Sebelumnya, saya pernah
- Mendiskusikan nomenklatur Magister Profesi Psikologi (2008)
- Berbicara dalam Seminar RUU Keprofesian Psikologi 2015 serta
- Menulis mengenai Psikolog Akademik, Psikolog Terapan, Psikolog Profesional: Apakah Ada Bedanya?.
Dengan demikian, partisipasi saya dalam membahas Naskah Akademik RUU Psikologi bukanlah “turun dari langit”, melainkan berlandaskan pada keprihatinan yang sudah saya suarakan sejak satu dasawarsa yang lalu.
Berikut ini adalah komentar dan masukan saya terhadap Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Psikologi (Draf ver 1.0 – Juli 2018):
Update terbaru, klik: Komentar Penutup terhadap RUU Psikologi
1) Bab 1.1.: Kebutuhan terhadap Psikologi sudah dipetakan. Akan tetapi, KIPRAH Profesi Psikologi DI INDONESIA yang berlangsung selama ini untuk menjawab kebutuhan tersebut tidak tampak.
Pada Bab 1 hendaknya jauh lebih ditekankan: Apa sajakah yang sudah diperbuat Psikologi di Indonesia sehingga perlu penguatan dengan Undang Undang Psikologi? Sebaiknya mencantumkan referensi dari laporan2 riset dan praktik komunitas psikologi Indonesia selama ini.
2) Tidak tercantumnya data-data riset pada Latar Belakang membuat kajian ini menjadi semacam Opini bahkan Tuduhan, bukan untuk sebuah Naskah Akademik. Misalnya, apakah ada data tentang (?):
– Malpraktik yang ditemukan pada praktik psikologi pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kualifikasi dalam pendidikan psikologi.
– Jasa psikologi pun kadang disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti mem-PHK atau memutasikan seseorang karena alasan politis, dengan menggunakan tes psikologi sebagai alasan.
3) Bab 2.1.1.: Lahirnya Profesi Psikologi DI INDONESIA masih sangat kurang. Jauh lebih banyak referensi dari luar. Dengan demikian, konteks sosial-historis Indonesia tidak tampak.
Saran: Mengintegrasikan informasi dari Buku DIALOG PSIKOLOGI INDONESIA (yang pernah diterbitkan oleh Himpsi Jaya).
Menurut saya, pada bagian ini tidak begitu urgen untuk merincikan mazhab-mazhab psikologi di DUNIA (sebagaimana sudah tertulis saat ini). Mengapa? Karena perkembangan psikologi di setiap negara senantiasa bersifat kontekstual (konteks sejarah, konteks sosiologis, konteks antropologis).
4) KepMenristekdikti No. 257/M/KPT/2017 tentang NAMA PROGRAM STUDI PADA PERGURUAN TINGGI sebagai acuan yang termutakhir dalam bidang pendidikan tinggi psikologi belum dimasukkan.
5) Landasan Filosofis tidak tajam. Penting untuk memasukkan landasan filosofis tentang PROFESI PSIKOLOGI itu sendiri (ontologi, epistemologi, aksiologi) sehingga memunculkan urgensi butuhnya RUU Psikologi.
Dalam Landasan Sosiologis dipaparkan hanya sepintas permasalahan sosial, tetapi tidak muncul dengan kuat mengenai peran psikologi secara sosiologis. Yang lebih terungkap adalah goal psikologi dari sudut pandang administratif, yaitu butir (a) sampai (e). Tampaknya, justru perlu dibedakan antara Administratif dan Sosiologis.
Rujukan dari Indonesia menjadi penting: Misalnya https://catalogue.nla.gov.au/Record/455000
Disertasi Suwarsih Warnaen (Ethnic stereotype attitude and the perception of cross-cultural differences among the ethnic groups in Indonesia), dan banyak penelitian penting psikologi di Indonesia tidak tampak, sehingga membuat Naskah Akademik ini “kekeringan” dari konteks Indonesia. Padahal UU Psikologi adalah untuk masyarakat Indonesia.
6) Adapun jangkauan pengaturan RUU Psikologi –> Nomor 6) Alat tes psikologi; sebaiknya ALAT TES diganti menjadi ALAT UKUR Psikologi (agar lebih luas).
7) Beberapa kalimat belum sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar; misalnya kalimat-kalimat berikut sukar dipahami:
– Halaman 6: Peran psikologi sebagai ilmuwan dan praktik profesi …..
—-> Apa yang dimaksud ‘psikologi sebagai ilmuwan dan praktik’? (Menyalahi kaidah bahasa)
– Halaman 9: Kondisi saat ini yang berlaku di Indonesia terkait dengan aktivitas mal praktik lebih berlandaskan pada apa yang berlaku di organisasi profesi psikologi Indonesia, yang mana apa yang ditetapkan oleh organisasi profesi psikologi hanya mampu mengikat anggotanya saja.
—–> Kalimat terlalu kompleks.
– Halaman 9: Oleh karenanya, perangkat keilmuan dan etika yang dimiliki seorang Psikolog mempunyai karakteristik yang khas yang harus mengutamakan kesejahteraan manusia.
—> Apa yang dimaksud ‘perangkat keilmuan dan etika’?
– Surat Ijin Praktek Psikolog
—> Yang benar adalah Praktik, bukan Praktek.
– Halaman 72: pengaturan praktik tenaga profesi psikolog (psikolog Indonesia dan psikolog Asing)
Istilah “Psikolog Indonesia” dan “Psikolog Asing” tidak tepat.
Psikolog Indonesia —> Artinya Psikolog UNTUK Indonesia.
Psikolog Asing —> Artinya Psikolog UNTUK Asing.
Bandingkan:
Psikolog Perusahaan —> Psikolog UNTUK Perusahaan (Psikologi YANG BERKARYA BAGI Perusahaan), bukan Psikolog DARI Perusahaan. Tidak harus berasal dari Perusahaan.
Psikologi Perempuan —> Psikolog TENTANG (YANG MEMPELAJARI) Perempuan. Psikolog perempuan tidak harus seorang perempuan, bisa seorang laki-laki. Bedakan dengan: Perempuan Psikolog.
Saran, diganti menjadi: WNI Psikolog dan WNA Psikolog.
Dalam Latar Belakang ada kalimat, “Dalam sektor jasa psikologi di luar tes……”.
Apakah istilah ‘sektor jasa psikologi’ merupakan istilah yang tepat?
8) Dalam 2.1.2 Definisi Profesi Psikologi dan Cakupan Praktik serta 2.1.4 Prinsip Etik Profesi Psikologi ; Mengapa tidak ada rujukan terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia?
9) Dewan Psikolog Indonesia (Halaman 62)
—> Mengapa bukan Dewan PSIKOLOGI Indonesia? Serupa dengan Himpunan PSIKOLOGI Indonesia, Majelis PSIKOLOGI Indonesia.
10) Perlu koherensi antara ‘Tenaga Profesi Psikologi’ dan ‘Psikolog’.
Disebutkan:
Tenaga profesi psikologi adalah setiap orang yang melakukan jasa dan/atau praktik Psikologi serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang Psikologi yang terdiri dari sarjana psikologi, psikolog dan lulusan magister profesi psikologi dengan peminatan tertentu.
Psikolog adalah seseorang yang mempunyai gelar profesi di bidang Psikologi, memiliki Surat Sebutan Psikolog dan mempunyai Surat Ijin Praktek Psikolog.
Seharusnya: Psikolog adalah tenaga profesi psikologi yang …….
Karena Psikolog merupakan bagian dari tenaga profesi psikologi.
11) Naskah Akademik merupakan peluang yang bagus untuk menyatakan dengan tegas perbedaan antara Psikolog, Psikiater, Perawat Jiwa, Pekerja Sosial. Tetapi tampaknya ‘peluang emas’ ini belum digunakan dengan baik. Padahal klarifikasi ini yang sangat dibutuhkan para pembuat kebijakan baik di bidang pendidikan maupun politik kebijakan. Seyogianya distinction (pembedaan) muncul dalam: BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS & BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT.