Devon Price: Saya telah menjadi profesor psikologi sejak 2012. Dalam 6 tahun terakhir, saya telah menyaksikan siswa dari segala usia menunda pada dokumen-dokumen, melewati hari-hari presentasi, melewatkan tugas, dan membiarkan jadwal tenggat terlewati begitu saja. Saya telah melihat calon mahasiswa pascasarjana gagal mendapatkan lamaran tepat waktu; saya telah melihat kandidat PhD memerlukan berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk merevisi satu konsep disertasi; saya dulu pernah memiliki siswa yang terdaftar di kelas yang sama dengan saya selama 2 semester berturut-turut, dan tidak pernah menyerahkan apapun saat itu.
Saya tidak pernah berpikir bahwa kemalasan
adalah suatu kesalahan.
Tidak pernah.
Faktanya, saya tidak percaya bahwa kemalasan
itu ada.
∙ ∙ ∙
Saya adalah psikolog sosial, jadi saya tertarik
terutama pada faktor situasional dan kontekstual yang mendorong perilaku
manusia. Ketika kamu berusaha untuk memprediksi atau menjelaskan suatu tindakan
seseorang, melihat kepada norma sosial, dan konteks dari orang tersebut,
biasanya cukup pasti. Kendala situasional biasanya memprediksi perilaku jauh
lebih baik daripada kepribadian, kecerdasan, atau sifat-sifat individu.
Jadi ketika saya melihat seorang siswa gagal
untuk menyelesaikan tugas, melewatkan tenggat waktu, atau tidak memberikan
hasil dalam aspek kehidupan mereka, saya tergerak untuk bertanya: faktor
situasional apa yang menahan siswa ini? Kebutuhan apa yang tidak dipenuhi? Dan,
ketika datang ke perilaku “kemalasan,” saya secara khusus tergerak untuk
bertanya: apa hambatan untuk tindakan yang saya tidak bisa lihat?
Hambatan itu selalu ada. Mengenali
hambatan-hambatan tersebut – dan melihat mereka sebagai hal yang sah, diakui –
seringkali merupakan langkah pertama untuk memecahkan pola perilaku “malas”.
∙ ∙ ∙
Merupakan hal yang sangat membantu untuk
merespon kepada perilaku seseorang yang tidak efektif dengan rasa penasaran
daripada suatu anggapan. Saya mempelajari ini dari seorang teman saya, Kimberly
Longhofer, seorang penulis dan aktivis (yang menerbitkan dengan nama Mik
Everett). Kim bersemangat tentang penerimaan dan akomodasi pada orang-orang
disabilitas dan para tunawisma. Tulisan mereka tentang kedua hal tersebut
merupakan beberapa karya yang paling mencerahkan dan bias yang pernah saya
temui. Sebagian dari itu adalah karena Kim brilian, tetapi juga karena berbagai
poin pada hidup mereka, Kim telah menjadi cacat dan tunawisma.
Kim adalah orang yang mengajariku bahwa menilai
atau memberi suatu anggapan kepada seorang tunawisma karena ingin membeli
alkohol atau rokok merupakan suatu kebodohan. Ketika Anda tidak memiliki rumah,
malam itu dingin, dunia menjadi tidak bersahabat, dan semuanya menjadi sangat
tidak nyaman. Baik Anda tidur di bawah jembatan, di dalam tenda, atau di sebuah
penampungan, sulit untuk beristirahat dengan mudah. Anda mungkin memiliki
cedera atau kondisi kronis yang terus-menerus mengganggu Anda, dan memiliki
akses yang kecil untuk bisa ke perawatan medis untuk menghadapinya. Anda
mungkin tidak memiliki banyak makanan sehat.
Dalam konteks yang tidak nyaman dan terlalu
menstimulasi, kebutuhan untuk minum atau beberapa rokok merupakan hal yang
masuk akal. Seperti yang Kim jelaskan pada saya, jika Anda berbaring di rasa
dingin yang membeku, meminum beberapa alcohol mungkin merupakan satu-satunya cara
untuk menghangatkan dan tidur. Ketika Anda kurang gizi, beberapa rokok mungkin
merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan rasa lapar. Dan ketika Anda
berurusan dengan semua hal ini sembari dengan melawan rasa adiksi, maka ya,
terkadang Anda hanya membutuhkan apapun yang akan membuat gejala withdrawal (yang merupakan reaksi
negatif yang akan dialami individu ketika ia tidak mengonsumsi obat) hilang,
sehingga Anda bisa bertahan hidup.
Beberapa orang yang bukan tunawisma berpikir
seperti ini. Mereka ingin memoralisasikan keputusan dari orang miskin, mungkin
untuk menghibur diri mereka sendiri mengenai ketidakadilan dunia. Bagi banyak
orang, lebih mudah untuk berpikir bahwa tunawisma bertanggung jawab atas
penderitaan mereka sendiri daripada mengakui faktor-faktor situasional.
Dan ketika Anda tidak memahami konteks
seseorang sepenuhnya – bagaimana rasanya seperti mereka setiap hari, semua
kejengkelan atau gangguan kecil dan trauma besar yang mendefinisikan kehidupan
mereka – hal yang mudah untuk menanamkan ekspektasi abstrak dan keras pada
perilaku seseorang. Semua tunawisma
sebaiknya meletakkan botol dan bekerja. Lupakan bahwa sebagian besar dari
mereka memiliki gejala kesehatan mental dan penyakit fisik, dan secara
terus-menerus berjuang untuk diakui sebagai manusia. Lupakan bahwa mereka tidak
dapat istirahat dengan baik atau makanan yang bergizi untuk berminggu-minggu
atau berbulan-bulan. Lupakan bahwa bahkan dalam kehidupan saya yang nyaman dan
mudah, saya tidak bisa menjalani beberapa hari tanpa berkeinginan minum atau
melakukan pembelian yang tidak bertanggung jawab. Mereka harus melakukan yang
lebih baik.
Tetapi mereka telah melakukan yang terbaik dari
mereka. Saya kenal orang tunawisma yang bekerja pekerjaan penuh waktu, dan
orang yang mengabdikan diri mereka untuk merawat orang lain di komunitas
mereka. Banyak orang tunawisma perlu menavigasi birokrasi secara terus menerus,
berinteraksi dengan pekerja sosial, pekerja kasus, petugas polisi, staf
penampungan (atau tempat tinggal), staf medis, dan banyak kegiatan amal yang
bermaksud baik maupun merendahkan. Banyak pekerjaan untuk menjadi seorang
tunawisma. Dan ketika seorang tunawisma atau orang miskin kehilangan antusiasme
dan membuat “keputusan buruk”, ada alasan yang bagus untuk itu.
Ketika perilaku seseorang tidak masuk akal
untuk Anda, hal itu dikarenakan Anda kehilangan satu bagian dari konteks
mereka. Sesederhana itu. Saya sangat berterimakasih kepada Kim dan tulisan
mereka untuk membuat saya sadar akan fakta ini. Tidak ada kelas psikologi, pada
tingkat apapun, mengajarkan saya itu. Tetapi sekarang yang merupakan ‘lensa’
yang saya miliki, saya menemukan diri saya mengaplikasikan kepada semua
perilaku yang dikelirukan karena tanda dari kegagalan moral – dan saya belum
menemukan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dan berempati dengan.
∙ ∙ ∙
Mari kita lihat pertanda
“kemalasan” akademis yang saya yakini tidak lain adalah: penundaan.
Orang suka untuk menyalahkan orang yang penunda
karena perilaku mereka. Melepaskan pekerjaan tentu terlihat malas, ke mata yang
‘tidak terlatih’. Bahkan orang yang aktif melakukan penundaan bisa membuat
kekeliruan pada perilaku mereka ke kemalasan. Anda seharusnya melakukan
sesuatu, dan Anda tidak melakukannya – itu merupakan suatu kegagalan moral
bukan? Hal itu berarti Anda berkeinginan lemah, tidak termotivasi, dan malas,
benar?
Selama beberapa dekade, penelitian psikologis
telah mampu menjelaskan penundaan sebagai masalah fungsi, bukan konsekuensi
dari kemalasan. Ketika seseorang gagal untuk memulai proyek yang mereka pedulikan,
biasanya dikarenakan antara a) kecemasan mengenai upaya mereka tidak “cukup
baik” atau b) bingung mengenai apa langkah pertama dari tugas tersebut. Bukan
kemalasan. Faktanya, penundaan lebih seperti ketika tugas itu bermakna dan
individu tersebut peduli melakukannya dengan baik.
Ketika Anda ‘lumpuh’ karena takut gagal, atau
Anda bahkan tidak tahu bagaimana memulai usaha yang besar, rumit, dan merupakan
hal yang sangat sulit untuk menyelesaikannya. Itu tidak ada hubungannya dengan
keinginan, motivasi, atau moral yang baik. Penunda bisa bekerja sendiri selama
berjam-jam; mereka bisa duduk di depan dokumen yang kosong, tidak melakukan
apa-apa, dan menyiksa diri mereka sendiri; mereka bisa menumpuk rasa bersalah
lagi dan lagi – tidak ada di antara hal tersebut membuat tugas menjadi lebih
mudah. Faktanya, keinginan mereka untuk menyelesaikan tugas dapat memperburuk
stress mereka dan membuat memulai dari tugas tersebut menjadi lebih sulit.
Solusinya, sebagai gantinya, adalah untuk
melihat apa yang menahan si penunda. Jika kecemasan adalah hambatan terbesar,
si penunda sebenarnya perlu pergi dari komputer/buku/dokumen dan ikut dengan
aktivitas yang menenangkan. Untuk dicap sebagai “malas” oleh orang lain
kemungkinan akan mengarah pada perilaku sebaliknya.
Namun, sering, hambatannya adalah si penunda
memiliki tantangan fungsi eksekutif – mereka kesulitan untuk membagi tanggung
jawab yang besar menjadi serangkaian diskrit, spesifik, dan tugas yang dipesan.
Ini merupakan contoh dari fungsi eksekutif dalam tindakan: Saya telah
menyelesaikan disertasi saya (dari proposal ke pengumpulan data ke pertahanan
terakhir) dalam sedikit lebih dari setahun. Saya mampu menulis disertasi saya
dengan cukup gampang dan cepat karena saya tahu saya perlu a) menyusun
penelitian tentang topik tersebut, b) garis besar dokumen, c) menjadwalkan
periode penulisan dengan teratur, dan d) membagi dokumen, bagian demi bagian,
hari demi hari, sesuai dengan jadwal yang telah saya tentukan sebelumnya.
Tidak ada yang mengajari saya untuk membagi tugas
seperti itu. Dan tidak ada yang memaksa saya untuk mengikuti jadwal saya.
Menyelesaikan tugas seperti ini konsisten dengan cara kerja otak yang analitis,
autistik, dan fokus saya. Kebanyakan orang tidak memiliki kemudahan itu. Mereka
membutuhkan struktur eksternal untuk menjaga mereka tetap menulis – pertemuan
teratur antara kelompok menulis dengan teman, misalnya – dan jadwal tenggat
waktu yang ditentukan oleh orang lain. Ketika berhadapan dengan proyek yang
besar, kebanyakan orang menginginkan saran untuk bagaimana cara membagi tugas
tersebut menjadi tugas yang lebih kecil, dan linimasa untuk penyelesaiannya.
Untuk melihat kemajuannya, kebanyakan orang memerlukan peralatan organisasi,
seperti “to-do list”, kalender, buku data, atau silabus.
Membutuhkan atau memanfaatkan dari hal-hal
tersebut tidak membuat seseorang malas. Itu hanya berarti bahwa mereka memiliki
kebutuhan. Semakin kitra rangkul hal tersebut, semakin kita bisa membantu orang
berkembang.
∙ ∙ ∙
Saya memiliki seorang siswa yang melewatkan kelas.
Terkadang saya akan melihat ia berlama-lama dekat bangunan, tepat sebelum kelas
akan dimulai, ia terlihat lelah. Kelas akan segera dimulai, dan ia tidak
muncul. Ketika ia hadir di dalam kelas, ia sedikit menyendiri; ia duduk di
belakang kelas, matanya tertunduk, energi yang rendah. Ia memberikan kontribusi
kecil dalam kerja kelompok, tetapi tidak pernah berbicara ketika dalam diskusi
kelas yang lebih besar.
Banyak dari kolega saya akan melihat siswa ini
dan berpikir ia malas, berantakan, atau apatis. Saya tahu ini karena saya
pernah mendengar bagaimana mereka bicara mengenai siswa yang berkinerja buruk.
Sering ada rasa kemarahan dan kebencian dalam kata-kata mereka dan nada
bicaranya – kenapa siswa ini tidak serius
dalam kelas saya? Kenapa mereka tidak membuat saya merasa penting, menarik,
pintar?
Tetapi kelas saya memiliki unit pada stigma
kesehatan mental. Hal ini merupakan gairah saya, karena saya psikolog neuroatypical.
Saya tahu betapa tidak adilnya bidang saya bagi orang-orang seperti diri saya.
Kelas dan saya membicarakan tentang penilaian yang tidak adil yang diberi
terhadap orang-orang dengan penyakit mental; bagaimana depresi
diinterpretasikan sebagai kemalasan, bagaimana perubahan suasana hati dijebak
sebagai manipulatif, bagaimana orang dengan penyakit mental yang “parah”
diasumsikan sebagai tidak kompeten atau berbahaya.
Siswa yang pendiam, yang kadang-kadang
melewatkan kelas menonton diskusi ini dengan rasa tertarik yang kuat. Setelah
kelas, ketika orang-orang keluar dari ruangan, ia kembali dan diminta untuk
berbicara dengan saya. Kemudian ia mengungkapkan bahwa ia memiliki penyakit
mental dan secara aktif mengobatinya. Ia sibuk dengan terapi dan pengobatan
yang berganti, dan semua efek samping yang menyertainya. Terkadang, ia tidak
bisa meninggalkan rumah atau duduk diam di dalam kelas selama berjam-jam. Ia
tidak berani memberitahu profesor-profesornya yang lain karena hal inilah ia
melewatkan kelas dan terlambat, kadang-kadang, pada tugas; mereka akan berpikir
bahwa ia menggunakan penyakitnya sebagai alasan. Tetapi ia percaya bahwa saya
akan mengerti.
Dan saya mengerti. Dan saya sangat, sangat
marah karena siswa ini dibuat merasa bertanggung jawab atas gejala yang ia
alami. Ia menyeimbangkan kursus penuh, pekerjaan paruh waktu, dan yang sedang
ia jalani, pengobatan kesehatan mental yang serius. Dan ia mampu memenuhi
kebutuhannya dan berkomunikasi dengan orang lain. Ia bukanlah seorang pemalas.
Saya mengatakan hal itu.
Setelah itu ia mengambil lebih banyak kelas
bersama saya , dan perlahan saya melihatnya keluar dari cangkangnya dengan
pelan-pelan. Menjelang tahun junior dan seniornya, ia aktif, kontributor jujur
kepada kelas – ia bahkan memutuskan untuk berbicara terbuka dengan
teman-temannya mengenai penyakit mentalnya. Ketika diskusi kelas, ia menantang
saya dan menanyakan pertanyaan menyelidik yang luar biasa. Ia membagikan banyak
sekali contoh-contoh media dan peristiwa terkini mengenai fenomena psikologis
dengan kami. Ketika ia sedang memiliki hari yang buruk, ia mengatakan kepada
saya, dan saya membiarkan ia melewatkan kelas. Profesor-profesor lainnya –
termasuk yang di departemen psikologi – tetap menghakiminya, tetapi di
lingkungan dimana hambatannya diakui, ia berkembang.
∙ ∙ ∙
Selama bertahun-tahun, di sekolah yang sama,
saya bertemu banyak sekali siswa yang direndahkan karena hambatan-hambatan di
kehidupan mereka tidak diakui. Ada seorang pemuda dengan OCD yang selalu datang
terlambat ke kelas, karena adanya kompulsi yang terkadang membuat ia terjebak
dalam suatu tempat dalam beberapa saat. Ada seorang penyintas dari hubungan
abusif, yang sedang memproses traumanya dalam janji terapi tepat sebelum kelas
saya setiap minggu. Ada seorang wanita muda yang telah diperkosa oleh temannya
– dan harus terus menghadiri kelas dengan temannya itu, ketika sekolah sedang
menginvestigasi kasus tersebut.
Para siswa ini semuanya dating kepada saya
dengan sukarela, dan berbagi cerita apa yang membosankan mereka. Karena saya
mendisuksikan penyakit mental, trauma, dan stigma di dalam kelas saya, mereka
tahu saya akan mengerti. Dan dengan beberapa akomodasi, akademis mereka
berkembang. Mereka memperoleh rasa percaya diri, melakukan upaya pada tugas
yang mengintimidasi mereka, menaikkan nilai mereka, mulai mempertimbangkan
kelulusan sekolah dan magang. Saya selalu menemukan diri saya mengagumi mereka.
Ketika saya kuliah, saya sama sekali tidak sadar akan diri saya sendiri. Saya
bahkan belum memulai proyek belajar seumur hidup untuk meminta bantuan.
∙ ∙ ∙
Siswa dengan hambatan tidak selalu diperlakukan
dengan kebaikan seperti itu oleh sesama profesor psikologi saya. Satu kolega,
khususnya, terkenal buruk karena tidak menyediakan ujian ulang dan tidak
mengizinkan keterlambatan. Tidak peduli situasi siswa, ia begitu kukuh dengan
persyaratannya. Tidak ada penghalang yang tidak dapat diatasi, dalam
pikirannya; tidak ada batasan yang dapat diterima. Orang-orang berusaha keras
di kelasnya. Mereka merasa malu dengan riwayat serangan seksual mereka, gejala
kecemasan mereka, episode depresi mereka. Ketika seorang siswa yang berperforma
buruk di kelasnya dan berperforma baik di kelas saya, ia curiga.
Secara moral sangat menjijikkan bagi saya bahwa
setiap pendidik akan begitu memusuhi orang-orang yang seharusnya mereka layani.
Sangat menyebalkan, bahwa orang yang melakukan teror ini adalah seorang
psikolog. Ketidakadilan dan pengabaian hal ini membuat saya berkaca-kaca setiap
kali saya mendiskusikannya. Ini adalah sikap umum di banyak kalangan
pendidikan, tetapi tidak ada siswa yang pantas untuk menjumpainya.
∙ ∙ ∙
Saya tahu, tentunya, bahwa pendidik tidak
diajari untuk merefleksikan pada apa hambatan siswa yang tidak terlihat.
Beberapa universitas bangga karena menolak menampung mahasiswa penyandang
disabilitas atau sakit mental – mereka mengelirukan kekejaman untuk ketegasan
intelektual. Dan, karena sebagian besar profesor-profesor adalah orang-orang
yang berhasil secara akademis dengan mudah, mereka memiliki kesulitan mengambil
perspektif seseorang dengan memperjuangkan fungsi eksekutif, kelebihan
sensorik, depresi, riwayat melukai diri sendiri, kecanduan, atau gangguan
makan. Saya dapat melihat faktor eksternal yang menyebabkan masalah-masalah
ini. Seperti yang saya tahu bahwa perilaku “malas” bukanlah pilihan yang aktif,
saya tahu bahwa sikap menghakimi, elitis biasanya muncul dari ketidakpedulian
situasional.
Dan karena itulah saya menulis ini. Saya
berharap untuk menyadarkan rekan-rekan pendidik saya – pada semua tingkat –
kepada fakta bahwa jika seorang siswa sedang berjuang, mereka mungkin tidak memilih untuk melakukannya. Mereka
mungkin ingin melakukannya dengan baik. Mereka mungkin sedang berusaha. Lebih
luasnya, saya ingin semua orang untuk mengambil pendekatan yang penuh rasa
ingin tahu dan empatik kepada individu yang ingin mereka hakimi sebagai “malas”
atau tidak bertanggung jawab.
Ketika seseorang tidak bisa lepas dari Kasur,
ada sesuatu yang membuat mereka merasa lelah. Jika seorang siswa tidak menulis
dokumen, ada beberapa aspek dari tugas tersebut yang mereka tidak bisa lakukan
tanpa bantuan. Jika seorang karyawan melewatkan tenggat waktu secara
terus-menerus, ada sesuatu yang membuat organisasi dan tenggat waktu pertemuan
menjadi sulit. Bahkan ketika seseorang aktif memilih untuk sabotase diri, ada
alasan untuk itu – rasa takut yang sedang mereka hadapi , beberapa kebutuhan
tidak ditemui, kurangnya ekspresi harga diri.
Orang-orang tidak memilih untuk gagal atau
mengecewakan. Tidak ada yang ingin merasa tidak mampu, apatis, atau tidak
efektif. Jika Anda melihat ke tindakan seseorang (atau kelambanan) dan hanya
melihat kemalasan, Anda melewatkan detail utama. Selalu ada penjelasan. Selalu
ada hambatan. Hanya karena Anda tidak bisa melihatnya, atau tidak melihat
mereka sebagai sesuatu yang diakui, tidak berarti bahwa mereka tidak ada.
Lihatlah lebih jelas.
Mungkin Anda tidak selalu dapat melihat perilaku manusia dengan cara ini. Tidak apa-apa. Sekarang kamu bisa. Cobalah.
Pada 15 Oktober 2016, Tommy Prayoga (alumnus terbaik Jurusan Psikologi) dan Juneman Abraham (SCC Community Psychology) berpartisipasi dalam International Seminar on Mathematics, Science and Computer Science Education di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung bertajuk “Harnessing Local Wisdom to Build Competencies of Excellence in Research and Collaboration in The New Era of The ASEAN Economic Community”.
Sebuah artikel yang ditulis oleh keduanya berjudul “Psychology Curriculum Development: Challenges from Students’ Representations on Psychological Science’s Role in Creating Social Change“. Penulisan artikel ini berangkat dari keprihatinan kami bersama terhadap situasi keterjagaan kesadaran-sosial-kritis mahasiswa-mahasiswi Psikologi pada tingkat Sarjana di Indonesia. Kami berharap artikel yang terbit nantinya dapat berkontribusi barang sedikit terhadap perubahan kurikulum yang perlu di perguruan-perguruan tinggi penyelenggara pendidikan Psikologi di Indonesia. Semoga!
Pada 17 Januari 2015, Kelas Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi (LA64), Jurusan Psikologi BINUS, di bawah asuhan dosen Juneman Abraham, S.Psi., M.Si., menyelenggarakan Seminar Gender in Justice, sebagai final project dari mata kuliah ini. Audiens dari kegiatan ini adalah mahasiswa-mahasiswi di lingkungan Universitas Bina Nusantara, lebih khusus lagi dari Jurusan non-Psikologi. Seminar ini diselenggarakan di Kampus BINUS Anggrek, Exhibition Hall, Lantai 3, mulai pukul 12:30-16:30 WIB.
Latar belakang seminar ini adalah sebagai berikut: Kasus kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan merupakan fenomena yang telah merajalela di dalam masyarakat. Namun jumlah kasus yang diketahui dan tidak diketahui berbanding sangat besar. Kasus kekerasan ini termasuk dalam fenomena gunung es (iceberg). Konsep ini menyatakan bahwa kasus kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan sebenarnya sangat banyak terjadi, namun yang ditemukan atau dilaporkan hanya sedikit. Hal ini bisa terjadi karena adanya pandangan masyarakat yang menganggap kejadian di dalam keluarga merupakan privasi dan masyarakat tidak berhak ikut campur tangan. Ada juga pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa apabila perempuan menerima perlakuan kasar dalam hubungan suami-istri, itu merupakan hal yang wajar dan merupakan kesalahan perempuan dan perempuan memang berhak menerima itu.
Namun, apakah perlakuan kekerasan terhadap perempuan merupakan hal yang biologis dan kodrati? Apakah merupakan hal yang secara genetis dan ekologis diberikan kepada kaum? Apakah perempuan memang kodratnya untuk menerima semua kekerasan itu? Tentu saja tidak! Semua pandangan yang mendukung dominasi dan ‘hak’ untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah konstruksi. Menurut Malamuth, konstruksi yang menginisiasi pandangan dan pemikiran tersebut merupakan konstruksi kultural yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri yang mempengaruhi pemikiran dan pandangan anggota masyarakat secara umum, Konstruksi kultural ini mendukung dan mendorong tumbuhnya agresivitas dan memandang penggunaan kekerasan sebagai bentuk ekspresi diri, dan bahwa perempuan harus menerima itu.
Melihat masalah tersebut, sebagai final project dari mata kuliah Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi, mahasiswa kelas LA64 jurusan Psikologi BINUS University mengadakan sebuah program intervensi terhadap mahasiswa dan mahasiswi BINUS University dengan tema ‘Gender in Justice‘, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa dan mahasiswi BINUS University terhadap ketidakadilan jender yang ada di dalam masyarakat, serta ingin terlibat dalam pemberian intervensi terhadap masalah yang sebenarnya merupakan kesalahan persepsi yang dibentuk oleh konstruksi sosial.
Tujuan seminar ini adalah: (1) Mengaplikasikan program intervensi sebagai final project mata kuliah Psikologi Intervensi dan Psikologi Sosial, (2) Meningkatkan kesadaran mahasiswa dan mahasiswi BINUS University terhadap adanya ketidakadilan jender di dalam masyarakat, (3) Meningkatkan keterlibatan mahasiswa dan mahasiswi BINUS University untuk melakukan intervensi terhadap ketidakadilan jender di dalam masyarakat. Mahasiswa dan mahasiswi diajak untuk terlibat dalam penegakan keadilan, dan perlawanan terhadap pembenaran persepsi mengenai jender yang merugikan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial selama berabad-abad. Seminar ini diharapkan bukan saja dapat membuka persepsi baru mengenai posisi dan situasi kaum perempuan di masyarakat yang bersistem patriarkis pada umumnya, tetapi juga mengajak kaum pria untuk lebih aktif lagi peduli dalam permasalahan ini.
Seminar ini menghadirkan pembicara Norcahyo Budi Waskito, S.Psi., M.Si. dari Yayasan PULIH. Beliau merupakan alumnus program S1 dan S2 Psikologi, Universitas Indonesia,, dan Koordinator Program MenCare di Yayasan PULIH, dengan aktivitas utama: “Engaging men to stop violence against women and children collaborating with some universities (for media campaign, lecturer, youth group education), media (for media campaign), health institution (for parenting class)”. Beliau memiliki pengalaman sebagai konsultan di Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI (Psychosocial Practitioner Course Curriculum and Module Development), di American RedCross (Material Development – Psychological first aid/PFA, Self Care, Domectic Violence, Reproductive Health, Separated Children etc), dan di MPBI (Masyarakat Penanggulangan Indonesia). Ia pernah menjadi trainer dan researcher dengan topik-topik Psychosocial and PFA in Emergency, Crisis Intervention, Psychosocial Group Structured Activity for Child Refugee, Community based Psychosocial Recovery for Women, dan Children Psychosocial Well-being.
Kegiatan Seminar Gender in Justice diawali dengan pemutaran video pendek yang telah dibuat oleh Kelas LA64.
Pemutaran video
Setelah pemutaran video, Seminar dibuka secara resmi oleh Juneman Abraham, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Koordinator (SCC) Psikologi Komunitas Jurusan Psikologi BINUS University.
Sambutan oleh SCC Community Psychology
Setelah pembukaan acara, Wakil Ketua Panitia, Nurlailad Baderiyah, memberikan kata sambutan.
Sambutan oleh Wakil Ketua Panitia
Acara ini dipandu oleh MC, Chika Andina dan Mazaya Dwina, dan moderator Marcellino Yohanes.
MC memberikan keterangan acara
Narasumber, Norcahyo Budi Waskito, memberikan paparan di hadapan para peserta
Moderator, Marcellino Yohanes, memandu diskusi dan memberikan kesimpulan
Dalam paparannya, narasumber, Mas Cahyo (panggilan akrab Norcahyo) menyampaikan poin-poin sebagai berikut:
Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) merupakan “Segala tindakan kekerasan berbasis gender memberikan dampak melukai secara fisik, seksual atau mental atau menimbulkan penderitaan pada perempuan, termasuk didalamnya tindakan mengancam, memaksa maupun merampas kebebasan; baik yang dilakukan dalam ruang publik maupun personal/ privat” (definisi PBB).
WHO (Fact sheet No: 239) per Oktober 2013 menunjukkan bahwa: (a) 1 dari 3 perempuan dunia (35%) pernah mengalami kekerasan dari pasangan maupun kekerasan seksual yang dilakukan bukan oleh pasangannya; (b) 1 dari 3 perempuan yang punya pasangan (30%) pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual dari pasangannya.
Catahu Komnas Perempuan 2013 menyatakan bahwa telah terjadi: (a) 279.760 kasus KtP di seluruh Indonesia; (b) 2.881 kasus KtP di DKI Jakarta; (c) 270.833 kasus kekerasan terhadap istri; (d) 2.507 kasus kekerasan dalam pacaran.
Penelitian Partner for Prevention (P4P, UN) tahun 2013 di 6 Negara di Asia Pasifik terhadap 10.178 laki-laki dan 3.106 perempuan usia 18-49 tahun: (a) 26 – 80 % laki-laki pernah melakukan kekerasan fisik atau seksual pada pasangannya; (b) 10-62 persen pernah melakukan pemerkosaan terhadap perempuan atau anak perempuan.
Penelitian P4P tahun 2013 di Indonesia terhadap 2.577 laki-laki usia 18-49 tahun di 3 wilayah (Jakarta, Purworejo, Jayapura): (a) 25-60 % di Indonesia pernah melakukan kekerasan fisik atau seksual pada pasangannya, (b) 17-43 % pernah melakukan pemerkosaan terhadap perempuan atau anak perempuan.
Faktanya adalah: Pelaku kekerasan terhadap Perempuan adalah LAKI-LAKI. Meski tidak semua laki-laki pelaku kekerasan, bahkan umumnya mereka tidak mendukung kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap Perempuan bisa menimpa siapa saja termasuk perempuan-perempuan yang dekat dengan kita, seperti ibu, adik, kakak, anak, pacar, istri dll
Dampak Kekerasan terhadap Perempuan tidak hanya pada penyintas namun juga berimbas pada lingkungan sekitar (termasuk laki-laki yang berada di lingkungan terdekat dengan penyintas).
Laki-laki secara umum harus ikut bertanggungjawab karena (a) sebagian besar pelaku KtP adalah laki-laki, (b) perilaku kekerasan identik dengan laki-laki, (c) jumlah penghuni tahanan sebagian besar laki-laki.
Pada umumnya laki-laki bisa memahami dan memiliki pengetahuan yang lebih baik terhadap sikap, tingkah laku dan persepsi mereka sendiri.
Laki-laki dewasa biasanya menjadi model atau taudalan bagi anak laki-laki yang lebih muda dan masih bocah.
Peran strategis laki-laki untuk melakukan perubahan (posisi laki-laki dalam budaya patriarki, pengambilan keputusan/kebijakan masih didominasi oleh laki-laki).
7P Kekerasan Laki-Laki (Kauffman, Michael. 1999. The 7 P’s of Men’s Violence): (1) Kekuasaan Patriarki, (2) Privilege, (3) Permission, (4) Paradoks Kekuasaan laki-laki, (5) Psychic Armor of Manhood, (6) Psychic Pressure Cooker, dan (7) Pengalaman Masa Lalu.
Budaya Patriarki (patri-arkat): Budaya yang dibangun dalam di atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi (hirarki) dimana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. Peran laki-laki sebagai penguasa, sentral. Sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara (menggunakan kekerasan sebagai alat mendominasi).
Bentuk kekerasan yang dilakukan laki-laki bukan sekedar untuk mempertahankan kekuasaannya terhadap orang lain tapi juga ditimbulkan oleh perasaan atau pemahaman bahwa ia (sebagai laki-laki) memiliki hak-hak istimewa tertentu dalam hidupnya.
Kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki tidak akan berlanjut bila tidak ada “reward” dari lingkungan (orang lain) dalam bentuk bentuk pembiaran (sikap persetujuan secara tidak langsung) dari norma sosial, penegakan hukum dan bahkan pendidikan agama.
Cara laki-laki mengkonstruksi kekuasaan individual dan sosialnya ternyata secara paradoks merupakan sumber ketakutan, terisolasi, rasa tidak percaya diri, dan kesakitan bagi laki-laki itu sendiri.
Karakter kelaki-lakian dibentuk dari pengalaman masa kecil yang sering diwarnai dengan ketidakhadiran ayah/ laki-laki dewasa, kehadiran figur yang meneladani perilaku yang tidak positif atau yang berjarak secara emosional dengan anak (karakter kelaki-lakian yang muncul seperti “tameng” ego yang kaku).
Konsep maskulinitas untuk kuat, tegar, tidak cengeng dsb membuat laki-laki menekan ekspresi perasaan untuk memenuhi konsep tersebut (tuntutan maskulinitas). Pola represi ini tetap harus tersalurkan, maka muncul dalam bentuk kekerasan.
Laki-laki yang mengalami atau hidup dalam lingkungan yang penuh kekerasan cenderung berpeluang lebih besar untuk memunculkan perilaku kekerasan (mempelajari bahwa cara-cara kekerasan merupakan coping strategy, upaya mendapatkan perhatian, strategi mengelola emosi).
Lebih lanjut, Mas Cahyo menjelaskan tentang “The Triad of Men’s Violence” (Tritunggal Kekerasan Laki-laki), Mitos Laki-Laki & Maskulinitas, Citra Laki-Laki yang Dipromosikan, serta Model Integratif Maskulinitas dan Bagaimana Cara Laki-Laki Melibatkan Menghentikan Kekerasan terhadap Perempuan.
Citra laki-laki yang seharusnya dipromosikan (Michael Flood, 1998): (1) Male-positive, keyakinan laki-laki bahwa mereka bisa berubah, dan juga memberikan dukungan setiap upaya laki-laki untuk melakukan perubahan, (2) Nilai pro-feminist, yakni laki-laki yang memiliki tekad (committed) untuk selalu melawan penindasan terhadap perempuan, seksisme, dan ketidakadilan gender, (3) Marginalized-affirmative. Laki-laki selalu mempunyai tekad untuk menentang segala bentuk prasangka terhadap kalangan marjinal atau minoritas baik karena orientasi seksual, ras dan etnis, maupun transeksual, (4) Memberi ruang pada aktualisasi perempuan, dan (5) Berani mendobrak mitos.
Bagaimana Cara Laki-Laki Melibatkan Menghentikan Kekerasan terhadap Perempuan? (1) Berpikir terbuka terhadap isu KtP dan pelibatan laki-laki sebagai mitra untuk menghentikannya, (2) Carilah informasi tentang KtP dan pahami isu ini dengan sebaik-baiknya, (3) Terlibat dalam gerakan yang menghentikan KtP (menghentikan bila melihat, melaporkan pada pihak berwenang, membuat gerakan menghentikan KtP, menggalang dana, membagi informasi dan kegiatan kontribusi pikiran, tenaga dan dana lainnya), (4) Jadi teladan/ role model bagi laki-laki lain (teman sebaya, kakak kelas, adik kelas, teman di lingkungan) untuk berani berubah menanggalkan citra laki-laki ideal lama dan lebih menghargai perempuan, (5) Proaktif menghentikan KtP di rumah, sekolah, lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, dan (6) Ajak teman sebaya atau orang lain untuk melakukan perubahan dan terlibat dalam upaya penghentian KtP.
Persembahan musik di awal dan akhir acara
Suasana seminar di Exhibition Hall Kampus Anggrek
Program intervensi berupa seminar ini dilakukan bersamaan dengan penggunaan media-media berupa internet dan media sosial (Blogspot, Twitter, Instagram), media cetak (banner, stiker, poster, dan self-help book), aksesoris (pin), media elektronik (B-Voice Radio), dan Mini Counseling.
Sampul Self-help Book yang disusun oleh Mahasiswa LA64
Annisa Chika dan Tommy Prayoga memberikan penjelasan tentang penggunaan Self-help Book
Peserta seminar ini juga diminta untuk mengisi kuesioner sebagai sarana untuk mengetahui efektivitas seminar dan kanal intervensi lainnya.
Peserta seminar mengisi kuesioner. Kuesioner diberikan dua kali, pada saat awal (pre) dan akhir (post) seminar
Suasana tanya-jawab peserta dengan narasumber
Panitia acara melakukan persiapan behind the stage sesaat sebelum seminar dimulai
Di akhir acara seminar ini, Juneman Abraham menyerahkan Sertifikat tanda terima kasih kepada Mas Cahyo selaku narasumber, dan Mas Cahyo memberikan sejumlah kenang-kenangan berupa buku-buku, pin, dan kaos dari Yayasan Pulih/MenCare Program (Laki-laki Peduli) kepada para penanya.
Panitia seminar ini masih akan berhubungan dengan peserta seminar yang membutuhkan mini counseling.
Kegiatan final project matakuliah Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi Kelas LA64 ini sejalan dengan amanat Rektor BINUS University, Prof Harjanto Prabowo, bahwa BINUS UNIVERSITY tidak hanya akan mencapai visinya menjadi World Class University, namun juga betul-betul memberikan kontribusi yang dapat dirasakan manfaatnya, baik secara nasional maupun global, yang dalam seminar ini diwujudkan dengan melawan ketidakadilan jender dalam rangka menyejahterakan masyarakat, dimulai dari lingkungan BINUS University.
Memang
sudah waktunya, di era Sains Terbuka (Open Science) ini, hal-hal yang
tidak perlu “ditutup”, ya, dibuka saja, seperti misalnya nama Penyunting
Penelaah / Mitra Bestari / Reviewer untuk tiap-tiap artikel yang di-review.
Hal ini sudah diterapkan pada Jurnal Frontiers in Psychology.
Berikut ini adalah contoh penampakannya:
Lebih
bagus lagi jika menerapkan Open Peer Review (Penelaahan
Terbuka).
Panduan
Layanan Psychological First Aids (PFA)/Pertolongan Psikologis
Pertama — Jarak Jauh
*Adaptasi
berbahasa Indonesia untuk konteks Indonesia oleh Himpunan Psikologi Indonesia
(HIMPSI) atas dokumen, sbb: Copyrighted material with permission of IFRC (2020): IFRC (International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies) Reference Centre for
Psychosocial resources. Remote Psychological First Aid during the COVID-19
outbreak. Interim guidance — March 2020. Retrieved from: https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/IFRC-PS-Centre-Remote-Psychological-First-Aid-during-a-COVID-19-outbreak-Interim-guidance.pdf .
Penerjemah/Translator (31 Mar. 2020): Dr. Seger Handoyo (Ketua Umum
Himpunan Psikologi Indonesia) dan Dr. Juneman Abraham (Ketua Kompartemen Riset
dan Publikasi, Himpunan Psikologi Indonesia).
Tim
Sains Terbuka Indonesia turut berpartisipasi dalam Jon Tenants Memorial
Day, pada 9 April 2021.
Sumber
presentasi Set Them Free: http://bit.do/SetThemFree
Saya
menyampaikan pandangan tentang warisan Jon Tennant, sebagai berikut:
Thank
you, Erwin.
Hi
friends! I am Juneman Abraham.
I am
the Head of Research & Publication Division of the Indonesian Psychological
Association,
I am
also an Associate Professor of Social Psychology at Bina Nusantara University
in Jakarta, Indonesia
Jon was
an advocate of open science who, paradoxically and interestingly, constantly
did self-criticism of the concept and movement of open science.
The
open science that he formed, developed, and socialized is a true open
science, which is beautifully protected from the “counterfeit open
science”-deriving from current practices of neoliberalism.
Let us
reflect on one of his last articles entitled Fixing the Crisis State of
Scientific Evaluation. One of his most important legacy is his political
insistence that we need to “police the police”, we need to “police the metric
vendors” by imposing our own regulation to them — based on
what we value most about science and society.
He also
strongly reminds us to approach the knowledge economy differently by
fostering a more compassionate, dialogical, catch-all, and
bullying-free research culture.
Materi
berikut ini saya terima dari Prof. Sundani Nurono pada Jumat, 2 April 2021,
dalam acara penyampaian filosofi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
Eksposur
Prof. Sundani mengenai posisi seharusnya Pengabdian kepada Masyarakat (PkM)
dalam Perguruan Tinggi sangat saya apresiasi, hingga saya unggah di YouTube
berupa Video di bawah ini.
Prof.
Sundani dari Institut Teknologi Bandung merupakan Pembina PKM yang sangat saya
segani sejak saya mengikuti BIMTEK PKM tahun 2018 di Universitas Bina Darma, Palembang.
Paparan
Prof. Sundani tampaknya senada dengan paparan Prof. Enoch Markum dari
Universitas Indonesia, dalam Twitter berikut ini; hanya saja, perspektif kedua
Guru Besar ini memiliki kekhasan masing-masing. Yang menarik, Prof. Sundani
menggunakan dimensi spiritualitas dalam menjelaskan gejala
yang beliau prihatinkan — yang beliau sebut sebagai “Demam Sangkar
Tridarma Perguruan Tinggi”.
Di
samping itu, beliau menggunakan perspektif antar/inter (between) bidang
Tridarma untuk “menekan” riset masuk ke Pengabdian kepada Masyarakat (Beliau
mensugesti agar Darma Pengabdian kepada Masyarakat — Mercusuar-nya
Perguruan Tinggi — diperbesar menjadi minimal 30%).
Hal ini
dapat melengkapi masukan-masukan Tim Sains Terbuka Indonesia selama ini yang
terfokus pada intra (within)
darma Riset dan Publikasi.
Aksi-aksi between dan within bidang-bidang
Tridarma ini patut menjadi sebuah gerakan bersama, tidak lain untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia melalui lembaga pendidikan
tinggi. By the way, pendekatan berbasis antar/inter-Tridarma
sebenarnya juga sudah saya ungkapkan dalam acara Rock The Talk: Sejalan
dengan “hukum kekekalan energi”, jika satu darma menyusut, ia pasti
menggelembung di darma yang lain. Sebaliknya bisa terjadi, bila
seorang dosen sedang kurang performed dalam riset, boleh
jadi — biasanya — ia performed dalam
Pengembangan Masyarakat atau “ComDev” (community development), yang di
Universitas Bina Nusantara terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu (1)
Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) yang tak berbayar, dan (2) Pelayanan
Profesional kepada Masyarakat (Professional service)
yang berbayar.
Materi
kedua dan ketiga berikut ini saya peroleh dari seorang rekan di WhatsApp
Group Neuronesia, pada 4 April 2021. Apakah Anda dapat
menemukan benang merah dari ketiga materi ini?
Bagaimana
jika resonansi semakin kuat, karena pada 30 Maret 2021, kami juga telah
menerbitkan sebuah tulisan, yang menekankan hal senada?
Mengenai
kepengaran karya ilmiah/karil, saya bicarakan pada 20 Januari 2021. Saya
menyampaikan tentang perbedaan (dan juga irisan) antara Authorship dan Contributorship. Bahwa
belum adanya kesepakatan akan hal ini akan menimbulkan “kekacauan” dalam dunia
akademik kita; sampai-sampai seorang kolaborator dapat bertukar
posisi dengan seorang plagiator.
Pada 23
Desember 2020, saya berbicara dalam sebuah forum bertajuk Darurat
Plagiat. Saya berbicara khusus mengenai apa dan bagaimana ANJANI (Anjungan
Integritas Akademik).
Berikut
adalah tautan materinya:
Ini
adalah flyer dari kegiatan ini:
Mengenai Integritas
Akademik, sebenarnya sudah saya bicarakan juga jauh hari sebelumnya,
sepanjang 2019, ketika mendapat penugasan dari Kementerian RistekDikti.
Berikut
ini adalah tautan materinya:
Di
samping itu, pada 3 Juli 2020, saya berbicara hal yang lebih luas lagi,
yakni Isu Etika dalam Penelitian, di mana saya menekankan
tentang pentingnya penyelesaian dilema etis secara rasional sebagai bagian dari
Pendidikan Etika.
Meeting Tim International Scientific CommitteeAssociation
of Behavioural Researchers on Asians/Africans (ABRA) atau
Persatuan Penyelidik-Penyelidik Perilaku Orang Asia/Africa, 16
Desember 2020.
The government’s rhetoric of Indonesian resurgence is one of economic and health recovery from the current disruptive pandemic. However, this rhetoric has not been matched in reality, as the recovery focus and fulfillment have been heavily slanted towards the economic sphere. There is a need for a policy which could sustainably alleviate both economic and […]
Halo… Sudah lama saya tidak memutakhirkan isi blog di Medium ini.Perkenankan saya untuk menyampaikan sejumlah update kegiatan, di samping yang saya sampaikan di http://juneman.blog.binusian.org dan http://juneman.mePada 30 April 2024, saya menerima kunjungan Prof. Xu Baofeng dari Beijing Language Culture University, yang juga merupakan Ketua World Council of Sinologists (Chinese Studies).Pada 3 April 2024 (pagi), saya dan […]
Pada 28 Agustus 2023, saya melaksanakan aktivitas sebagai Asesor Kompetensi Lembaga Sertifikasi Profesi Psikologi Indonesia/Badan Nasional Seertifikasi Profesi (LSP/BNSP).Kali ini saya meng-assess kompetensi asesi untuk skema Perancang dan Fasilitator Pengembangan Komunitas (PFPK).Asesmen diselenggarakan di Kantor Pusat LSP Psikologi Indonesia di Puri Bintaro, Tangerang Selatan.
Membahas diantaranya ethical clearance dan etika penggunaan kecerdasan buatan (OpenAI, seperti ChatGPT) dalam penulisan artikel ilmiah internasional. Diselenggarakan pada 21–22 Juli 2023 di Bogor oleh Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat, Ditjen Diktiristek, Kemdikbudristek, bekerjas ama dengan Universitas Pakuan.
“Pentingnya Standar Pendidikan dan Layanan Psikologi yang sesuai dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi sebagaimana juga diamanatkan oleh Hasil Kongres XIV HIMPSI Tahun 2022 tentang Isu-isu Strategis HIMPSI periode 2022–2026, maka dipandang penting membentuk Tim Ad Hoc yang bertugas untuk menyusun dan pengembangan standar tersebut.”
Sehubungan dengan upaya pencegahan bunuh diri di kalangan polisi, yang sudah menjadi akses pemberitaan publik, saya diperbantukan oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) kepada Kepolisian Negara RI dalam rangka penelitian pada tahun 2023.
Matching Fund — Manajemen KeuangannyaWorkshop Pengelolaan Keuangan untuk Program Matching Fund Kedaireka dari Kemendikbudristek, berlangsung pada 26 hingga 29 Januari 2023.
Pada 5–9 Oktober 2022 (2 hari daring, 3 hari luring), saya mengikuti seleksi Reviewer Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) untuk Hibah Kompetisi Kementerian Dikbudristek, dengan agenda:Skema Program Kompetisi Kampus Merdeka dan Lesson LearntShow case kemitraan DUDI (Dunia Usaha Dunia Industri) dan Perguruan TinggiSkema Matching Fund (MF) DIKTI dan lesson learntSkema Penelitian dan PKM DIKTIUpdate Oktober 2022: Terpilih sebagai Reviewer Dewan […]
Menguji Mahasiswa SkripsiPada 4 Agustus 2022, saya bersama Bapak Muhamad Nanang Supryogi menguji mahasiswa yang berkarya sebagai Suster, yakni Sr. Agnes br. Sinurat atau Suster Kallista, yang mengangkat topik skripsi Kesejahteraan Psikologis Suster Berkaul Sementara di Tarekat X Dalam Penghayatan Spiritualitas Imago Dei. Sidang skripsi ini berlangsung dengan diskusi kritis, namun santai dan penuh kegembiraan.
Siniar Binus Fostering and Empowering Society melalui Melawan Korupsi Ilmu. The post Prof Juneman: Berkarya Melalui Keilmuan & Moralitas Perjalanan Melawan Korupsi Ilmu appeared first on Juneman Abraham ~ psikolog sosial.
Pada 28 Mei 2024, saya membicarakan 4 poin tentang Kesehatan Jiwa/Kesehatan Mental di acara Berkas Kompas TV: Pada 3 Juni 2024, saya diundang DAAI TV untuk berbicara tentang Hari Lahir Pancasila, khususnya tentang kebijakan pembangunan: Apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila? Saya menyampaikan beberapa hasil riset tentang Psikologi Pancasila. Bahwa penting untuk menjadi teladan konkret […]
Perbincangan bersama Bivitri Susanti, dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, di Podcast BINUS TV, menyambut Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2024. The post Korupsi Ilmu dan Generasi yang Tersesat appeared first on Juneman Abraham ~ psikolog sosial.
Sejak 2019, saya membantu Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) sebagai Reviewer Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS. Pada 27 Februari 2024, KPK mengadakan pertemuan dengan sejumlah mitra bestari di Surakarta untuk pengembangan jurnal ini. Jurnal ini memberikan basis ilmiah bagi pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Dari KPK hadir Wakil Ketua KPK, Dr. Nurul Ghufron, S.H., […]
Pada 7 Februari 2024, Juneman Abraham selaku Wakil Rektor – Riset dan Teknologi Transfer, BINUS University, menyampaikan eksposur tentang Kolaborasi dan Transformasi menuju E-Government pada Forum Konsultasi Publik Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Tangerang Tahun 2025. Kegiatan berlangsung di Gedung Pusat Pemerintahan Kota Tangerang. Secara khusus, Dr. Abraham menyampaikan seluk-beluk e-government berbasis […]
Dalam rangka peningkatan mutu Perguruan Tinggi Swasta melalui peningkatan peran Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, maka Pengurus APTISI Wilayah III akan menyelenggarakan Workshop Penyusunan Proposal Program Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Sehubungan dengan itu, Prof. Dr. Juneman Abraham hadir sebagai Narasumber “Strategi Penyusunan Proposal Penelitian” (Hibah Riset Dikti/Pendidikan Tinggi) yang diselenggarakan pada Kamis, 21 Desember 2023, […]
Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas publikasi dosen di program studi Ilmu Komunikasi maka diadakan sebuah program yang diberi nama Scamping (Scopus Camping) dimana sebulan sekali dosen-dosen bertemu untuk mepresentasikan draft publikasi atau penelitiannya untuk mendapatkan masukan maupun diskusi dari rekan lainnya. Selain itu, tahun ini prodi Ilmu Komunikasi juga mendatangkan 2 orang professor dari Utrecht […]
Institut Agama Kristen Negeri Toraja, khususnya Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Kristen mengadakan seminar dengan tema Integrasi Pendidikan dan Artificial Intelligence di era Revolusi Industri 4.0 pada 6 Desember 2023. Prof. Dr. Juneman Abraham diundang membahas tema tersebut dalam lingkup kajian psikologisnya baik tantangan dan peluangnya. Ia turut membagikan bagaimana BINUS University mengintegrasikan AI dalam […]
Menyambut Hari Kesehatan Mental Sedunia 2023, saya memberikan pendapat ahli di bidang kesehatan jiwa mengenai bagaimana memaknai Hidden Gem (tempat tersembunyi, “harta tersembunyi”) secara psikologis. Dimuat di Harian Kompas (cetak) tanggal 7 Oktober 2023. Versi daring terbit di Kompas.id dengan judul yang sama. Berikut adalah petikannya: Kejutan Asyik di Tempat Tersembunyi Di tengah tekanan dan […]
Pertemuan antara Editor dan Co-Editor in Chief ANIMA Indonesian Psychological Journal dengan Pengurus Asosiasi Psikologi Maritim dan Asosiasi Psikologi Militer Indonesia, tanggal 26 Agustus 2023. The post Bersama Rakyat, TNI Kuat appeared first on Juneman Abraham ~ psikolog sosial.