kesehatan mental

Liputan Kompas Menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2023

Menyambut Hari Kesehatan Jiwa/Mental Sedunia tanggal 10 Oktober 2023, saya menyampaikan pendapat sesuai keahlian, mengenai “healing. Pendapat saya tersebut dimuat di Harian Kompas (cetak) pada tanggal 5 Oktober 2023, Rubrik Metropolitan, dengan judul Menyegarkan Jiwa di Tengah Panasnya Jakarta.

Versi daringnya terbit di Kompas.id, dengan judul ”Healing” Tipis-tipis di Belantara Ibu Kota.

Berikut petikannya:

”Healing” Tipis-tipis di Belantara Ibu Kota

Hidup berputar cepat, dan kita berada di tengahnya. Adakah titik jeda bagi kita untuk menata hati dan sekadar menghela napas? Selalu ada cara untuk ”healing” atau memulihkan diri dari tekanan keadaan.

Oleh
DAHLIA IRAWATI, PRAYOGI DWI SULISTYO, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
5 Oktober 2023 02:00 WIB

Hidup lagi berat-beratnya, lalu ketemu tempat asyik untuk berhenti sejenak. Atau, hidup lagi capek-capeknya, tiba-tiba ketemu cara sederhana untuk beristirahat. Sungguh sebuah kemewahan.

Cara untuk healing atau memulihkan diri dari desakan hidup bisa macam-macam. Ada yang pergi ke suatu tempat yang melegakan, atau beraktivitas sederhana yang menyenangkan hati dan pikiran.

Ria dan Nazia, misalnya (keduanya berusia 17 tahun), memilih mengisi malam dengan nongkrong di Taman Literasi Martha Christina Tiahahu di kawasan Blok M. Selain ngobrol sambil sesekali cekikikan, mereka juga berfoto dan berjalan-jalan di beberapa sudut taman.

”Di sini menyenangkan karena ada perpustakaan, ada tempat nongkrong sekaligus makan, dan tempatnya terbuka. Bisa untuk nugas (bikin tugas) dengan tenang dan nyaman. Kalau siang mungkin masih agak panas. Tapi kalau malam sangat menyenangkan karena banyak lampu. Dan yang jelas, di sini tempat healing murah meriah, ha-ha-ha,” katanya.

Taman Literasi tersebut memang memiliki beberapa fasilitas, seperti perpustakaan dengan koleksi aneka buku bacaan, area duduk di dekat kolam, lokasi terbuka untuk pentas, kafe, dan tentu saja taman dengan jajaran tetumbuhan.

Tidak semua hal tentang healing berkaitan dengan tempat. Jeda sesaat juga bisa dilakukan dengan kegiatan-kegiatan sederhana. Misalnya, nonton pameran seperti dilakukan Rosi (43), warga apartemen Taman Rasuna.

Pada Jumat (29/9/2023), ia mengunjungi pameran Jakarta Architecture Festival 2023 di Thamrin Nine. ”Nonton pameran seperti ini untuk refreshing dari rutinitas harian. Tidak usah pergi jauh-jauh ke luar kota, tapi sudah bisa menyegarkan pikiran sekaligus menambah pengetahuan,” kata Rosi. Ia mengaku senang melihat pameran seni dan karya kreatif.

Begitulah beberapa cara dilakukan untuk bisa jeda sejenak, dan healing atau memulihkan semangat dan kondisi tubuh setelah setiap hari terjerat rutinitas. Mulai dari olahraga, nongkrong, hingga makan.

Salah satu cara healing paling sederhana adalah berkunjung ke taman. Danielle F Shanahan, dosen tamu ilmu biologi di Te Herenga Waka Victoria University of Wellington, Australia, dan teman-temannya membuat penelitian soal pentingnya ruang terbuka hijau pada kesehatan.

Penelitian dituangkan dalam tulisan berjudul Health Benefits from Nature Experiences Depend on Dose (2016). Ia menunjukkan bahwa orang yang rutin mengunjungi ruang terbuka hijau memiliki tingkat depresi dan tekanan darah tinggi lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak pernah.

Penelitian tersebut menyarankan agar kunjungan ke ruang terbuka hijau selama minimal 30 menit atau lebih, selama seminggu, agar dapat mengurangi prevalensi tingkat depresi dan tekanan darah tinggi, hingga 7 persen dan 9 persen. Semakin lama dan sering, serta semakin kompleks vegetasi ditemui di ruang terbuka, maka manfaatnya akan semakin terasa.

”Ruang terbuka hijau taman tidak hanya berfungsi sebagai daya dukung lingkungan untuk resapan air. Ada fungsi healing dan restoratif, serta ada fungsi sosial di sana,” kata Wulan Dwi Purnamasari, dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang.

Berdamai dengan diri

Apa pun pilihan cara untuk healing, hal dasar harus terpenuhi adalah memperhatikan tubuh sendiri. Psikolog sosial serta Wakil Rektor Bidang Riset dan Transfer Teknologi Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Juneman Abraham, mengatakan, healing penting karena dalam hidup ada banyak faktor penekan, baik ekonomi, sosial-budaya, maupun politik.

”Oleh karena itu, perlu mengelola diri dengan memberikan ruang untuk pemulihan. Healing ibarat ‘halte-halte’ perhentian yang perlu kita ciptakan untuk berjumpa dengan diri sendiri,” katanya.

Ia menegaskan, berjumpa dan berdamai dengan diri sendiri sangatlah penting. Sehat secara mental bukan sekadar tidak sakit, tetapi juga mampu berkontribusi terhadap komunitas sekitar. Tanpa healing, bisa berdampak pada kehilangan diri sendiri. Ketika kehilangan diri, orang sulit berkontribusi terhadap komunitas. Dan merasa bahwa orang paling ngenes (sengsara) dan paling berat mengalami masalah adalah dirinya.

Banyak cara bisa dilakukan untuk healing. Di perkotaan, menurut Juneman, healing termudah dan murah misalnya berjalan di taman publik. Selain menghirup oksigen dan memperoleh inspirasi, berjalan adalah proses berkomunikasi dengan diri sendiri.

Perasaan keterhubungan dengan diri, menurut dia, penting bagi kesehatan mental. Hal itu bisa diperoleh dari aktivitas di taman, seperti mengobrol dengan orang asing yang baru dikenal. Berbicara dengan orang asing bisa membuka cakrawala baru, menyegarkan pikiran, dan membangkitkan perasaan kekitaan yang lebih besar.

Menurut Juneman, inti healing adalah komunikasi dengan diri sendiri. Jika proses itu tidak terjadi, bukan healing namanya. Mereka hanya berkegiatan (mengisi media sosial), tetapi bukan healing.

Beban Jiwa Warga Kota

Perbincangan Juneman Abraham dengan Kompas, 6 Januari 2023.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/01/04/beban-jiwa-warga-kota

Oleh: M Zaid Wahyudi

Libur Natal dan Tahun Baru 2023 telah usai. Kehidupan Jakarta pun berangsur normal. Kemacetan dan kepadatan jalanan menjadi rutinitas yang harus dihadapi lagi. Hujan yang terus turun menambah was-was, khususnya saat jam pulang kantor. Berbagai ketidakpastian yang harus dihadapi penglaju memberi beban mental yang besar bagi warga kota.

Jakarta masih menjadi tujuan migrasi utama dari seluruh Indonesia. Banyak impian dan harapan digantung pada kota ini, Wajar jika akhirnya kepadatan penduduk Jakarta pada 2019 mencapai 118 kali dari kepadatan rata-rata nasional. Padatnya Jakarta membuat daerah penyangga harus menampung luapan penduduk yang bekerja di Jakata tapi tinggal di pinggiran.

Meski laju pertumbuhan penduduk Bodetabek beberapa kali lipat dari angka nasional, kondisi infrastruktur di wilayah tersebut dan Jakarta relatif stabil selama berpuluh tahun. Akibatnya, kemacetan menjadi persoalan yang sejak dulu hingga kini sulit diatasi. Terlebih, sistem transportasi di Jabodetabek belum terintegrasi sepenuhnya.

Alhasil, banyak warga pinggiran Jakarta sudah harus bersiap bekerja sejak dini hari. Mereka harus berangkat bekerja atau sekolah sejak subuh agar tidak telat masuk. Namun, meski jenis kendaraan, rute yang ditempuh, dan berangkat pada jam yang sama, waktu yang dibutuhkan untuk tiba di kantor atau sekolah tetap sulit diprediksi.

“Ketidakpastian jalanan menjadi salah satu penyebab utama stres warga kota,” psikolog klinis dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Adityawarman Menaldi di Jakarta, Jumat (30/12/2022).

Saat energi sudah habis di jalan, maka hanya daya tersisa yang digunakan untuk belajar dan bekerja. Saat bekerja, bayang-bayang kerumitan pulang ke rumah pun sudah memenuhi kepala. Apalagi jika hujan saat jam pulang kantor. Akhirnya, pikiran pun tidak pernah tenang dan sulit berkonsentrasi saat melakukan apapun. Hidup pun jadi lebih sulit dinikmati.

Peneliti psikologi perkotaan yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara Jakarta Juneman Abraham mengatakan, tinggal di perkotaan, khususnya kota metropolitan seperti Jakarta, memang identik dengan beban stres yang tinggi. Namun, peluang ekonomi yang lebih terbuka lebar membuat banyak warga harus berdamai dengan kondisi mentalnya.

Lingkungan masyarakat yang plural, kompetitif, sistem arsitektural, hingga iklim politik yang ada tak hanya memberi tekanan ekonomi dan sosial, tetapi juga psikologi. Pluralitas itu seharusnya menjadi kekuatan untuk menyejahterakan masyarakat. Namun, seringkali keragaman identitas sosial itu justru dipolitisasi hingga membuat masyarakat saling curiga dan ujungnya stres.

“Tata kota di kota-kota besar, khususnya Jakarta, lebih mencerminkan personifikasi pemimpinnya,” tambahnya. Hasrat untuk membuat kota sejajar dengan kota-kota besar dunia membuat investasi pemodal sulit dihindari. Alih-alih mengajak masyarakat membangun kota bersama, rakyatlah yang akhirnya sering dikorbankan dalam kompetisi yang tidak seimbang itu.

Tabrakan antaraspirasi yang dibawa masing-masing individu seringkali menimbulkan ketegangan, bahkan berkembang menjadi konflik. Menyerobot antrean, berkendara ugal-ugalan, mau menang sendiri dalam segala hal, mudah ditemukan.

Semua orang mau jadi yang tercepat, paling diuntungkan, hingga paling diistimewakan. Kondisi sosial budaya yang seharusnya bisa menjadi peredam stres justru kerap menjadi sumber persoalan.

Tata kota di kota-kota besar, khususnya Jakarta, lebih mencerminkan personifikasi pemimpinnya.

Aspek politik juga penting dalam membentuk masyarakat yang sehat jiwanya. Kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat tanpa merendahkan atau menyakiti orang lain, tingkat korupsi, hingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota juga akan menentukan kesejahteraan warga.

Beban jiwa warga kota itu tergambar dalam Indeks Kebahagiaan 2021. Meski pendapatan per kapita masyarakat di Jabodetabek tinggi, tingkat pendidikan jauh lebih baik, hingga fasilitas publik yang lengkap, nyatanya tak membuat warganya bahagia. Provinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat sebagai provinsi yang menaungi Jabodetabek masuk dalam delapan provinsi paling tidak bahagia.

Namun, paradoks Easterlin yang menyebut kebahagiaan seseorang tidak berhubungan signifikan dengan besar-kecilnya pendapatan itu adalah fenomena global, bukan hanya masalah Jabodetabek. Banyak hal-hal tanwujud (intangible) yang harus diperhatikan pemerintah kota agar masyarakat bahagia dan sejahtera, lahir dan batin.

Orang muda

Sebagian besar penduduk kota adalah orang muda dan produktif. Mereka datang ke kota memang untuk belajar atau bekerja. Sementara warga senior atau lanjut usia, umumnya tersingkir di pinggiran. Kondisi itu memberi modal besar dalam menggerakkan ekonomi kota, tetapi juga memberikan kerentanan tinggi dalam kesehatan mental yang berdampak luas.

“Secara teoretis, kemampuan koping atau memecahkan masalah yang dimiliki seseorang akan berkembang sesuai umur dan pengalaman hidup,” kata Adityawarman. Kondisi itu membuat modal yang dimiliki orang muda dalam mengatasi masalah jauh lebih kecil dibanding mereka yang lebih tua.

Akibatnya, seperti saat banjir dan genangan memutus banyak jalan di Jakarta, awal Oktober 2022, berbagai keluh kesah dan pamer penderitaan muncul di media sosial. Cara ini memang paling simpel untuk meluapkan kekesalan dan ketidaknyamanan, tetapi tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, informasi ‘kesusahan’ yang melimpah justru bisa membuat makin stres.

Stres yang menumpuk dan tidak segera diselesaikan akan memicu stres berat dan depresi. Dampaknya tidak hanya pada kesehatan jiwa, tetapi bisa juga menurunkan produktivitas masyarakat, memicu aneka persoalan sosial dan kriminal, serta meningkatnya berbagai risiko penyakit degeneratif, biaya kesehatan, kematian dini, hingga beban ekonomi negara.

Meski demikian, Juneman mengingatkan untuk tidak menyamaratakan kondisi anak muda. Selama ini, anak muda atau generasi Z dicap oleh generasi yang lebih senior sebagai ‘generasi stroberi’, generasi yang mudah hancur saat menghadapi tekanan. Padahal realitasnya, masih banyak anak muda yang tangguh, berprestasi, dan mampu berkarya.

“Butuh banyak ruang atau peristiwa komunikasi yang bisa mempertemukan anak muda dan warga senior hingga timbul sikap saling memahami antargenerasi,” katanya. Pembangunan kota yang memisahkan ruang bagi anak muda dan warga senior hanya akan mengerdilkan potensi anak muda dan semakin meminggirkan warga senior.

Untuk mengatasi berbagai tekanan hidup warga kota, Juneman berharap pemerintah kota mau menyeimbangkan pembangunan kota. Pembangunan pusat perbelanjaan dan wisata berbayar perlu diimbangi dengan pembangunan taman atau tempat wisata gratis yang bisa diakses siapapun.

Semangat kompetitif, baik antarmasyarakat atau antara masyarakat dengan pemilik modal juga perlu diseimbangkan dengan semangat kolaboratif. Partisipasi warga perlu terus digali dan dijaga. Pengabaian aspirasi warga hanya akan menimbulkan apatisme yang justru berbahaya bagi kota dan kesehatan jiwa warganya.

Sementara itu, Adityawarman menilai masyarakat Indonesia sejatinya punya modal sosial budaya yang kuat. Sikap saling menghargai dan menghormati serta peduli bisa meringankan tekanan yang dialami masyarakat kota. Namun nilai-nilai luhur itu menghadapi banyak ujian karena pelaksanaannya sangat bergantung pada kemauan individu.

Karena itu, pembangunan kota dengan infrastruktur yang memadai akan sangat membantu mewujudkan kesehatan mental masyarakat kota. Sistem transportasi dan layanan publik yang baik akan sangat membantu masyarakat mengurangi variabel-variabel tidak terduga dan tidak terukur yang bisa memicu stres. Hidup pun menjadi lebih mudah dikendalikan.

“Kota yang sehat bukanlah kota yang hanya memiliki layanan kesehatan dan medis memadai saja, tetapi kota yang bisa tetap memanusiakan manusia,” katanya.

Self-Healing yang Efektif: Kata Sambutan

Pada 11 Juni 2022, saya diundang untuk memberikan kata sambutan terhadap kegiatan Himpunan Mahasiswa Psikologi BINUS University bertajuk Effective Self-Healing: Dealing with Post-Pandemic Stress.

Beberapa poin sambutan yang saya sampaikan adalah:

  1. Kita berharap bahwa periode ini memang merupakan indikasi post-pandemic (pasca pandemi), walau tetap harus waspada dengan kehadiran virus Corona subvarian BA4 dan BA5 yang sudah terdeteksi di Bali.
  2. Sektor ekonomi yang pernah terpukul habis-habisan mulai bangkit lagi. Masalah psikologis sosial tentu tidak terlepas dari pemasalahan ekonomi yang mendera sebagian dari kita, misalnya orangtua mahasiswa yang terkena PHK, penurunan gaji, dan sebagainya.
  3. Pada bulan Mei 2022, Kemenkes mengumumkan statistik angka kejadian gagasan bunuh diri (suicide ideation) yang cukup mengkhawatirkan, sebagai berikut: “‘Masalah bunuh diri sebagai contoh, di 5 bulan awal pandemi COVID-19 datang, survei mengatakan bahwa 1 dari 5 orang di Indonesia usia 15 sampai 29 tahun terpikir untuk mengakhiri hidup. Selanjutnya 1 tahun pasca pandemi oleh survei yang berbeda didapatkan data 2 dari 5 orang memikirkan untuk bunuh diri. Dan sekarang di tahun awal 2022 itu sekitar 1 dari 2 orang yang memikirkan untuk mengakhiri hidup,” kata dr. Hervita.
    Event AKSI 2022 dengan tema Self-Healing dengan demikian sangat diapresiasi karena tepat waktu menanggapi masalah ini. Saya sendiri terlibat dalam sebuah gerakan sosial Inisiatif Pencegahan Bunuh Diri Nasional.
  4. AKSI 2022 berperan dalam menyajikan berbagai intervensi yang terbukti efektif secara ilmiah untuk mengatasi persoalan masalah kesehatan jiwa, baik dari sisi kesehatan, psikologis, maupun budaya.
  5. Pada tingkat nasional tersedia hotline Sehat Jiwa (SEJIWA), yaitu 119 extension 8. Saya pun terlibat dalam Layanan Konsultasi Psikologi Sehat Jiwa, yang di-endorse oleh sejumlah Kementerian/Lembaga dan asosiasi profesi psikologi, seperti Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dan Himpunan Psikologi Indonesia. Mahasiswa Psikologi BINUS dapat memanfaatkannya ketika mencari bantuan psikologis, di samping memanfaatkan layanan konseling yang disediakan oleh Student Affairs & Community Development, BINUS University.



  6. Mari kita mewaspadai gejala palsu akibat self-diagnose yang tidak tepat. Saya pribadi pernah berbicara panjang-lebar secara mendalam mengenai diagnosis diri (self-diagnose): Apakah boleh?. Jangan sampai sedikit-sedikit Self-Healing. Jika salah diagnosis, maka bisa salah treatment (perlakuan). Self-diagnose belakangan banyak diselebrasi oleh para ‘seleb, influencer’ untuk memperoleh berita dan panggung; sehingga mewabah di kalangan anak muda sebagai praktik tanpa kekritisan. Akibatnya, merasa mengalami gangguan, luka, dsb, dan merasa bahwa treatment-nya adalah self-healing. Padahal, boleh jadi yang dialami oleh mahasiswa adalah problem adaptasi dalam menghadapi berbagai tantangan (seperti tantangan perkuliahan, dan tugas-tugas, ujian, dsb yang sebenarnya adalah hal yang wajar). Dengan demikian, boleh jadi yang dibutuhkan BUKAN self-healing melainkan Self-Management. Butuh pengelolaan diri, perencanaan (planning), dan sejenisnya; bukan self-reward seperti cuti liburan ke Bali 6 bulan; kalau demikian, kapan kuliah bisa selesai?
  7. Pada fase tertentu, jika sudah ‘selesai’ self-healing (jika memang dibutuhkan), jangan lupa untuk healing orang-orang di sekitar, khususnya mereka yang morat-marit secara ekonomi, miskin, marjinal, terpinggir, mengalami kecacatan, dsb, yang perlu diprioritaskan untuk dibantu.

Suicide Prevention (Pencegahan Bunuh Diri)

Baru saja saya membaca sebuah berita, Dapat Nilai E dan IPK Tak Sesuai Harapan, Mahasiswa Gantung Diri. Bunuh diri masih merupakan persoalan psikososial di Indonesia. Untuk itu, saya juga turut berpartisipasi dalam upaya pencegahan hal ini di komunitas saya. Beberapa upaya misalnya:

Pertama, berpartisipasi dalam berbagai diskursus (wacana) dan praktik terkait dengan peningkatan kesehatan jiwa/mental, termasuk menerbitkan Panduan Layanan Pertolongan Psikologis Pertama Jarak Jauh.

Kedua, mengikuti pelatihan spesifik (khusus) tentang pencegahan bunuh diri (keterangan di bawah ini, saya mengikuti pelatihan selama 10 jam lebih, mulai dari suicidologi hingga konseling dan intervensi krisis dengan turut mempertimbangkan realitas masyarakat Indonesia yang religius), maupun psikologi kematian.

Ketiga, terlibat dalam riset atau penelitian terkini tentang Suicide Prevention yang dipelopori oleh Sandersan Onie, Ph.D., yang melibatkan Badan Kesehatan Sedunia (World Health Organization).

Self-diagnose (Diagnosis Diri): Is It Good?

Dalam rangka kampanye kesehatan jiwa, Dr. Juneman Abraham berbicara mengenai Self-diagnose yang mengalami pergeseran dari praktik medik menjadi praktik sosial. Guna memperoleh pemaparan yang utuh dari Dr. Abraham dalam ajang PsyClub, 7 November 2020, silakan menghubungi pembicara. Salam Berdaya dan Sehat Mental!

Mengenai Pembicara:

Dr. Juneman Abraham adalah Psikolog Sosial dan Associate Professor di Universitas Bina Nusantara (BINUS) dalam bidang Psikologi Perkotaan, Psikologi Kebijakan Publik, dan Psikoinformatika. Merupakan Ketua Kompartemen Riset & Publikasi, Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), serta Asesor Kompetensi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Psikologi Indonesia dalam bidang Perancangan dan Fasilitasi Pengembangan Komunitas. Menjadi mitra bestari Jurnal Anima – Universitas Surabaya, Jurnal Integritas – Komisi Pemberantasan Korupsi, Jurnal Aspirasi – DPR RI, serta Journal of Social and Political Psychology (JSPP). Melakukan berbagai penelitian serta memberikan seminar dan workshop mengenai Kedirian (Selfhood), diantaranya Kenyataan Diri, Pengelolaan Diri, Konstruksi Diri, Kepalsuan Diri, Perubahan Diri dan Perubahan Sosial, serta Diri Eksistensial, baik di lembaga pendidikan maupun di lembaga bisnis. Pernah menjabat sebagai Sekjen Asosiasi Psikologi Asia (APsyA) serta merupakan anggota dari World Association of Personality Psychology (WAPP).

Menjelang Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2020

Menjelang Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) / Hari Kesehatan Mental Sedunia (HKMS) / World Mental Health Day (WMHD) 2020, pada 10 Oktober 2020 mendatang, yang mengambil tema “Mental Health for All: Greater Investment – Greater Access (Kesehatan Jiwa untuk Semua, Investasi Lebih Besar – Akses Lebih Luas), saya kembali mengingat sejumlah passions yang saya tuangkan untuk isu-isu kesehatan jiwa, sejak menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi, seperti:

  1. Menjadi Panitia Kegiatan Kuliah Umum Kesehatan Jiwa (2007).
  2. Menulis Di Mana Kita di Hari Kesehatan Jiwa Sedunia? (2014)
  3. Menjadi Anggota Tim Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) untuk Layanan Sehat Jiwa / SEJIWA 119 ext. 8 (2020)
  4. Menyusun alat ukur (pengukuran) Kesehatan Jiwa berbahasa Indonesia pada masyarakat perkotaan (2012).
  5. Mengadvokasi Rancangan Undang Undang (RUU) Praktik/Profesi Psikologi.
  6. Menyunting Jurnal Ilmiah di bidang Kesehatan Jiwa (The Indonesian Journal of Mental Health), yakni ATARAXIS (2007).
  7. Berbicara tentang Schizophrenia Tahap Awal, dalam agenda Seminar Awam dari Sanatorium Dharmawangsa (2005).
  8. Berbicara pada Simposium Himpunan Jiwa Sehat Indonesia (HJSI), bertajuk Upaya Penyembuhan Gangguan Mental (Skizofrenia) Melalui Terapi Kognitif dan Terapi Keluarga (2005).
  9. Menjadi Narasumber dalam Kegiatan Seminar Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI (2012).
  10. Menjadi Ahli Sosial Psikologis dalam rangka Penyusunan Pedoman Sosial Psikologis di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (2009).
  11. Menyadur tentang psikologi bencana, bertajuk Psikologi Pelayanan Penyintas Bencana.
  12. Menjadi juri Lomba Video Psikoedukasi Kesehatan Mental — Himpunan Psikologi Indonesia
  13. Update (29 November 2021):

Isu-isu Kesehatan Jiwa memang senantiasa menarik bagi saya untuk diperjuangkan bersama, dan menurut hemat saya, kita perlu menemukan bentuk-bentuk layanan yang jauh lebih adaptif mengenai Kesehatan Mental sesuai dengan perkembangan Pandemi dan Revolusi Industri 4.0.