June 2020

Pembicara Kunci (Keynote Speaker) / Sesorah-nada-dasar* Dalam Konferensi Studi Perilaku

Meskipun telah banyak kali sebagai penyaji (presenter) makalah dalam berbagai event internasional, Rabu, 24 Juni 2020 merupakan kali kedua saya menjadi Pembicara Kunci (Keynote Speaker) dalam sebuah konferensi ilmiah internasional, setelah sebelumnya berbicara di KU Leuven, Belgia.

Konferensi ilmiah itu adalah AMER ABRA International Virtual Conference on Environment-Behaviour Studies, atau disingkat AIVCE-BS. AMER ABRA sendiri merupakan singkatan dari Association of Malaysian Environment-Behaviour Researchers – Association of Behavioural Researchers on Asians/Africans (Persatuan Penyelidik-Penyelidik Perilaku Orang Asia/Afrika) .

Sebagaimana disebutkan dalam prospektus ini, sejak 2009, saya menjadi Keynote Speaker ke-83 dalam seluruh rangkaian konferensi ilmiah internasional yang diselenggarakan oleh AMER ABRA.

Sejumlah nama lainnya yang pernah menjadi Keynote Speakers juga adalah Prof. Dr. Gary Evans (Cornell University), Emer. Prof. Dr. Christopher Spencer (University of Sheffield), Assoc. Prof. Dr. Ir. Iwan Sudradjat (ITB), Prof. Dr. Roger Fay (University of Tasmania), Emer. Prof. Dr. Robert Marans (University of Michigan), Assoc. Prof., Dr. Shenglin Elijah Chang (National Taiwan University), Prof. Dr. Emil Salim (Council of Advisors to the President of the Republic of Indonesia), Dr. Kate Bishop (University of New South Wales), Ar. John Brennan (University of Edinburgh).

Dalam keynote speech ini saya berbicara mengenai The Psychology of Corruption: How far we have moved in research. Saya memaparkan perkembangan studi psikologi korupsi di Indonesia dan dunia pada umumnya, memaparkan hasil-hasil studi saya bersama tim peneliti psikologi korupsi, serta memberikan sejumlah rekomendasi ke depan.

Konferensi ilmiah internasional yang diselenggarakan AMER ABRA sangat menjaga mutu publikasinya. Komite/panitia memiliki tradisi untuk mengumumkan Best Paper Awards. Nomor urut pertama dari paper yang menerima awards kali ini adalah paper yang ditulis oleh Dr. Ni Ketut Agusintadewi dari Universitas Udayana, Indonesia. Suatu hal yang membanggakan!

Catatan kaki:
*) Padanan bahasa Indonesia dari keynote speech sebagai “sesorah-nada-dasar” saya peroleh dari Prof. Liek Wilardjo dari UKSW. Saya mendengar sendiri pertanggungjawaban istilah Indonesia tersebut sewaktu menjadi salah seorang penyaji dalam konferensi “Menggugat Fragmentasi dan Rigiditas Pohon Ilmu“, di mana saya membawakan sebuah makalah.

Pustakawan Sosial yang Bagaimana? Sebuah Usulan

Paparan Dr. Juneman Abraham dalam Knowledge Sharing Series (KSS) #2 dari Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi bertajuk Manajemen Perpustakaan di Era Normal Baru: Menuju Tersusunnya Protokol untuk Perpustakaan di Indonesia. Subtema: Protokol Manajemen SDM dan Pengguna Perpustakaan di Era Normal Baru. Diselenggarakan pada 22 Juni 2020.

Cuitanku :)

Dr. Juneman Abraham adalah Psikolog Sosial dan Guru Besar (Professor) pada Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara (BINUS) dalam bidang Psikologi Korupsi, Psikologi Perkotaan, Psikoinformatika, serta Psikologi Kebijakan Publik. Ia merupakan Pengurus Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) sejak 2008. Sejak 2022, menjabat sebagai Kepala Kelompok Riset Perilaku Konsumen dan Etika Digital (Consumer Behavior and Digital Ethics/CBDE Research Interest Group) di BINUS University.

Youtube Channel | Professional Experience | Medium | LinkedIn

[ Tekan tombol Refresh/Reload pada browser atau CTRL & F5 pada keyboard untuk memperoleh isi terbaru. Kunjungi juga Blog saya di medium.com dan wixsite.com serta blogspot.com dan juneman.me]

Isi Jurnal Bereputasi yang Baik, Seperti Apa?

Sebagai Anggota Dewan Pakar Perkumpulan Pengelola Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pengajarannya (PPJB-SIP), Dr. Juneman Abraham menyampaikan mengenai pokok-pokok isi jurnal bereputasi yang baik pada 12 Juni 2020.

Diantaranya ia menekankan inovasi dalam substansi dan tata kelola jurnal yang dapat menjadi kebanggaan komunitas akademik atau pun organisasi profesi bidang bahasa, sastra, dan pengajarannya. Pengelolaan jurnal ilmiah merupakan sebuah proses sosial yang diwarnai dengan kepiawaian dalam substansi, metodologi, serta filosofi. Sejumlah rekomendasi disampaikan dalam kegiatan ini.

Good Science Indonesia

Komunitas Good Science Indonesia (GSI) pada 29 Mei 2020 melakukan diskusi daring mengenai perkembangan komunikasi ilmiah di Indonesia. Berikut ini adalah pokok-pokok yang disampaikan oleh Dr. Juneman Abraham (mulai menit 1:20:00) di dalam Diskusi tersebut:

1. Kebenaran Ilmiah sifatnya Tentatif dan selalu terbuka terhadap Revisi. Artikel publikasi ilmiah sifatnya tidak final (statis). Hal ini hendaknya boleh tercermin dalam seluruh kebijakan penerbitan maupun praterbit. Sehingga tidak perlu bingung jika indeksasi dan sebagainya mencerminkan evolusi naskah (version 1, version 2, dst; bahkan hal ini sudah dilakukan Jurnal Bereputasi Quartile/Q1 F1000Research). 

2. Organisasi profesi psikologi di Indonesia, HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia), dengan menyadari bahwa Psikologi secara global adalah salah satu bidang ilmu yang terdepan dalam mengadvokasi sains terbuka, telah melakukan beberapa langkah di dalam organisasi, seperti (a) menerbitkan Majalah Ilmiah Populer Profesi edisi khusus sains terbuka, (b) membuka akses seluruh buku di http://publikasi.himpsi.or.id, serta (c) memohon Executive Note untuk Buku HIMPSI kepada Menteri Pertahanan, Letjen TNI (Purn.) H. Prabowo Subianto, yang disetujui proposal note-nya mengintegrasikan ide sains terbuka, khususnya dalam kaitan dengan bidang Hankam (pertahanan dan keamanan) negara. Ini sekadar berbagi beberapa langkah sederhana yang masih perlu dikembangkan untuk mengarusutamakan sains terbuka.

3. Dialog dengan pustakawan adalah perlu. Setiap kampus memiliki Perpustakaan. Pustakawan biasanya mendalami ilmu informasi sehingga dapat lebih ‘nyambung’ untuk melakukan pengenalan dan ajakan implementasi praktik sains terbuka.

Beberapa Kepala Perpustakaan dan jajarannya mampu menjangkau faculty member dengan kebijakan-kebijakan library-nya (seperti pengarsipan mandiri, dsb). Hal ini terkait dengan brand awareness, reputation universitas dsb yang justru ingin dicapai kebanyakan perguruan tinggi yang ingin berkelas dunia.

4. Pengambil kebijakan sifatnya tidak homogen, melainkan heterogen. Tidak semua pengambil kebijakan tidak berterima dengan pracetak, RINarxiv dsb.

Cukup banyak yang dapat bersetuju bahwa pracetak MedRxiv dan Arxiv yang lain, misalnya berdasarkan situasi-situasi konkret berikut ini, 

It’s meant to help: Harvard professor responds after government dismisses study on undetected coronavirus cases

Ilmuwan Harvard: Virus Corona Seharusnya Sudah Menyebar di Indonesia

Alasan BMKG Pakai Jurnal Belum Peer Review Soal Corona dan Iklim

apabila diperhatikan sungguh-sungguh oleh segenap pemangku kepentingan kesehatan, akan menyelamatkan lebih banyak nyawa terkait serangan pandemi Covid-19. Jadi ‘pertaruhan’ kita akan hal penerimaan dan pemantauan (kritis) terhadap apa-apa yang berkembang dalam pracetak atau Arxiv sudah sampai pada taraf nyawa manusia. Arxiv hendaknya kita sikapi secara kritis (sama halnya dengan publikasi yang sudah peer-reviewed sekalipun) serta insafi arti pentingnya secara moral.

5. Sangat setuju bahwa komunikasi sains sangat perlu “digalakkan”. Kita punya ‘modal’ yang besar dimana penduduk kita gemar menggunakan media sosial. Komunikasi sains perlu menjangkau media-media non-jurnal/non-prosiding seperti demikian, justru untuk membuat riset-riset kita baik yang sudah terbit di jurnal/prosiding maupun belum lebih dikenal serta lebih bermaslahat buat bangsa dan negara.