasi tidak terjadi), namun identitas moral mampu
memprediksikannya (sampel: 111 laki-laki, 97 perempuan; pegawai negeri dan
swasta); (2) perbandingan sosial (social comparison) mampu memprediksikan
dimensi emosi moral rasa malu (yakni evaluasi diri negatif dan tendensi mengundurkan
diri setelah melakukan perbuatan yang memiliki tendensi koruptif), dalam arah
negatif (sampel: 99 laki-laki, 104 perempuan; karyawan swasta); (3) perilaku
tan-mudarat tan-buruk (no harm no foul behavior) mampu diprediksikan oleh
motivasi konsumsi utilitarian, sedangkan motivasi hedonik tidak mampu
memprediksikannya (sampel: 148 laki-laki, 72 perempuan; mahasiswa). Untuk
memperoleh konfirmasi akhir, dilakukan analisis regresi linear berganda, yakni
prediktor (variabel independen: authentic self, sebagai lawan dari
inauthenticity/counterfeit self) terhadap kriterion (variabel dependen: emosi
moral). Ditemukan bahwa, sejalan dengan hasil-hasil sebelumnya, semakin tinggi
otentisitas (tidak berstatus/berkeadaan counterfeit) diri seseorang,
semakin tinggi pula shame (rasa malu) dan guilt (rasa bersalah)
atas perbuatan tak etis, sehingga semakin rendah kecenderungan untuk melakukan
korupsi (sampel: 293 laki-laki, 268 perempuan; mahasiswa dan karyawan).
Atas
pertanyaan penelitian yang kedua (2016), ditemukan bahwa pelanggaran kontrak
psikologis dapat memprediksi evaluasi perilaku negatif (Guilt-Negative Behavior Evaluation), perilaku memperbaiki kesalahan
(Guilt-Repair), evaluasi diri negatif
(Shame-Negative Self Evaluation),
namun tidak dapat memprediksikan perilaku menarik diri (Shame-Withdrawal) (Sampel: 273 karyawan perbankan). Ditemukan pula bahwa Ketiadaan makna kerja
(sebagai bentuk counterfeit self)
dapat memprediksikan mayoritas emosi moral, sebagai wujud tendensi koruptif,
dalam arah negatif (sampel: 210 pekerja sektor swasta). Untuk memperoleh
konfirmasi akhir, dilakukan analisis faktor konfirmatori. Ditemukan bahwa, dari
1655 siswa-siswi sekolah menengah di Kalimantan dan Sulawesi yang dijadikan
sampel penelitian, Alienasi Diri serta Kehidupan yang tidak Otentik merupakan
faktor-faktor penyusun Diri yang Palsu (Counterfeit
Self). Namun demikian, Penerimaan terhadap Pengaruh Eksternal/Orang lain
tidak dipandang oleh partisipan penelitian sebagai faktor yang penting untuk
menghasilkan Diri yang Palsu.
Diskusi Ringkas: Secara umum ditemukan bahwa counterfeit self menurunkan
tendensi untuk berperilaku etis, atau dengan perkataan lain, meningkatkan
kecenderungan seseorang untuk berperilaku koruptif. Kendati demikian, perlu
ditelisik rincian hasil penelitian ini. Pertama, organizational
charlatan behavior sebagai salah satu dimensi yang dihipotesiskan
menghasilkan diri yang palsu tidak mampu memprediksikan tendensi koruptif yang
dalam penelitian ini diwakili oleh emosi moral. Temuan ini diduga oleh peneliti
lebih disebabkan oleh perbedaan konteks antara prediktor (di ranah perusahaan)
dan kriterion (emosi moral dalam berbagai ranah kehidupan); namun identitas
moral yang membentuk moral self mampu memprediksikan emosi moral itu. Kedua,
semakin seseorang berhasrat membandingkan dirinya dengan orang lain, dan
semakin ingin orang selalu menjadi orang yang berada di atasnya, menggambarkan
ia tidak mampu menjalani kehidupan yang otentik, dan sebagai akibatnya, emosi
moral (rasa bersalah dan rasa malu)-nya mengalami erosi/degradasi jika
melakukan perbuatan yang tidak etis dan mengarah pada korupsi. Ketiga,
perilaku yang sepintas baik-baik saja namun sebenarnya tidak etis bagi sebagian
orang (no harm no foul behavior) dapat diramalkan oleh motivasi konsumsi
seseorang yakni motivasi utilitarian. Keempat,
pekerjaan yang tidak dimaknai akan berimplikasi pada melemahnya emosi moral. Kelima,
pelanggaran kontrak psikologis yang dialami pekerja membuat karyawan berpikir
untuk memulihkan rasa keadilannya, justru dengan meningkatnya tendensi untuk
berbuat koruptif. Akan halnya dengan representasi sosial tentang
korupsi, hal yang paling diingat orang tentang makna korupsi adalah (lima
teratas): (1) Berhubungan dengan orang lain, (2) Mencuri, (3) Kepentingan
pribadi, (4) Tindakan, dan (5) Negara.
Manfaat penelitian: Berbagai persepsi masyarakat mengenai arti korupsi sangat penting untuk
diketahui karena dengan persepsi lah manusia membentuk pengertian dan
memberikan penjelasan tentang dunia secara koheren, masuk akal, dan bermakna,
serta merencanakan perilaku yang dianggap tepat sesuai dengan persepsi yang
terbangun. Berdasarkan hasil penelitian, nyata benar bahwa pesan kampanye anti
korupsi yang paling efektif bagi orang Indonesia adalah pesan dengan
karakteristik menekankan pengaruh destruktif (merusak) dari korupsi terhadap orang lain. Sebagai contoh, “With Corruption Everyone Pays” lebih
efektif daripada pesan-pesan seperti “Berani
Jujur Itu Hebat”, “You can stop
corruption”, “Corruption is deadly”,
“Penyakit terburuk di dunia ini adalah Korupsi”. Di samping itu, setelah mengetahui bahwa organizational
charlatan behavior mungkin mempengaruhi tendensi koruptif (khususnya dalam
konteks perusahaan, bukan dalam konteks kehidupan umum), pengetahuan ini dapat
digunakan untuk menyusun teknologi keperilakuan untuk mengubah kognisi, afeksi,
dan konasi pegawai/karyawan perusahaan agar tidak terjebak pada perilaku
“pura-pura”, melainkan mengembangkan sikap dan perilaku yang asli dan
tulus. Perusahaan juga dapat mengambil manfaat dengan menyusun metode guna
mendeteksi perilaku-perilaku palsu yang seringkali “halus dan tak
terlihat” ini, untuk mencegah korupsi di perusahaan mereka. Namun
demikian, hal ini ternyata perlu diteliti lebih lanjut karena kekuatan
prediktifnya diduga dimoderasi oleh konteks. Orang bukan bermoral selamanya,
juga bukan tidak bermoral selamanya. Setelah mengetahui bahwa perilaku
membanding-bandingkan diri dengan orang lain dapat mempengaruhi tendensi
korupsi, perlu diciptakan mekanisme pengingat dalam diri bahwa perbandingan
dengan yang lebih baik seyogianya menghasilkan motivasi untuk menjadi lebih
baik asalkan tidak menempuh jalan pintas. Di samping itu diingatkan kembali
kebijaksanaan hidup sehari-hari bahwa pembandingan diri dengan orang lain hanya
akan menghasilkan perasaan tidak puas, bahkan menjadi akar kejahatan, dan
mengarah pada ketidakbahagiaan. Motivasi utilitarian yang sehat dalam bidang
konsumsi perlu ditanamkan dan diteguhkan dalam diri apabila kita ingin
melakukan prevensi perilaku tan-mudarat tan-buruk (no harm no foul behavior/NHNF)
yang dapat mendorong perilaku tidak etis lebih lanjut. Dalam dunia konsumsi,
motivasi utilitarian akan membuat konsumen melakukan perhitungan yang masak
sebelum melakukan sebuah tindakan, serta tidak akan mengedepankan instanisme
dan impulsivitas, termasuk NHNF.
Setelah mengetahui
bahwa defisit makna kerja dapat membawa pada tendensi untuk berperilaku
korupsi, maka perusahaan dapat menyusun program untuk menyelidiki makna kerja
calon karyawan sejak mulai dari proses rekrutmen, sekaligus memelihara dan
meningkatkan makna kerja itu sepanjang periode kerja karyawan. Demikian pula,
setelah mengetahui bahwa pelanggaran kontrak psikologis ternyata membuat
karyawan merasa berhak untuk berbuat korupsi, maka atasan perlu senantiasa
memperhatikan harapan tidak tertulis dari para karyawannya, dan mengelola
aspirasi-aspirasi mereka agar mereka tidak merasa diperlakukan tidak adil dan
mencari “keadilannya sendiri” dengan korupsi. Setelah diketahui bahwa
faktor-faktor penyusun diri yang palsu ternyata termasuk: mengalienasikan diri (terpisah
dari diri yang asli), dan kehidupan yang tidak otentik, maka untuk mencegah
korupsi, orang perlu selalu senantiasa untuk diingatkan mengenai nilai-nilai
fundamental dari dirinya, untuk berjalan searah dengan nilai-nilai tersebut,
bukannya melebih-lebihkan keadaan hanya untuk menjaga citra atau presentasi
diri dalam pandangan sosial. Banyak tindakan korupsi ternyata berasal dari
keinginan untuk dihargai oleh orang lain, sehingga melupakan nilai-nilai moral
diri. Namun demikian penelitian ini juga menunjukkan bahwa, dalam psike orang
Timur (Indonesia, dalam hal ini), penemuan diri (atau, kultivasi diri) juga
dapat memperoleh masukan dari orang lain. Orang lain tidak selalu “mencemari”
diri kita sehingga diri kita menjadi tidak asli. Masukan dari orang lain
mengalami seleksi dan penyaringan untuk membangun diri yang asli, dalam
pengertian: otentik, sehingga tercegah dari tendensi berbuat korupsi.
OUTPUT
PUBLICATION
Publikasi
tentang Psikologi Korupsi, baik sebagai riwayat atau track-record
publikasi terkait sebagai anteseden hibah, maupun sebagai hasil hibah.
Memang
sudah waktunya, di era Sains Terbuka (Open Science) ini, hal-hal yang
tidak perlu “ditutup”, ya, dibuka saja, seperti misalnya nama Penyunting
Penelaah / Mitra Bestari / Reviewer untuk tiap-tiap artikel yang di-review.
Hal ini sudah diterapkan pada Jurnal Frontiers in Psychology.
Berikut ini adalah contoh penampakannya:
Lebih
bagus lagi jika menerapkan Open Peer Review (Penelaahan
Terbuka).
Panduan
Layanan Psychological First Aids (PFA)/Pertolongan Psikologis
Pertama — Jarak Jauh
*Adaptasi
berbahasa Indonesia untuk konteks Indonesia oleh Himpunan Psikologi Indonesia
(HIMPSI) atas dokumen, sbb: Copyrighted material with permission of IFRC (2020): IFRC (International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies) Reference Centre for
Psychosocial resources. Remote Psychological First Aid during the COVID-19
outbreak. Interim guidance — March 2020. Retrieved from: https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/IFRC-PS-Centre-Remote-Psychological-First-Aid-during-a-COVID-19-outbreak-Interim-guidance.pdf .
Penerjemah/Translator (31 Mar. 2020): Dr. Seger Handoyo (Ketua Umum
Himpunan Psikologi Indonesia) dan Dr. Juneman Abraham (Ketua Kompartemen Riset
dan Publikasi, Himpunan Psikologi Indonesia).
Tim
Sains Terbuka Indonesia turut berpartisipasi dalam Jon Tenants Memorial
Day, pada 9 April 2021.
Sumber
presentasi Set Them Free: http://bit.do/SetThemFree
Saya
menyampaikan pandangan tentang warisan Jon Tennant, sebagai berikut:
Thank
you, Erwin.
Hi
friends! I am Juneman Abraham.
I am
the Head of Research & Publication Division of the Indonesian Psychological
Association,
I am
also an Associate Professor of Social Psychology at Bina Nusantara University
in Jakarta, Indonesia
Jon was
an advocate of open science who, paradoxically and interestingly, constantly
did self-criticism of the concept and movement of open science.
The
open science that he formed, developed, and socialized is a true open
science, which is beautifully protected from the “counterfeit open
science”-deriving from current practices of neoliberalism.
Let us
reflect on one of his last articles entitled Fixing the Crisis State of
Scientific Evaluation. One of his most important legacy is his political
insistence that we need to “police the police”, we need to “police the metric
vendors” by imposing our own regulation to them — based on
what we value most about science and society.
He also
strongly reminds us to approach the knowledge economy differently by
fostering a more compassionate, dialogical, catch-all, and
bullying-free research culture.
Materi
berikut ini saya terima dari Prof. Sundani Nurono pada Jumat, 2 April 2021,
dalam acara penyampaian filosofi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
Eksposur
Prof. Sundani mengenai posisi seharusnya Pengabdian kepada Masyarakat (PkM)
dalam Perguruan Tinggi sangat saya apresiasi, hingga saya unggah di YouTube
berupa Video di bawah ini.
Prof.
Sundani dari Institut Teknologi Bandung merupakan Pembina PKM yang sangat saya
segani sejak saya mengikuti BIMTEK PKM tahun 2018 di Universitas Bina Darma, Palembang.
Paparan
Prof. Sundani tampaknya senada dengan paparan Prof. Enoch Markum dari
Universitas Indonesia, dalam Twitter berikut ini; hanya saja, perspektif kedua
Guru Besar ini memiliki kekhasan masing-masing. Yang menarik, Prof. Sundani
menggunakan dimensi spiritualitas dalam menjelaskan gejala
yang beliau prihatinkan — yang beliau sebut sebagai “Demam Sangkar
Tridarma Perguruan Tinggi”.
Di
samping itu, beliau menggunakan perspektif antar/inter (between) bidang
Tridarma untuk “menekan” riset masuk ke Pengabdian kepada Masyarakat (Beliau
mensugesti agar Darma Pengabdian kepada Masyarakat — Mercusuar-nya
Perguruan Tinggi — diperbesar menjadi minimal 30%).
Hal ini
dapat melengkapi masukan-masukan Tim Sains Terbuka Indonesia selama ini yang
terfokus pada intra (within)
darma Riset dan Publikasi.
Aksi-aksi between dan within bidang-bidang
Tridarma ini patut menjadi sebuah gerakan bersama, tidak lain untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia melalui lembaga pendidikan
tinggi. By the way, pendekatan berbasis antar/inter-Tridarma
sebenarnya juga sudah saya ungkapkan dalam acara Rock The Talk: Sejalan
dengan “hukum kekekalan energi”, jika satu darma menyusut, ia pasti
menggelembung di darma yang lain. Sebaliknya bisa terjadi, bila
seorang dosen sedang kurang performed dalam riset, boleh
jadi — biasanya — ia performed dalam
Pengembangan Masyarakat atau “ComDev” (community development), yang di
Universitas Bina Nusantara terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu (1)
Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) yang tak berbayar, dan (2) Pelayanan
Profesional kepada Masyarakat (Professional service)
yang berbayar.
Materi
kedua dan ketiga berikut ini saya peroleh dari seorang rekan di WhatsApp
Group Neuronesia, pada 4 April 2021. Apakah Anda dapat
menemukan benang merah dari ketiga materi ini?
Bagaimana
jika resonansi semakin kuat, karena pada 30 Maret 2021, kami juga telah
menerbitkan sebuah tulisan, yang menekankan hal senada?
Mengenai
kepengaran karya ilmiah/karil, saya bicarakan pada 20 Januari 2021. Saya
menyampaikan tentang perbedaan (dan juga irisan) antara Authorship dan Contributorship. Bahwa
belum adanya kesepakatan akan hal ini akan menimbulkan “kekacauan” dalam dunia
akademik kita; sampai-sampai seorang kolaborator dapat bertukar
posisi dengan seorang plagiator.
Pada 23
Desember 2020, saya berbicara dalam sebuah forum bertajuk Darurat
Plagiat. Saya berbicara khusus mengenai apa dan bagaimana ANJANI (Anjungan
Integritas Akademik).
Berikut
adalah tautan materinya:
Ini
adalah flyer dari kegiatan ini:
Mengenai Integritas
Akademik, sebenarnya sudah saya bicarakan juga jauh hari sebelumnya,
sepanjang 2019, ketika mendapat penugasan dari Kementerian RistekDikti.
Berikut
ini adalah tautan materinya:
Di
samping itu, pada 3 Juli 2020, saya berbicara hal yang lebih luas lagi,
yakni Isu Etika dalam Penelitian, di mana saya menekankan
tentang pentingnya penyelesaian dilema etis secara rasional sebagai bagian dari
Pendidikan Etika.
Meeting Tim International Scientific CommitteeAssociation
of Behavioural Researchers on Asians/Africans (ABRA) atau
Persatuan Penyelidik-Penyelidik Perilaku Orang Asia/Africa, 16
Desember 2020.
The government’s rhetoric of Indonesian resurgence is one of economic and health recovery from the current disruptive pandemic. However, this rhetoric has not been matched in reality, as the recovery focus and fulfillment have been heavily slanted towards the economic sphere. There is a need for a policy which could sustainably alleviate both economic and […]
Mengapa selingkuh online jauh lebih mudah?Pertama, low risk & efisien. Komunikasi asinkron, tanpa batas jarak, dan minim logistik. Bisa nyelip di tengah aktivitas sama pasangan sah! [02:01]Kedua, adanya anonimitas & peluang mewujudkan ideal self. Cocok buat yang insecure di dunia nyata. Orang bisa bikin self-presentation yang on point pake filter dan nickname [04:06], melipatgandakan peluang seduktif yang […]
Dari mana selera musik berasal?Juneman Abraham, psikolog sosial dan mantan pengajar psikologi seni di Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara, menjelaskannya dalam esai berjudul “Selera Musik: Antara Misteri Pikiran dan Bahasa Hati”.
Penilai Penelitian — BRINPenilai / Reviewer Penelitian — Badan Riset dan Inovasi Nasional mengikuti pelatihan dengan mata kegiatan, sebagai berikut:Pengantar Review Penelitian: Kebijakan dan Skema Pendanaan Riset dan Inovasi di BRINEtika Reviewer dan Konflik Kepentingan dalam Penilaian Proposal PenelitianPenilaian Proposal Penelitian: Kriteria dan Metodologi Penilaian Proposal Penelitian, Evaluasi Rencana Anggaran Biaya (RAB) Proposal PenelitianTeknik Memberikan Umpan BalikPraktik Penggunaan Aplikasi RisnovStudi […]
Sejarah Psikologi IndonesiaBelakangan ini, saya bereksperimen sederhana untuk menghasilkan sebuah narasi tentang sejarah Psikologi di Indonesia. Saya meminta Gemini AI untuk membuat narasi tersebut dengan melandaskan diri pada sumber-sumber terbuka di internet.Hasilnya adalah sebagai berikut: Psikologi di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah [Sebuah Eksperimen dengan Generative AI]. Setidaknya ada tiga bagian tulisan mulai dari Perkembangan Psikologi […]
Sebagai dosen tidak tetap (adjunct lecturer) di School of Government and Public Policy — Indonesia (Sekolah Tinggi Kepemerintahan dan Kebijakan Publik), pada 4 Februari 2025, saya menguji (sekaligus membimbing) sebuah penelitian bertajuk Human-Centric Policy Evaluation of Jakarta Smart City Initiatives: Enhancing Citizen Engagement to Create Sustainable Public Service yang dilakukan oleh Muhammad Fibiyan Aflah.Semoga berkontribusi pada kebijakan kota […]
Sesuai dengan ketentuan Pemerintah bahwa Penilai Kinerja Dosen wajib memiliki Sertifikat/Sertifikasi (lulus ujian), pada 2024 yang lalu, saya telah menerima Sertifikat yang memuat NIRA (Nomor Induk Registrasi Asesor).Proses sertifikasinya sendiri berlangsung pada 2023; sertifikat terbit pada 3 September 2024.
Halo… Sudah lama saya tidak memutakhirkan isi blog di Medium ini.Perkenankan saya untuk menyampaikan sejumlah update kegiatan, di samping yang saya sampaikan di http://juneman.blog.binusian.org dan http://juneman.mePada 30 April 2024, saya menerima kunjungan Prof. Xu Baofeng dari Beijing Language Culture University, yang juga merupakan Ketua World Council of Sinologists (Chinese Studies).Pada 3 April 2024 (pagi), saya dan […]
Pada 28 Agustus 2023, saya melaksanakan aktivitas sebagai Asesor Kompetensi Lembaga Sertifikasi Profesi Psikologi Indonesia/Badan Nasional Seertifikasi Profesi (LSP/BNSP).Kali ini saya meng-assess kompetensi asesi untuk skema Perancang dan Fasilitator Pengembangan Komunitas (PFPK).Asesmen diselenggarakan di Kantor Pusat LSP Psikologi Indonesia di Puri Bintaro, Tangerang Selatan.
Membahas diantaranya ethical clearance dan etika penggunaan kecerdasan buatan (OpenAI, seperti ChatGPT) dalam penulisan artikel ilmiah internasional. Diselenggarakan pada 21–22 Juli 2023 di Bogor oleh Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat, Ditjen Diktiristek, Kemdikbudristek, bekerjas ama dengan Universitas Pakuan.
“Pentingnya Standar Pendidikan dan Layanan Psikologi yang sesuai dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi sebagaimana juga diamanatkan oleh Hasil Kongres XIV HIMPSI Tahun 2022 tentang Isu-isu Strategis HIMPSI periode 2022–2026, maka dipandang penting membentuk Tim Ad Hoc yang bertugas untuk menyusun dan pengembangan standar tersebut.”
Perilaku ekstrem pada remaja, seperti kasus siswa SMA 72 yang membawa bom rakitan, berakar kuat pada masalah psikologis dan sosial. Dalam diskusi bersama Prof. Juneman Abraham, Guru Besar Tetap Psikologi Sosial BINUS University, terungkap beberapa aspek kunci yang terjadi di pikiran remaja pelaku. Berikut adalah poin-poin psikologis yang wajib dipahami orang tua, guru, dan lingkungan: […]
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semua. Saya, Juneman Abraham, Guru Besar Psikologi Sosial, dan Wakil Rektor bidang Riset dan Transfer Teknologi. Pada kesempatan yang penting ini, saya akan mengulas sebuah karya akademik yang sangat substansial dan relevan dengan dinamika sosial-politik kita saat ini, yaitu buku “Kriminalisasi Penyebaran Berita Bohong: Batas Intervensi Hukum Pidana […]
Bagaimana hubungan antara Kecerdasan Artifisial dan Riset Universitas Berkelas Dunia? The post AI and World Class University’s Research appeared first on Juneman Abraham ~ psikolog sosial.
Buku Putih Peta Jalan AI Indonesia secara keseluruhan belum berhasil membuat distingsi antara Etika AI dan Hukum AI. Saya mencoba menjelaskan dalam artikel berikut ini, AI Indonesia: Diatur oleh Etika atau Undang-undang, mengapa distingsi menjadi urgen dibutuhkan https://m.antaranews.com/berita/5030041/ai-indonesia-diatur-oleh-etika-atau-undang-undang?page=all , meskipun ada konsep regulatory sandbox. Tanpa distingsi, saya khawatir bukan hanya Regulasi AI Indonesia akan jalan di […]
Fenomena pengibaran bendera “One Piece” menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia menunjukkan adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Bendera bajak laut ini menjadi simbol perlawanan kreatif dan representasi aspirasi rakyat yang merasa tidak didengar. Fenomena ini mengingatkan pada ucapan Bung Karno bahwa perjuangan di masa depan akan melawan bangsa sendiri. Pengibaran bendera ini menjadi cara unik untuk menyuarakan […]
Coba bayangkan situasi ini : Anda ingin menilai kemampuan seorang koki. Mana yang lebih masuk akal : Langsung mencicipi hasil masakannya untuk merasakan sendiri kualitasnya, ataukah hanya melihat-lihat seberapa mewah dan terkenal restoran tempatnya bekerja? Tentu saja pilihan pertama yang lebih logis, bukan? Tapi anehnya, dunia akademik kita, yang disinyalir sebagian pihak sebagai “menara gading” […]
Dalam podcast di BINUS TV kali ini, saya membahas sisi-sisi psikologis dari pinjaman online khususnya Pinjol Ilegal. Apa saja yang perlu diantisipasi? Apa ciri-ciri orang yang lebih rentan? Apa peran komunitas? Ringkas saya bahas di podcast ini – The post Psikologi PINJOL : Sisi gelap, kalah mental; bagaimana kita keluar? appeared first on Juneman Abraham […]
Tak dapat dipungkiri, penggunaan AI untuk menulis dalam dunia apapun (dunia ilmiah, dunia copywriting marketing/bisnis, dunia jurnalis) semakin memarak. Apa potensinya? Apa yang harus kita jaga bersama? Saya membicarakannya di Lembaga Layanan DIKTI Wilayah III, khususnya penulisan ilmiah. Salah satunya, saya menekankan arti penting mengakui (acknowledging) secara transparan penggunaan AI – Sesuatu yang masih sangat […]
Bagaimana fenomena “Fantasi Sedarah” dilihat dari sudut pandang multidisiplin informatika dan psikologi? Apa hubungannya dengan self-censorship, chilling effect, culturally-sensitive Artificial Intelligence, responsible AI, serta etika dan hukum digital, juga Pendiri Facebook yang sempat meminta maaf? Simak bincang santai saya di sini! Salam PsikoInformatika! The post Fantasi Sedarah: Lensa PsikoInformatika appeared first on Juneman Abraham ~ […]
Sebagian dari kegiatan saya dapat disimak melalui situs web BINUS Research. Beberapa dari kegiatan tersebut adalah: Hadir sebagai Profesor Tamu dalam pengukuhan Prof. Dr. Bagus Takwin (Universitas Indonesia) – 8 Mei 2024. Testimoni saya untuk Prof. Dr. Bagus Takwin: Memperkuat Ekosistem Hilirisasi Riset Memperkuat Integritas Akademik dan Antikorupsi Membangun dan Menjaga Portofolio Riset Dosen BINUS […]