Pada 14-16 dan 21-23 November 2014, dosen Jurusan Psikologi BINUS, Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. berpartisipasi dalam pelatihan konseling terhadap klien laki-laki (male counseling) di Hotel Cipta, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pelatihan ini merupakan hasil kerjasama antara Yayasan PULIH dan RutgersWPF.
Selama enam hari ia menjalani pelatihan dan mengikuti case conference (sesi pembelajaran dari kasus) untuk kasus-kasus yang sesuai dengan topik konseling laki-laki (konseling pelaku kekerasan). Pelatihan ini diikuti oleh 24 peserta (psikolog, ilmuwan psikologi, mitra PULIH, fasilitator serta aktivis Laki-laki Peduli) yang memenuhi persyaratan, antara lain pernah mengikuti seminar/pelatihan tentang jender dan maskulinitas, bersedia hadir setiap hari secara penuh (pukul 08.30 s/d 17.30 WIB), dan bersedia menerapkan ilmunya untuk membantu PULIH manakala membutuhkan konselor untuk melakukan konseling pelaku kekerasan/ konseling laki-laki.
Latar belakang pelatihan ini adalah sebagai berikut: Di berbagai bagian di dunia, muncul kesadaran bahwa untuk dapat memutus siklus kekerasan, laki-laki juga perlu menjadi target dalam intervensi berbasis jender. Banyak perempuan, baik penyintas (survivor) KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) maupun yang memberikan layanan, menyadari bahwa KDRT tidak akan dapat dihapuskan bila intervensi hanya difokuskan pada perempuan. Program Konseling bagi Laki-laki adalah bagian dari program Laki-Laki Peduli (MenCare+) yang secara khusus mempromosikan keterlibatan laki-laki dalam mempromosikan kesetaraan jender.
Dalam pelatihan ini, materi yang dibelajarkan antara lain (1) pemahaman tentang seks dan jender, (2) pemahaman mengenai maskulinitas, (3) menjawab pertanyaan mengapa laki-laki ‘pelaku’ melakukan kekerasan, (4) Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis gender (KTPBG) dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); karakteristik pelaku kekerasan, pasangan dan anaknya, (5) strategi intervensi berbasiskan model ekologi, (6) model perubahan perilaku, (7) diskusi kasus dan hasil penelitian tentang laki-laki pelaku kekerasan, (8) teknik-teknik intervensi, (9) bermain peran (praktik memberikan konseling), dan (10) debriefing.
Di samping prinsip-prinsip dan teknik-teknik umum konseling yang dipelajari dalam pelatihan ini, pelatihan ini juga memberikan wawasan mengenai perilaku kekerasan yang menjadi target intervensi pengubahan. Diingatkan bahwa kekerasan itu berwajah banyak dan seringkali berpangkal pada relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam budaya patriarki (budaya yang mengistimewakan laki-laki; perempuan = ‘second class’). Dengan demikian, ada hal yang spesial dari konseling ini. Program MenCare (Male Counseling) ini memandang kekerasan dalam relasi bukan hanya merupakan persoalan miskomunikasi antar pasangan (sehingga hanya perlu diberikan keterampilan berkomunikasi), bukan hanya persoalan mengatasi rasa marah secara lebih asertif (sehingga hanya perlu diberikan keterampilan mengelola emosi), bukan pula hanya persoalan bagaimana memperlakukan pasangan. Yang sering luput dari perhatian umum, dan ditantang untuk didefinisikan ulang adalah hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya inilah yang dibedah dalam teori-teori feminis, yakni mendudukkan persoalan ketidakadilan jender pada tempatnya dan membongkar relasi yang tidak setara itu.
Pelatihan ini juga memberikan wawasan mengenai siklus kekerasan, serta mengapa korban banyak yang ‘memilih’ tinggal/bertahan di dalam siklus tersebut. Di samping itu, pelatihan ini membekali konselor agar memiliki keyakinan dan sikap yang optimistis mengenai perubahan perilaku dan prosesnya (walau disadari: tidak bisa serta-merta) pada sasaran intervensi, yakni laki-laki pelaku kekerasan, serta tidak lupa berjejaring dengan support systems yang sejalan dengan maksud dan tujuan intervensi. Konselor juga diajak untuk memahami kondisi sosial-kultural masyarakat yang cenderung ‘membela’ hegemoni maskulinitas dan menunjukkan tingkat ‘permisivitas’ terhadap kekerasan. Banyak pula proses legal-formal yang sebaiknya dipahami dan dipertimbangkan oleh konselor, dan oleh karena itu konselor dalam pelatihan ini dipapar dengan peraturan yang berlaku di negeri ini yang relevan dengan kekerasan dalam relasi dan konsekuensinya.
Model ekologis yang lebih komprehensif dalam memetakan sebab-sebab kekerasan memberikan bekal kepada para konselor mengenai kelebihan dan kelemahan dari berbagai penjelasan tentang kekerasan Oleh karenanya, muncul insight bahwa intervensi pun hendaknya diberikan dalam berbagai lapisan ekologi manusia. Di sinilah satu lagi letak kespesialan dari konseling ini, yakni konseling berperspektif ekologis yang menantang dominasi budaya patriarki serta memotivasi ‘power sharing antara laki-laki dan perempuan.
Konselor juga diberikan pemahaman mengenai multi-perannya, menegakkan prinsip-prinsip utama konseling, serta bagaimana mengelola dirinya. Semua ini turut dikembangkan melalui bermain peran dan simulasi, yang kemudian dievaluasi melalui sesi-sesi sharing. Yang perlu disadari adalah bahwa dinamika konseling pelaku kekerasan itu jauh lebih fluktuatif dibandingkan dengan dinamika konseling umum, sehingga persiapan dan kapasitas konselor perlu terus ditingkatkan.
Masih banyak rincian pelatihan yang dipelajari dalam konseling ini, yang tidak dapat dijabarkan satu persatu dalam kesempatan ini. Yang jelas, di akhir sesi konseling, seluruh peserta, termasuk Juneman, secara sukarela menandatangani Deklarasi Kepatuhan Pada Prinsip Kesetaraan dan Hubungan Tanpa Kekerasan. Inti dari deklarasi ini adalah pernyataan untuk mempromosikan nilai-nilai keterbukaan, tanpa kekerasan, dan masyarakat demokratis, yang didasarkan pada martabat manusia, pencapaian kesetaraan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia dan kebebasan.
Partisipasi dalam kegiatan ini sejalan dengan amanat Rektor BINUS University, Prof Harjanto Prabowo, bahwa BINUS University tidak hanya akan mencapai visinya menjadi World Class University, namun juga betul-betul memberikan kontribusi yang dapat dirasakan manfaatnya, baik secara nasional maupun global, yang dalam pelatihan ini diwujudkan dengan komitmen memfasilitasi perubahan perilaku laki-laki pelaku kekerasan dalam rangka menyejahterakan masyarakat.
Partisipasi ini juga merupakan salah satu rangkaian dari Kegiatan Akademik Jurusan Psikologi BINUS University, yakni Kuliah-kuliah Tamu sebagai bagian dari Program Global Learning System (GLS) Mata Kuliah Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi hasil kerjasama antara Jurusan Psikologi dan Yayasan PULIH pada tanggal 10 Oktober 2014 (narasumber: Dr. Rocky Gerung – “Mereview konstruksi sosial yang dilekatkan pada laki-laki“), 24 Oktober 2014 (narasumber: Eko Bambang Subiantoro – “Mengajak laki-laki untuk terlibat pada isu stop kekerasan terhadap perempuan”), 1 November 2014 (narasumber: Dr. Nur Imam Subono – “Melibatkan laki-laki dalam mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan”) dan 8 November 2014 (Irma S Martam – “Social Marketing”), serta Seminar Gender in Justice yang diadakan oleh Mahasiswa Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi (LA64) pada 17 Januari 2015. (JA)
Pada 14-16 dan 21-23 November 2014, dosen Jurusan Psikologi BINUS, Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. berpartisipasi dalam pelatihan konseling terhadap klien laki-laki (male counseling) di Hotel Cipta, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pelatihan ini merupakan hasil kerjasama antara Yayasan PULIH dan RutgersWPF.
Selama enam hari ia menjalani pelatihan dan mengikuti case conference (sesi pembelajaran dari kasus) untuk kasus-kasus yang sesuai dengan topik konseling laki-laki (konseling pelaku kekerasan). Pelatihan ini diikuti oleh 24 peserta (psikolog, ilmuwan psikologi, mitra PULIH, fasilitator serta aktivis Laki-laki Peduli) yang memenuhi persyaratan, antara lain pernah mengikuti seminar/pelatihan tentang jender dan maskulinitas, bersedia hadir setiap hari secara penuh (pukul 08.30 s/d 17.30 WIB), dan bersedia menerapkan ilmunya untuk membantu PULIH manakala membutuhkan konselor untuk melakukan konseling pelaku kekerasan/ konseling laki-laki.
Latar belakang pelatihan ini adalah sebagai berikut: Di berbagai bagian di dunia, muncul kesadaran bahwa untuk dapat memutus siklus kekerasan, laki-laki juga perlu menjadi target dalam intervensi berbasis jender. Banyak perempuan, baik penyintas (survivor) KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) maupun yang memberikan layanan, menyadari bahwa KDRT tidak akan dapat dihapuskan bila intervensi hanya difokuskan pada perempuan. Program Konseling bagi Laki-laki adalah bagian dari program Laki-Laki Peduli (MenCare+) yang secara khusus mempromosikan keterlibatan laki-laki dalam mempromosikan kesetaraan jender.
Dalam pelatihan ini, materi yang dibelajarkan antara lain (1) pemahaman tentang seks dan jender, (2) pemahaman mengenai maskulinitas, (3) menjawab pertanyaan mengapa laki-laki ‘pelaku’ melakukan kekerasan, (4) Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis gender (KTPBG) dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); karakteristik pelaku kekerasan, pasangan dan anaknya, (5) strategi intervensi berbasiskan model ekologi, (6) model perubahan perilaku, (7) diskusi kasus dan hasil penelitian tentang laki-laki pelaku kekerasan, (8) teknik-teknik intervensi, (9) bermain peran (praktik memberikan konseling), dan (10) debriefing.
Di samping prinsip-prinsip dan teknik-teknik umum konseling yang dipelajari dalam pelatihan ini, pelatihan ini juga memberikan wawasan mengenai perilaku kekerasan yang menjadi target intervensi pengubahan. Diingatkan bahwa kekerasan itu berwajah banyak dan seringkali berpangkal pada relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam budaya patriarki (budaya yang mengistimewakan laki-laki; perempuan = ‘second class’). Dengan demikian, ada hal yang spesial dari konseling ini. Program MenCare (Male Counseling) ini memandang kekerasan dalam relasi bukan hanya merupakan persoalan miskomunikasi antar pasangan (sehingga hanya perlu diberikan keterampilan berkomunikasi), bukan hanya persoalan mengatasi rasa marah secara lebih asertif (sehingga hanya perlu diberikan keterampilan mengelola emosi), bukan pula hanya persoalan bagaimana memperlakukan pasangan. Yang sering luput dari perhatian umum, dan ditantang untuk didefinisikan ulang adalah hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya inilah yang dibedah dalam teori-teori feminis, yakni mendudukkan persoalan ketidakadilan jender pada tempatnya dan membongkar relasi yang tidak setara itu.
Pelatihan ini juga memberikan wawasan mengenai siklus kekerasan, serta mengapa korban banyak yang ‘memilih’ tinggal/bertahan di dalam siklus tersebut. Di samping itu, pelatihan ini membekali konselor agar memiliki keyakinan dan sikap yang optimistis mengenai perubahan perilaku dan prosesnya (walau disadari: tidak bisa serta-merta) pada sasaran intervensi, yakni laki-laki pelaku kekerasan, serta tidak lupa berjejaring dengan support systems yang sejalan dengan maksud dan tujuan intervensi. Konselor juga diajak untuk memahami kondisi sosial-kultural masyarakat yang cenderung ‘membela’ hegemoni maskulinitas dan menunjukkan tingkat ‘permisivitas’ terhadap kekerasan. Banyak pula proses legal-formal yang sebaiknya dipahami dan dipertimbangkan oleh konselor, dan oleh karena itu konselor dalam pelatihan ini dipapar dengan peraturan yang berlaku di negeri ini yang relevan dengan kekerasan dalam relasi dan konsekuensinya.
Model ekologis yang lebih komprehensif dalam memetakan sebab-sebab kekerasan memberikan bekal kepada para konselor mengenai kelebihan dan kelemahan dari berbagai penjelasan tentang kekerasan Oleh karenanya, muncul insight bahwa intervensi pun hendaknya diberikan dalam berbagai lapisan ekologi manusia. Di sinilah satu lagi letak kespesialan dari konseling ini, yakni konseling berperspektif ekologis yang menantang dominasi budaya patriarki serta memotivasi ‘power sharing antara laki-laki dan perempuan.
Konselor juga diberikan pemahaman mengenai multi-perannya, menegakkan prinsip-prinsip utama konseling, serta bagaimana mengelola dirinya. Semua ini turut dikembangkan melalui bermain peran dan simulasi, yang kemudian dievaluasi melalui sesi-sesi sharing. Yang perlu disadari adalah bahwa dinamika konseling pelaku kekerasan itu jauh lebih fluktuatif dibandingkan dengan dinamika konseling umum, sehingga persiapan dan kapasitas konselor perlu terus ditingkatkan.
Masih banyak rincian pelatihan yang dipelajari dalam konseling ini, yang tidak dapat dijabarkan satu persatu dalam kesempatan ini. Yang jelas, di akhir sesi konseling, seluruh peserta, termasuk Juneman, secara sukarela menandatangani Deklarasi Kepatuhan Pada Prinsip Kesetaraan dan Hubungan Tanpa Kekerasan. Inti dari deklarasi ini adalah pernyataan untuk mempromosikan nilai-nilai keterbukaan, tanpa kekerasan, dan masyarakat demokratis, yang didasarkan pada martabat manusia, pencapaian kesetaraan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia dan kebebasan.
Partisipasi dalam kegiatan ini sejalan dengan amanat Rektor BINUS University, Prof Harjanto Prabowo, bahwa BINUS University tidak hanya akan mencapai visinya menjadi World Class University, namun juga betul-betul memberikan kontribusi yang dapat dirasakan manfaatnya, baik secara nasional maupun global, yang dalam pelatihan ini diwujudkan dengan komitmen memfasilitasi perubahan perilaku laki-laki pelaku kekerasan dalam rangka menyejahterakan masyarakat.
Partisipasi ini juga merupakan salah satu rangkaian dari Kegiatan Akademik Jurusan Psikologi BINUS University, yakni Kuliah-kuliah Tamu sebagai bagian dari Program Global Learning System (GLS) Mata Kuliah Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi hasil kerjasama antara Jurusan Psikologi dan Yayasan PULIH pada tanggal 10 Oktober 2014 (narasumber: Dr. Rocky Gerung – “Mereview konstruksi sosial yang dilekatkan pada laki-laki“), 24 Oktober 2014 (narasumber: Eko Bambang Subiantoro – “Mengajak laki-laki untuk terlibat pada isu stop kekerasan terhadap perempuan”), 1 November 2014 (narasumber: Dr. Nur Imam Subono – “Melibatkan laki-laki dalam mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan”) dan 8 November 2014 (Irma S Martam – “Social Marketing”), serta Seminar Gender in Justice yang diadakan oleh Mahasiswa Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi (LA64) pada 17 Januari 2015. (JA)
[ Refresh/Reload atau CTRL & F5 untuk memperoleh isi terbaru. Kunjungi juga http://juneman.medium.com dan http://junemanblog.wixsite.com/blog ]
Menumbuhkan dan Merawat Asa Perubahan Perilaku Pada Laki-laki Pelaku Kekerasan Melalui Konseling
Pada 14-16 dan 21-23 November 2014, dosen Jurusan Psikologi BINUS, Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. berpartisipasi dalam pelatihan konseling terhadap klien laki-laki (male counseling) di Hotel Cipta, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pelatihan ini merupakan hasil kerjasama antara Yayasan PULIH dan RutgersWPF.
Selama enam hari ia menjalani pelatihan dan mengikuti case conference (sesi pembelajaran dari kasus) untuk kasus-kasus yang sesuai dengan topik konseling laki-laki (konseling pelaku kekerasan). Pelatihan ini diikuti oleh 24 peserta (psikolog, ilmuwan psikologi, mitra PULIH, fasilitator serta aktivis Laki-laki Peduli) yang memenuhi persyaratan, antara lain pernah mengikuti seminar/pelatihan tentang jender dan maskulinitas, bersedia hadir setiap hari secara penuh (pukul 08.30 s/d 17.30 WIB), dan bersedia menerapkan ilmunya untuk membantu PULIH manakala membutuhkan konselor untuk melakukan konseling pelaku kekerasan/ konseling laki-laki.
Latar belakang pelatihan ini adalah sebagai berikut: Di berbagai bagian di dunia, muncul kesadaran bahwa untuk dapat memutus siklus kekerasan, laki-laki juga perlu menjadi target dalam intervensi berbasis jender. Banyak perempuan, baik penyintas (survivor) KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) maupun yang memberikan layanan, menyadari bahwa KDRT tidak akan dapat dihapuskan bila intervensi hanya difokuskan pada perempuan. Program Konseling bagi Laki-laki adalah bagian dari program Laki-Laki Peduli (MenCare+) yang secara khusus mempromosikan keterlibatan laki-laki dalam mempromosikan kesetaraan jender.
Dalam pelatihan ini, materi yang dibelajarkan antara lain (1) pemahaman tentang seks dan jender, (2) pemahaman mengenai maskulinitas, (3) menjawab pertanyaan mengapa laki-laki ‘pelaku’ melakukan kekerasan, (4) Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis gender (KTPBG) dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); karakteristik pelaku kekerasan, pasangan dan anaknya, (5) strategi intervensi berbasiskan model ekologi, (6) model perubahan perilaku, (7) diskusi kasus dan hasil penelitian tentang laki-laki pelaku kekerasan, (8) teknik-teknik intervensi, (9) bermain peran (praktik memberikan konseling), dan (10) debriefing.
[caption id="attachment_112" align="aligncenter" width="300" class=" "] Juneman, SCC Community Psychology, BINUS University (kedua dari kanan) mengikuti salah satu sesi dalam Pelatihan Male Counseling[/caption]
Di samping prinsip-prinsip dan teknik-teknik umum konseling yang dipelajari dalam pelatihan ini, pelatihan ini juga memberikan wawasan mengenai perilaku kekerasan yang menjadi target intervensi pengubahan. Diingatkan bahwa kekerasan itu berwajah banyak dan seringkali berpangkal pada relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam budaya patriarki (budaya yang mengistimewakan laki-laki; perempuan = ‘second class’). Dengan demikian, ada hal yang spesial dari konseling ini. Program MenCare (Male Counseling) ini memandang kekerasan dalam relasi bukan hanya merupakan persoalan miskomunikasi antar pasangan (sehingga hanya perlu diberikan keterampilan berkomunikasi), bukan hanya persoalan mengatasi rasa marah secara lebih asertif (sehingga hanya perlu diberikan keterampilan mengelola emosi), bukan pula hanya persoalan bagaimana memperlakukan pasangan. Yang sering luput dari perhatian umum, dan ditantang untuk didefinisikan ulang adalah hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya inilah yang dibedah dalam teori-teori feminis, yakni mendudukkan persoalan ketidakadilan jender pada tempatnya dan membongkar relasi yang tidak setara itu.
Pelatihan ini juga memberikan wawasan mengenai siklus kekerasan, serta mengapa korban banyak yang ‘memilih’ tinggal/bertahan di dalam siklus tersebut. Di samping itu, pelatihan ini membekali konselor agar memiliki keyakinan dan sikap yang optimistis mengenai perubahan perilaku dan prosesnya (walau disadari: tidak bisa serta-merta) pada sasaran intervensi, yakni laki-laki pelaku kekerasan, serta tidak lupa berjejaring dengan support systems yang sejalan dengan maksud dan tujuan intervensi. Konselor juga diajak untuk memahami kondisi sosial-kultural masyarakat yang cenderung ‘membela’ hegemoni maskulinitas dan menunjukkan tingkat ‘permisivitas’ terhadap kekerasan. Banyak pula proses legal-formal yang sebaiknya dipahami dan dipertimbangkan oleh konselor, dan oleh karena itu konselor dalam pelatihan ini dipapar dengan peraturan yang berlaku di negeri ini yang relevan dengan kekerasan dalam relasi dan konsekuensinya.
Model ekologis yang lebih komprehensif dalam memetakan sebab-sebab kekerasan memberikan bekal kepada para konselor mengenai kelebihan dan kelemahan dari berbagai penjelasan tentang kekerasan Oleh karenanya, muncul insight bahwa intervensi pun hendaknya diberikan dalam berbagai lapisan ekologi manusia. Di sinilah satu lagi letak kespesialan dari konseling ini, yakni konseling berperspektif ekologis yang menantang dominasi budaya patriarki serta memotivasi ‘power sharing antara laki-laki dan perempuan.
[caption id="attachment_113" align="aligncenter" width="300" class=" "] Foto Bersama Fasilitator dan Peserta Pelatihan Male Counseling[/caption]
Konselor juga diberikan pemahaman mengenai multi-perannya, menegakkan prinsip-prinsip utama konseling, serta bagaimana mengelola dirinya. Semua ini turut dikembangkan melalui bermain peran dan simulasi, yang kemudian dievaluasi melalui sesi-sesi sharing. Yang perlu disadari adalah bahwa dinamika konseling pelaku kekerasan itu jauh lebih fluktuatif dibandingkan dengan dinamika konseling umum, sehingga persiapan dan kapasitas konselor perlu terus ditingkatkan.
Masih banyak rincian pelatihan yang dipelajari dalam konseling ini, yang tidak dapat dijabarkan satu persatu dalam kesempatan ini. Yang jelas, di akhir sesi konseling, seluruh peserta, termasuk Juneman, secara sukarela menandatangani Deklarasi Kepatuhan Pada Prinsip Kesetaraan dan Hubungan Tanpa Kekerasan. Inti dari deklarasi ini adalah pernyataan untuk mempromosikan nilai-nilai keterbukaan, tanpa kekerasan, dan masyarakat demokratis, yang didasarkan pada martabat manusia, pencapaian kesetaraan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia dan kebebasan.
[caption id="attachment_114" align="aligncenter" width="246" class=" "] Pelatihan yang diikuti merupakan kerjasama antara RutgersWPF dengan Yayasan PULIH[/caption]
Partisipasi dalam kegiatan ini sejalan dengan amanat Rektor BINUS University, Prof Harjanto Prabowo, bahwa BINUS University tidak hanya akan mencapai visinya menjadi World Class University, namun juga betul-betul memberikan kontribusi yang dapat dirasakan manfaatnya, baik secara nasional maupun global, yang dalam pelatihan ini diwujudkan dengan komitmen memfasilitasi perubahan perilaku laki-laki pelaku kekerasan dalam rangka menyejahterakan masyarakat.
Partisipasi ini juga merupakan salah satu rangkaian dari Kegiatan Akademik Jurusan Psikologi BINUS University, yakni Kuliah-kuliah Tamu sebagai bagian dari Program Global Learning System (GLS) Mata Kuliah Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi hasil kerjasama antara Jurusan Psikologi dan Yayasan PULIH pada tanggal 10 Oktober 2014 (narasumber: Dr. Rocky Gerung – “Mereview konstruksi sosial yang dilekatkan pada laki-laki“), 24 Oktober 2014 (narasumber: Eko Bambang Subiantoro – “Mengajak laki-laki untuk terlibat pada isu stop kekerasan terhadap perempuan”), 1 November 2014 (narasumber: Dr. Nur Imam Subono – “Melibatkan laki-laki dalam mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan”) dan 8 November 2014 (Irma S Martam – “Social Marketing”), serta Seminar Gender in Justice yang diadakan oleh Mahasiswa Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi (LA64) pada 17 Januari 2015. (JA)
Memang
sudah waktunya, di era Sains Terbuka (Open Science) ini, hal-hal yang
tidak perlu “ditutup”, ya, dibuka saja, seperti misalnya nama Penyunting
Penelaah / Mitra Bestari / Reviewer untuk tiap-tiap artikel yang di-review.
Hal ini sudah diterapkan pada Jurnal Frontiers in Psychology.
Berikut ini adalah contoh penampakannya:
Lebih
bagus lagi jika menerapkan Open Peer Review (Penelaahan
Terbuka).
Panduan
Layanan Psychological First Aids (PFA)/Pertolongan Psikologis
Pertama — Jarak Jauh
*Adaptasi
berbahasa Indonesia untuk konteks Indonesia oleh Himpunan Psikologi Indonesia
(HIMPSI) atas dokumen, sbb: Copyrighted material with permission of IFRC (2020): IFRC (International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies) Reference Centre for
Psychosocial resources. Remote Psychological First Aid during the COVID-19
outbreak. Interim guidance — March 2020. Retrieved from: https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/IFRC-PS-Centre-Remote-Psychological-First-Aid-during-a-COVID-19-outbreak-Interim-guidance.pdf .
Penerjemah/Translator (31 Mar. 2020): Dr. Seger Handoyo (Ketua Umum
Himpunan Psikologi Indonesia) dan Dr. Juneman Abraham (Ketua Kompartemen Riset
dan Publikasi, Himpunan Psikologi Indonesia).
Tim
Sains Terbuka Indonesia turut berpartisipasi dalam Jon Tenants Memorial
Day, pada 9 April 2021.
Sumber
presentasi Set Them Free: http://bit.do/SetThemFree
Saya
menyampaikan pandangan tentang warisan Jon Tennant, sebagai berikut:
Thank
you, Erwin.
Hi
friends! I am Juneman Abraham.
I am
the Head of Research & Publication Division of the Indonesian Psychological
Association,
I am
also an Associate Professor of Social Psychology at Bina Nusantara University
in Jakarta, Indonesia
Jon was
an advocate of open science who, paradoxically and interestingly, constantly
did self-criticism of the concept and movement of open science.
The
open science that he formed, developed, and socialized is a true open
science, which is beautifully protected from the “counterfeit open
science”-deriving from current practices of neoliberalism.
Let us
reflect on one of his last articles entitled Fixing the Crisis State of
Scientific Evaluation. One of his most important legacy is his political
insistence that we need to “police the police”, we need to “police the metric
vendors” by imposing our own regulation to them — based on
what we value most about science and society.
He also
strongly reminds us to approach the knowledge economy differently by
fostering a more compassionate, dialogical, catch-all, and
bullying-free research culture.
Materi
berikut ini saya terima dari Prof. Sundani Nurono pada Jumat, 2 April 2021,
dalam acara penyampaian filosofi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
Eksposur
Prof. Sundani mengenai posisi seharusnya Pengabdian kepada Masyarakat (PkM)
dalam Perguruan Tinggi sangat saya apresiasi, hingga saya unggah di YouTube
berupa Video di bawah ini.
Prof.
Sundani dari Institut Teknologi Bandung merupakan Pembina PKM yang sangat saya
segani sejak saya mengikuti BIMTEK PKM tahun 2018 di Universitas Bina Darma, Palembang.
Paparan
Prof. Sundani tampaknya senada dengan paparan Prof. Enoch Markum dari
Universitas Indonesia, dalam Twitter berikut ini; hanya saja, perspektif kedua
Guru Besar ini memiliki kekhasan masing-masing. Yang menarik, Prof. Sundani
menggunakan dimensi spiritualitas dalam menjelaskan gejala
yang beliau prihatinkan — yang beliau sebut sebagai “Demam Sangkar
Tridarma Perguruan Tinggi”.
Di
samping itu, beliau menggunakan perspektif antar/inter (between) bidang
Tridarma untuk “menekan” riset masuk ke Pengabdian kepada Masyarakat (Beliau
mensugesti agar Darma Pengabdian kepada Masyarakat — Mercusuar-nya
Perguruan Tinggi — diperbesar menjadi minimal 30%).
Hal ini
dapat melengkapi masukan-masukan Tim Sains Terbuka Indonesia selama ini yang
terfokus pada intra (within)
darma Riset dan Publikasi.
Aksi-aksi between dan within bidang-bidang
Tridarma ini patut menjadi sebuah gerakan bersama, tidak lain untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia melalui lembaga pendidikan
tinggi. By the way, pendekatan berbasis antar/inter-Tridarma
sebenarnya juga sudah saya ungkapkan dalam acara Rock The Talk: Sejalan
dengan “hukum kekekalan energi”, jika satu darma menyusut, ia pasti
menggelembung di darma yang lain. Sebaliknya bisa terjadi, bila
seorang dosen sedang kurang performed dalam riset, boleh
jadi — biasanya — ia performed dalam
Pengembangan Masyarakat atau “ComDev” (community development), yang di
Universitas Bina Nusantara terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu (1)
Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) yang tak berbayar, dan (2) Pelayanan
Profesional kepada Masyarakat (Professional service)
yang berbayar.
Materi
kedua dan ketiga berikut ini saya peroleh dari seorang rekan di WhatsApp
Group Neuronesia, pada 4 April 2021. Apakah Anda dapat
menemukan benang merah dari ketiga materi ini?
Bagaimana
jika resonansi semakin kuat, karena pada 30 Maret 2021, kami juga telah
menerbitkan sebuah tulisan, yang menekankan hal senada?
Mengenai
kepengaran karya ilmiah/karil, saya bicarakan pada 20 Januari 2021. Saya
menyampaikan tentang perbedaan (dan juga irisan) antara Authorship dan Contributorship. Bahwa
belum adanya kesepakatan akan hal ini akan menimbulkan “kekacauan” dalam dunia
akademik kita; sampai-sampai seorang kolaborator dapat bertukar
posisi dengan seorang plagiator.
Pada 23
Desember 2020, saya berbicara dalam sebuah forum bertajuk Darurat
Plagiat. Saya berbicara khusus mengenai apa dan bagaimana ANJANI (Anjungan
Integritas Akademik).
Berikut
adalah tautan materinya:
Ini
adalah flyer dari kegiatan ini:
Mengenai Integritas
Akademik, sebenarnya sudah saya bicarakan juga jauh hari sebelumnya,
sepanjang 2019, ketika mendapat penugasan dari Kementerian RistekDikti.
Berikut
ini adalah tautan materinya:
Di
samping itu, pada 3 Juli 2020, saya berbicara hal yang lebih luas lagi,
yakni Isu Etika dalam Penelitian, di mana saya menekankan
tentang pentingnya penyelesaian dilema etis secara rasional sebagai bagian dari
Pendidikan Etika.
Meeting Tim International Scientific CommitteeAssociation
of Behavioural Researchers on Asians/Africans (ABRA) atau
Persatuan Penyelidik-Penyelidik Perilaku Orang Asia/Africa, 16
Desember 2020.
The government’s rhetoric of Indonesian resurgence is one of economic and health recovery from the current disruptive pandemic. However, this rhetoric has not been matched in reality, as the recovery focus and fulfillment have been heavily slanted towards the economic sphere. There is a need for a policy which could sustainably alleviate both economic and […]
Sejarah Psikologi IndonesiaBelakangan ini, saya bereksperimen sederhana untuk menghasilkan sebuah narasi tentang sejarah Psikologi di Indonesia. Saya meminta Gemini AI untuk membuat narasi tersebut dengan melandaskan diri pada sumber-sumber terbuka di internet.Hasilnya adalah sebagai berikut: Psikologi di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah [Sebuah Eksperimen dengan Generative AI]. Setidaknya ada tiga bagian tulisan mulai dari Perkembangan Psikologi […]
Sebagai dosen tidak tetap (adjunct lecturer) di School of Government and Public Policy — Indonesia (Sekolah Tinggi Kepemerintahan dan Kebijakan Publik), pada 4 Februari 2025, saya menguji (sekaligus membimbing) sebuah penelitian bertajuk Human-Centric Policy Evaluation of Jakarta Smart City Initiatives: Enhancing Citizen Engagement to Create Sustainable Public Service yang dilakukan oleh Muhammad Fibiyan Aflah.Semoga berkontribusi pada kebijakan kota […]
Sesuai dengan ketentuan Pemerintah bahwa Penilai Kinerja Dosen wajib memiliki Sertifikat/Sertifikasi (lulus ujian), pada 2024 yang lalu, saya telah menerima Sertifikat yang memuat NIRA (Nomor Induk Registrasi Asesor).Proses sertifikasinya sendiri berlangsung pada 2023; sertifikat terbit pada 3 September 2024.
Halo… Sudah lama saya tidak memutakhirkan isi blog di Medium ini.Perkenankan saya untuk menyampaikan sejumlah update kegiatan, di samping yang saya sampaikan di http://juneman.blog.binusian.org dan http://juneman.mePada 30 April 2024, saya menerima kunjungan Prof. Xu Baofeng dari Beijing Language Culture University, yang juga merupakan Ketua World Council of Sinologists (Chinese Studies).Pada 3 April 2024 (pagi), saya dan […]
Pada 28 Agustus 2023, saya melaksanakan aktivitas sebagai Asesor Kompetensi Lembaga Sertifikasi Profesi Psikologi Indonesia/Badan Nasional Seertifikasi Profesi (LSP/BNSP).Kali ini saya meng-assess kompetensi asesi untuk skema Perancang dan Fasilitator Pengembangan Komunitas (PFPK).Asesmen diselenggarakan di Kantor Pusat LSP Psikologi Indonesia di Puri Bintaro, Tangerang Selatan.
Membahas diantaranya ethical clearance dan etika penggunaan kecerdasan buatan (OpenAI, seperti ChatGPT) dalam penulisan artikel ilmiah internasional. Diselenggarakan pada 21–22 Juli 2023 di Bogor oleh Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat, Ditjen Diktiristek, Kemdikbudristek, bekerjas ama dengan Universitas Pakuan.
“Pentingnya Standar Pendidikan dan Layanan Psikologi yang sesuai dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi sebagaimana juga diamanatkan oleh Hasil Kongres XIV HIMPSI Tahun 2022 tentang Isu-isu Strategis HIMPSI periode 2022–2026, maka dipandang penting membentuk Tim Ad Hoc yang bertugas untuk menyusun dan pengembangan standar tersebut.”
Sehubungan dengan upaya pencegahan bunuh diri di kalangan polisi, yang sudah menjadi akses pemberitaan publik, saya diperbantukan oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) kepada Kepolisian Negara RI dalam rangka penelitian pada tahun 2023.
Matching Fund — Manajemen KeuangannyaWorkshop Pengelolaan Keuangan untuk Program Matching Fund Kedaireka dari Kemendikbudristek, berlangsung pada 26 hingga 29 Januari 2023.
Buku Putih Peta Jalan AI Indonesia secara keseluruhan belum berhasil membuat distingsi antara Etika AI dan Hukum AI. Saya mencoba menjelaskan dalam artikel berikut ini, AI Indonesia: Diatur oleh Etika atau Undang-undang, mengapa distingsi menjadi urgen dibutuhkan https://m.antaranews.com/berita/5030041/ai-indonesia-diatur-oleh-etika-atau-undang-undang?page=all , meskipun ada konsep regulatory sandbox. Tanpa distingsi, saya khawatir bukan hanya Regulasi AI Indonesia akan jalan di […]
Fenomena pengibaran bendera “One Piece” menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia menunjukkan adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Bendera bajak laut ini menjadi simbol perlawanan kreatif dan representasi aspirasi rakyat yang merasa tidak didengar. Fenomena ini mengingatkan pada ucapan Bung Karno bahwa perjuangan di masa depan akan melawan bangsa sendiri. Pengibaran bendera ini menjadi cara unik untuk menyuarakan […]
Coba bayangkan situasi ini : Anda ingin menilai kemampuan seorang koki. Mana yang lebih masuk akal : Langsung mencicipi hasil masakannya untuk merasakan sendiri kualitasnya, ataukah hanya melihat-lihat seberapa mewah dan terkenal restoran tempatnya bekerja? Tentu saja pilihan pertama yang lebih logis, bukan? Tapi anehnya, dunia akademik kita, yang disinyalir sebagian pihak sebagai “menara gading” […]
Dalam podcast di BINUS TV kali ini, saya membahas sisi-sisi psikologis dari pinjaman online khususnya Pinjol Ilegal. Apa saja yang perlu diantisipasi? Apa ciri-ciri orang yang lebih rentan? Apa peran komunitas? Ringkas saya bahas di podcast ini – The post Psikologi PINJOL : Sisi gelap, kalah mental; bagaimana kita keluar? appeared first on Juneman Abraham […]
Tak dapat dipungkiri, penggunaan AI untuk menulis dalam dunia apapun (dunia ilmiah, dunia copywriting marketing/bisnis, dunia jurnalis) semakin memarak. Apa potensinya? Apa yang harus kita jaga bersama? Saya membicarakannya di Lembaga Layanan DIKTI Wilayah III, khususnya penulisan ilmiah. Salah satunya, saya menekankan arti penting mengakui (acknowledging) secara transparan penggunaan AI – Sesuatu yang masih sangat […]
Bagaimana fenomena “Fantasi Sedarah” dilihat dari sudut pandang multidisiplin informatika dan psikologi? Apa hubungannya dengan self-censorship, chilling effect, culturally-sensitive Artificial Intelligence, responsible AI, serta etika dan hukum digital, juga Pendiri Facebook yang sempat meminta maaf? Simak bincang santai saya di sini! Salam PsikoInformatika! The post Fantasi Sedarah: Lensa PsikoInformatika appeared first on Juneman Abraham ~ […]
Sebagian dari kegiatan saya dapat disimak melalui situs web BINUS Research. Beberapa dari kegiatan tersebut adalah: Hadir sebagai Profesor Tamu dalam pengukuhan Prof. Dr. Bagus Takwin (Universitas Indonesia) – 8 Mei 2024. Testimoni saya untuk Prof. Dr. Bagus Takwin: Memperkuat Ekosistem Hilirisasi Riset Memperkuat Integritas Akademik dan Antikorupsi Membangun dan Menjaga Portofolio Riset Dosen BINUS […]
Siniar Binus Fostering and Empowering Society melalui Melawan Korupsi Ilmu. The post Prof Juneman: Berkarya Melalui Keilmuan & Moralitas Perjalanan Melawan Korupsi Ilmu appeared first on Juneman Abraham ~ psikolog sosial.
Pada 28 Mei 2024, saya membicarakan 4 poin tentang Kesehatan Jiwa/Kesehatan Mental di acara Berkas Kompas TV: Pada 3 Juni 2024, saya diundang DAAI TV untuk berbicara tentang Hari Lahir Pancasila, khususnya tentang kebijakan pembangunan: Apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila? Saya menyampaikan beberapa hasil riset tentang Psikologi Pancasila. Bahwa penting untuk menjadi teladan konkret […]
Perbincangan bersama Bivitri Susanti, dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, di Podcast BINUS TV, menyambut Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2024. The post Korupsi Ilmu dan Generasi yang Tersesat appeared first on Juneman Abraham ~ psikolog sosial.